PERKEMBANGAN LANJUT EMBRIO NYAMUK (Culex sp.) DENGAN PEMBERIAN EFEK TERATOGEN BERUPA EKSTRAK CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.)
NAMA MAHASISWA : AAN YUDHA NUGRAHA
NIM : A1C409005
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
JURUSAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JAMBI
2010 / 2011
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................... i
DAFTAR ISI. .......................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR. .............................................................................. iv
DAFTAR TABEL..................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN. .......................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 4
1.3 Hipotesis Masalah............................................................................. 5
1.4 Tujuan Penelitian............................................................................... 5
1.5 Penegasan Istilah............................................................................... 5
1.6 Manfaat Hasil Penelitian................................................................... 6
1.7 Ruang Lingkup Penelitian ................................................................ 7
BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS
2.1 Landasan Teori ................................................................................. 8
2.1.1 Tinjauan Tentang Nyamuk Culex sp. ........................................... 8
2.2.1 Tinjauan Tentang Cabai Rawit (Capsicum frutescens L)............... 15
2.1.4 Kerangka Teori .............................................................................. 22
2.1.5 Kerangka Penelitian ...................................................................... 23
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Populasi Penelitian............................................................................ 24
3.2 Sampel Penelitian.............................................................................. 24
3.3 Variabel Penelitian............................................................................ 24
3.4 Prosedur Penelitian ........................................................................... 25
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Data .................................................................................. 31
4.2 Hasil Penelitian................................................................................. 31
4.3 Pembahasan ...................................................................................... 33
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan........................................................................................... 38
5.2 Saran................................................................................................. 38
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 39
LAMPIRAN-LAMPIRAN....................................................................... 41
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Telur Culex sp. .................................................................... 10
Gambar 2. Larva Culex sp..................................................................... 11
Gambar 3. Pupa Culex sp. ..................................................................... 12
Gambar 4. Nyamuk Culex sp. ............................................................... 13
Gambar 5. Daur hidup nyamuk Culex sp. ............................................. 13
Gambar 6. Cabai Rawit (Capsicum frutescens L) .................................... 16
Gambar 7. Kerangka Teori........................................................................ 22
Gambar 8. Kerangka Penelitian................................................................ 23
DAFTAR TABEL
Halaman
Grafik 1. Tingkat Kematian Nyamuk ..........................................................
pada Berbagai Konsentrasi Ekstrak.................................................. 32
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Tabel Kematian Nyamuk Setelah 24 Jam......................................... 41
2. Uji Normalitas Data Kematian Nyamuk Pada Berbagai .................
Konsentrasi Ekstrak Cabai Rawit .................................................... 41
3.Gambar Cabai Rawit ........................................................................ 42
4. Gambar Ekstrak Cabai Rawit .......................................................... 42
5. Siklus Hidup Nyamuk Culex sp....................................................... 42
6. Perkembangan Nyamuk Pada hari ke-1............................................ 43
7. Perkembangan Nyamuk Pada hari ke-2............................................ 43
8. Perkembangan Nyamuk Pada hari ke-3............................................ 44
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ada lebih dari 2500 spesies nyamuk yang berbeda di seluruh dunia, Masing-masing spesies memiliki nama ilmiah yang latin, seperti Culex Tarsalis, Aedes Aegypti dll. Nama-nama ini digunakan dalam cara deskriptif sehingga nama tersebut mewakili nyamuk tertentu. Beberapa spesies memiliki apa yang disebut "nama umum" serta nama-nama ilmiah, seperti Anopheles freeborni sebagai "nyamuk malaria Barat". Nyamuk merupakan spesies dari arthropoda yang berperan sebagai vector penyakit arthropod-born viral disease. Contoh spesies nyamuk yang berperan sebagai vektor penyakit arthropod-born viral disease adalah Culex sp. (Culex sp.). (Sumarmo, 1988:4).
Semua nyamuk harus memiliki air yang untuk melengkapi siklus hidup mereka. Nyamuk dapat hidup hampir di segala jenis air, dari air es yang mencair sampai air buangan yang kotor. Jenis air dapat mengidentifikasikan jenis jentik nyamuk yang hidup didalamnya. Juga, nyamuk-nyamuk dewasa menunjukkan preferensi yang sangat berbeda untuk jenis sumber yang bertelur.. Mereka bertelur secara berkala akan terus menerus di lubang air, kolam, air pasang, rawa-rawa, pembuangan limbah, tambak, irigasi padang rumput, kolam air hujan, dan lain-lain karena itu Setiap spesies memiliki persyaratan lingkungan yang unik untuk pemeliharaan siklus hidup (Soedarto, dkk, 1989:35).
Nelson dkk (1974) yang dikutip oleh Aji Bau (1999:2) menjelaskan bahwa nyamuk Culex sp. adalah spesies yang berkembangbiak pada tempat tempat penampungan air bersih di dalam maupun di luar rumah. Hal tersebut merupakan ancaman bagi manusia, karena nyamuk Culex sp. berperan sebagai vektor berbagai jenis penyakit seperti yang telah disebutkan. Jenis kelamin nyamuk Culex sp. dibedakan dengan memperhatikan jumlah probosis. Nyamuk betina mempunyai probosis tunggal, sedangkan nyamuk jantan mempunyai probosis ganda. Nyamuk Culex sp. berukuran lebih kecil dibandingkan dengan spesies nyamuk lain (Srisasi Gandahusada, dkk, 2000:218).
Ukuran tubuh yang ,kecil tersebut berpengaruh terhadap ketahanan fisiologis spesies nyamuk Culex sp. pada saat terpajan insektisida. Menurut Frank C. Lu (1995:51), toksisitas insektisida pada suatu spesies dipengaruhi oleh tinggi rendahnya kadar senyawa kimia insektisida tersebut pada tubuh spesies sasaran. Semakin kecil ukuran tubuh suatu spesies, maka kadar senyawa kimia insektisida pada tubuh spesies tersebut akan semakin tinggi, yang akan menyebabkan semakin meningkatnya toksisitas dari insektisida tersebut. Upaya-upaya pengendalian nyamuk untuk mengurangi kejadian penyakit telah banyak dilakukan. Pengendalian tersebut meliputi pengendalian fisik, pengendalian hayati, pengendalian kimiawi, pengendalian genetik maupun pengendalian terpadu. Pengendalian fisik dilakukan dengan mengelola lingkungan sehingga keadaan lingkungan tidak sesuai bagi perkembangbiakan nyamuk, pengendalian hayati dilakukan dengan memanfaatkan organisme predator dan patogen, pengendalian kimiawi dilakukan dengan menggunakan insektisida sintetis untuk membunuh nyamuk, pengendalian genetic dilakukan dengan menyebarkan pejantan mandul ke dalam ekosistem, dan pengendalian terpadu dilakukan dengan menggabungkan berbagai teknik pengendalian yang ada (Upik Kesumawati Hadi dan Susi Soviana, 2000:98-101).
.Pengendalian nyamuk yang paling banyak dilakukan adalah pengendalian kimiawi menggunakan insektisida sintetis. Alasan pemilihan pengendalian tersebut adalah karena hasilnya dapat dilihat secara cepat dan langsung, sementara pengendalian nyamuk lainnya memerlukan waktu yang lama dalam melihat hasilnya. Tetapi pengendalian kimiawi menggunakan insektisida sintetis ternyata menimbulkan efek samping yang merugikan, seperti nyamuk menjadi resisten, terjadinya keracunan pada manusia dan hewan ternak, terjadinya kontaminasi terhadap kebun sayuran dan buah, serta polusi lingkungan (North Dakota State University, 1991).
Dampak merugikan yang terjadi akibat pengendalian kimiawi menggunakan insektisida sintetis telah mendorong manusia untuk mencari pemecahannya. Oleh karena itu dilakukan suatu usaha untuk mendapatkan insektisida nabati yang dapat menggantikan pemakaian insektisida sintetis. Insektisida nabati terdapat pada bahan-bahan nabati seperti buah, daun, batang ataupun akar dari tanaman. Salah-satu tanaman yang mengandung insektisida nabati adalah cabai rawit (German Commission E, 1990).
Cabai rawit mengandung senyawa capsaicin, ascorbic acid (German Commission E, 1990), saponin, flavonoida dan tanin (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991:115). Capsaicin merupakan senyawa golongan terpenoid yang berfungsi sebagai sumber aromatik dan rasa pada cabai rawit. Cabai rawit apabila dihaluskan akan mengeluarkan aroma yang khas. Aroma ini disebabkan oleh fraksi minyak esensial. Minyak tersebut merupakan metabolit sekunder yang kaya akan senyawa dengan struktur isopren. Mereka disebut terpen dan terdapat dalam bentuk diterpen, triterpen, tetraterpen, hemiterpen, dan sesquiterpen. Bila senyawa tersebut mengandung elemen tambahan oksigen, maka disebut terpenoid. Terpenoid aktif terhadap bakteri, fungi, virus, dan protozoa. Contoh terpenoid adalah artemisin, yang telah digunakan oleh WHO sebagai antimalaria. Senyawa terpenoid pada cabai rawit, capsaicin, bersifat bakterisida terhadap Helicobacter pylori. Cara kerja capsaicin adalah ikut terlibat dalam perusakan membran sel oleh senyawa lipofilik (Rohman Naim, 2004).
Data hasil penelitian Tyas Ekowati Prasetyoningsih (1987) yang dikutip oleh Setiawan Dalimartha (2004:56), menunjukkan bahwa ekstrak cabai rawit dapat menghambat pertumbuhan Candida albicans. Candida albicans adalah spesies dari candida yang menyebabkan infeksi pada membran mukosa mulut (thrush def 1), dan infeksi saluran pernapasan (bronkokandidiasis). Berdasarkan uraian di atas, maka penulis bermaksud melakukan penelitian mengenai daya bunuh ekstrak cabai rawit terhadap nyamuk Culex sp..
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bagaimanakah daya bunuh dari ekstrak cabai rawit (Capsicum frutescens L) terhadap nyamuk Culex sp. ?
1.3 Hipotesis Masalah
Hipotesis dalam penelitian adalah sebagai berikut: “Ada daya bunuh dari ekstrak cabai rawit (Capsicum frutescens L) terhadap nyamuk Culex sp.”. Dari setiap fase pertumbuhannya, serta faktor teratogenesis yang terjadi.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Mengetahui daya bunuh dari ekstrak cabai rawit (Capsicum frutescens L)
terhadap nyamuk Culex sp..
1.4 Penegasan Istilah
1) Uji Daya Bunuh
Uji daya bunuh adalah suatu eksperimen yang dilakukan untuk mengetahui daya bunuh dari ekstrak cabai rawit terhadap nyamuk Culex sp. setelah 24 jam perlakuan. Uji daya bunuh dalam penelitian ini dilakukan pada konsentrasi ekstrak cabai rawit sebesar 10%, 50%, 90%, dan 100%.
2) Ekstrak Cabai Rawit
Ekstrak cabai rawit adalah sediaan berupa larutan cair pekat yang diperoleh dari ekstraksi cabai rawit menggunakan metode soxhlet. Ekstrak cabai rawit yang digunakan dalam penelitian tidak bisa dibedakan zat-zat kimia yang terkandung di dalamnya, karena ekstrak masih bersifat kasar.
3) Nyamuk Culex sp.
Nyamuk Culex sp. dalam penelitian adalah nyamuk Culex sp. dengan jenis kelamin betina, berumur antara 2-5 hari, dan dalam keadaan telah diberi makan dengan darah marmut. Pemberian makan berupa darah marmot dilakukan dengan cara memasukkan marmut ke dalam tempat penangkaran nyamuk Culex sp..
1.5 Manfaat Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada:
1) Peneliti, mendapatkan pengalaman menyusun karya ilmiah dalam
bidang biologi
2) Masyarakat, memperoleh tambahan ilmu di bidang kesehatan masyarakat
khususnya dalam upaya pengendalian penyakit yang ditularkan oleh nyamuk.
3) Ilmu biologi dan kesehatan masyarakat, menambah laporan penelitian dalam lingkup biologi, khususnya tentang ilmu kesehatan masyarakat
4) Peneliti lain, memberikan data dasar bagi penelitian yang sejenis.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi pada ekstrak cabai rawit dengan konsentrasi 10%, 50%, 90%, dan 100%. Parameter dalam penelitian adalah kematian nyamuk Culex sp. setelah 24 jam perlakuan. Penelitian ini bersifat kasar karena tidak dibedakan senyawa-senyawa kimia yang terkandung dalam ekstrak cabai rawit.
BAB II
LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS
Landasan Teori
2.1.1 Tinjauan Tentang Nyamuk Culex sp.
Nyamuk Culex sp. terdapat pada daerah tropis dan subtropics di seluruh dunia dalam garis lintang 35°LU dan 35°LS, dengan ketinggian wilayah kurang dari 1000 meter di atas permukaan air laut (WHO, 1997:7).. Nyamuk Culex sp. Pada umumnya hanya hidup di daerah tepi pantai, tetapi kemudian menyebar ke daerah pedalaman (Sumarmo, 1988:20).
Kebanyakan nyamuk betina harus mendapatkan darah yang cukup untuk makan sebelum ia dapat mengembangkan telur. Jika mereka tidak mendapatkan makanan darah ini, maka mereka akan mati tanpa meletakkan telur . Kebiasaan terbang dari nyamuk tergantung lagi pada spesiesnya. Kebanyakan spesies nyamuk domestik terbang tetap cukup dekat dengan titik asal mereka sementara beberapa spesies dikenal karena kebiasaan migrasi mereka . Rentang terbang untuk betina biasanya lebih lama daripada jantan. Sering kali angin merupakan faktor dalam penyebaran atau migrasi nyamuk. Kebanyakan nyamuk tinggal dalam jarak 1 atau 2 mil dari sumber mereka. Namun, beberapa diantaranya telah tercatat terbang sejauh 75 mil dari sumber perkembangbiakan mereka. Siklus kehidupan nyamuk dewasa biasanya tergantung pada beberapa faktor: suhu, kelembaban, jenis kelamin nyamuk dan sepanjang tahun. Kebanyakan jantan hidup waktu yang sangat singkat, sekitar seminggu; dan betina tinggal sekitar satu bulan, tergantung pada faktor di atas. (WHO, 1984:22).
Kebiasaan makan nyamuk cukup unik karena hanya nyamuk betina dewasa yang menggigit manusia dan hewan lainnya. Sedangkan Nyamuk jantan hanya makan nektar tanaman..Beberapa nyamuk betina memilih untuk makan hanya satu jenis binatang. Nyamuk betina mengigit manusia, hewan peliharaan, seperti sapi, kuda, kambing, dan sebagainya; semua jenis burung termasuk ayam; semua jenis binatang liar, termasuk rusa, kelinci, dan mereka juga mengigit darah ular, kadal, katak, dll. (Ditjen PPM&PLP, 1996:6).
2.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi nyamuk Culex sp. adalah sebagai berikut (Srisasi Gandahusada,
dkk, 2000:217):
Divisi : Arthropoda
Classis : Insecta
Ordo : Diptera
Sub-Ordo : Nematocera
Superfamili : Culicoidea
Famili : Culicidae
Sub-Famili : Culicinae
Genus : Culex
Species : Culex sp.
2.1.3 Morfologi
Nyamuk Culex sp. mempunyai morfologi sebagai berikut:
1) Telur
Telur Culex sp. berwarna hitam dengan ukuran ± 0,08 mm (Ditjen
PPM&PLP, 1992:4), berbentuk seperti sarang tawon (Sumarmo, 1988:22).
Gambar 1
Telur Culex sp.
Sumber: Juni Prianto, dkk (2002:184)
2) Larva
Larva Culex sp. mempunya ciri-ciri sebagai berikut:
(1) Adanya corong udara pada segmen yang terakhir.
(2) Pada segmen abdomen tidak ditemukan adanya rambut-rambut berbentuk kipas (Palmatus hairs).
(3) Pada corong udara terdapat pectin.
(4) Sepasang rambut serta jumbai akan dijumpai pada corong (siphon).
(5) Pada setiap sisi abdomen segmen kedelapan terdapat comb scale sebanyak 8-21 atau berjajar 1 sampai 3.
(6) Bentuk individu dari comb scale seperti duri.
(7) Pada sisi thorax terdapat duri yang panjang dengan bentuk kurva dan
adanya sepasang rambut di kepala.
Gambar 2
Larva Culex sp.
Sumber: Dept. Medical Entomology (2002)
Ada 4 tingkatan perkembangan (instar) larva sesuai dengan pertumbuhan
larva yaitu:
(1) Larva instar I; berukuran 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada dada belum
jelas dan corong pernapasan pada siphon belum jelas.
(2) Larva instar II; berukuran 2,5–3,5 mm, duri–duri belum jelas, corong
kepala mulai menghitam.
(3) Larva instar III; berukuran 4-5 mm, duri-duri dada mulai jelas dan
corong pernapasan berwarna coklat kehitaman.
(4) Larva instar IV; berukuran 5-6 mm dengan warna kepala gelap.
3) Pupa
Pupa Culex sp. berbentuk seperti koma, berukuran besar namun lebih ramping dibandingkan dengan pupa spesies nyamuk lain.
Gambar 3
Pupa Culex sp.
Sumber: Dept. Medical Entomology (2002)
4) Dewasa
Nyamuk Culex sp. berukuran lebih kecil dibandingkan dengan spesies nyamuk lain. Badan, kaki dan sayapnya berwarna dasar hitam dengan bintik - bintik putih. Jenis kelamin nyamuk Culex sp. dibedakan dengan memperhatikan jumlah probosis. Nyamuk betina mempunyai proboscis tunggal, sedangkan nyamuk jantan mempunyai probosis ganda (Srisasi Gandahusada, dkk, 2000:218).
Gambar 4
Nyamuk Culex sp.
Sumber: Dinkes DKI (2003)
2.1.4 Daur hidup
Daur hidup nyamuk Culex sp. melalui metamorfosis sempurna yaitu
telur-larva-pupa-dewasa (Ditjen PPM&PL, 2001:21).
Gambar 5
Daur hidup nyamuk Culex sp.
Sumber: North Dakota State University (1991)
Nyamuk Culex sp. betina dapat meletakkan telur sampai 100 butir setiap datang waktu bertelur. Telur-telur tersebut diletakkan di atas permukaan air dalam keadaan menempel pada dinding vertikal bagian dalam tempat-tempat penampungan air. Nyamuk Culex sp. betina lebih menyukai tempat penampungan air yang tertutup longgar untuk meletakkan telurnya dibandingkan dengan tempat penampungan air yang terbuka, karena tempat penampungan air yang tertutup longgar tutupnya jarang dipasang dengan baik sehingga mengakibatkan ruang di dalamnya lebih gelap (Sumarmo, 1988:21).
Telur akan menetas dalam waktu 1 sampai 3 hari pada suhu 30 °C, sementara pada suhu 16 °C telur akan menetas dalam waktu 7 hari. Telur dapat bertahan lama tanpa media air dengan syarat tempat tersebut lembab. Telur dapat bertahan sampai berbulan-bulan pada suhu -2 °C sampai 42 °C (Upik Kesumawati Hadi dan Susi Soviana, 2000:25).
Stadium larva berlangsung selama 6-8 hari. Stadium larva terbagi menjadi empat tingkatan perkembangan atau instar. Instar I terjadi setelah 1-2 hari telur menetas, instar II terjadi setelah 2-3 hari telur menetas, instar III terjadi setelah 3-4 hari telur menetas dan instar IV terjadi setelah 4-6 hari telur menetas (Upik Kesumawati Hadi dan Susi Soviana, 2000:25).
Stadium pupa terjadi setelah 6-7 hari telur menetas. Stadium pupa berlangsung selama 2-3 hari. Lama waktu stadium pupa dapat diperpanjang dengan menurunkan suhu pada tempat perkembangbiakan, tetapi pada suhu yang sangat rendah dibawah 10 °C pupa tidak mengalami perkembangan (Upik Kesumawati Hadi dan Susi Soviana, 2000:25).
Stadium dewasa terjadi setelah 9-10 hari telur menetas. Meskipun umur nyamuk Culex sp. betina di alam pendek yaitu kira-kira 2 minggu, tetapi waktu tersebut cukup bagi nyamuk Culex sp. betina untuk menyebarkan virus dengue dari manusia yang terinfeksi ke manusia yang lain (Soedarto, 1992:60).
2.2.1 Tinjauan Tentang Cabai Rawit (Capsicum frutescens L)
Tanaman cabai rawit berasal dari Amerika latin (Setiadi, 1995:3). Cabai rawit merupakan tanaman berumur pendek antara 1–2,5 tahun. Tanaman ini mulai berbuah pada umur 2,5–3 bulan dengan masa produktif antara 3–24 bulan. Cabai rawit mempunyai jenis kelamin hermafrodit (Sarpian, 2003:2).
2.2.2 Klasifikasi
Klasifikasi cabai rawit adalah sebagai berikut (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991:114):
Divisi : Spermatophytae
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dycotiledonae
Ordo : Solanales
Famili : Solanacea
Genus : Capsicum
Spesies : Capsicum frutescens L
2.2.3 Karakteristik
Cabai rawit termasuk dalam kelompok tanaman perdu. Karakteristik tanaman cabai rawit adalah sebagai berikut: mempunyai tinggi antara 50-150 cm; batang berbuku-buku; daun tidak berbulu, berbentuk bulat telur sampai lonjong, panjang 1-2 cm; bunga keluar dari ketiak daun, tunggal atau 2-3, mahkota berbentuk bintang berwarna putih, bergaris tengah antara 1,75 sampai 2,0 mm; buah tegak, berbentuk bulat telur atau jorong, panjang 1-3 cm, lebar 2,5-12 mm (Depkes RI, 1984 yang dikutip oleh Setiadi, 1995:3).
Gambar 6
Cabai Rawit (Capsicum frutescens L)
Sumber: pusat data dan informasi PERSI (2003)
2.2.4 Jenis
Cabai rawit mempunyai banyak varietas unggul yang biasa ditanam, yaitu Cipanas, Tabasco, Tabanan, Banjaran, Jembrana dan Hontaka. Varietas-varietas tersebut dapat dibedakan menjadi tiga jenis sebagai berikut:
1) Cabai Kecil
Karakteristik utama cabai kecil ialah ukurannya yang kecil. Cabai kecil muda berwarna hijau dan setelah tua berwarna merah menyala. Rasa cabai kecil paling panas dibandingkan cabai rawit lainnya.
2) Cabai Putih
Cabai putih berukuran lebih besar dari cabai kecil. Cabai putih muda berwarna putih dan setelah tua berwarna merah jingga atau merah agak kuning. Rasa cabai putih yang masih muda kurang pedas, akan tetapi setelah tua rasanya menjadi panas. Rasa panas cabai putih masih kalah dengan cabai kecil.
3) Cabai Ceplik
Cabai ceplik berukuran hampir sama dengan cabai putih. Cabai ceplik muda berwarna hijau agak putih dan setelah masak menjadi merah menyala. Rasa panas cabai ceplik paling rendah dibandingkan cabai rawit lainnya (Sarpian, 2003:2-3).
2.2.5 Habitat
Cabai rawit tumbuh di seluruh wilayah Indonesia baik di dataran rendah, dataran sedang maupun dataran tinggi. Pertumbuhan cabai rawit akan optimal apabila ditanam pada daerah dengan ketinggian antara 0–500 m dari permukaan laut dengan suhu rata-rata sebesar 19–30 °C dan curah hujan sebesar 1000–3000 mm/tahun. Tanah yang akan dipakai sebagai media tumbuh cabai rawit harus kaya bahan organik serta mempunyai derajat keasaman antara pH 6,0–7,0. Tanah dengan derajat keasaman rendah dapat dinaikkan pH-nya dengan pemberian kapur pertanian (Sarpian, 2003:1).
2.2.6 Kandungan Kimia
Buah cabai rawit mengandung substansi fenol golongan terpenoid berupa capsaicin (69%), dihydrocapsaicin (22%), nordihydrocapsaicin (7%), homocapsaicin (1%), dan homodihydrocapsaicin. Capsaicin merupakan senyawa golongan terpenoid terbanyak dan terpenting. Cabai rawit juga mengandung senyawa ascorbic acid sebesar 0,2% (German Commission E, 1990). Menurut Syamsuhidayat dan Hutapea (1991:11), di dalam cabai rawit terkandung senyawa saponin, flavonoida dan tannin.
2.2.7 Manfaat
Manfaat cabai rawit (Michael Tierra, 2004) adalah sebagai stimulan yang kuat untuk jantung dan aliran darah, menghancurkan bekuan darah (antikoagulan), meningkatkan nafsu makan (stomakik), dan peluruh keringat (diaforetik). Selain itu cabai rawit berkhasiat sebagai obat rematik, obat sariawan, disamping menambah nafsu makan dan bumbu masak (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991:115). Cabai rawit juga bersifat bakterisida terhadap bakteri tertentu, seperti Helicobacter pylori (Rohman Naim, 2004). Menurut data hasil penelitian Tyas Ekowati Prasetyoningsih (1987) yang dikutip oleh Setiawan Dalimartha (2004:56), ekstrak cabai rawit dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan Candida albicans, suatu spesies dari candida yang menyebabkan infeksi pada membran mukosa mulut (thrush def 1), dan infeksi saluran pernapasan (bronkokandidiasis).
Beberapa Upaya Pengendalian Nyamuk
1. Pengendalian Fisik
Pengendalian fisik dilakukan dengan cara memakai pakaian yang dapat melindungi diri dari gigitan nyamuk, memasang jaring penghalang sehingga nyamuk tidak dapat masuk, dan menata rumah beserta lingkungan sekitar sehingga tidak dapat dijadikan sebagai tempat berlindung dan berkembangbiak bagi nyamuk (Jan. A. Rozendaal, 1997:59-99).
Menurut Upik Kesumawati Hadi dan Susi Soviana (2000:100-102),
upaya-upaya pengendalian nyamuk secara fisik adalah sebagai berikut:
1) Modifikasi Lingkungan
Modifikasi lingkungan yaitu mengubah fisik lingkungan secara permanen yang bertujuan menghilangkan atau mengurangi tempat perindukan nyamuk. Contoh dari modifikasi lingkungan adalah kegiatan 3M (menguras, mengubur dan menutup).
2) Modifikasi Perilaku Manusia
Modifikasi perilaku manusia adalah usaha merubah perilaku sehari-hari sehingga tidak menguntungkan bagi nyamuk, seperti mengurangi tidur siang pada waktu musim penghujan untuk mengurangi frekuensi kontak dengan nyamuk.
2. Pengendalian Hayati
Pengendalian hayati dilakukan dengan cara menyebarkan predator dan patogen nyamuk di daerah endemis. Predator pemakan larva yang dapat digunakan untuk mengendalikan nyamuk adalah ikan Poecilia reticulata, Gambussia affinis, ikan mas, ikan lele dan larva nyamuk Toxorrhynchites. Pengendalian vektor menggunakan patogen contohnya adalah pemanfaatan bakteri Bacillus thuringiensis. Bacillus thuringiensis toksik terhadap larva nyamuk dan hasilnya sangat efektif serta tidak menimbulkan kerugian pada manusia maupun hewan. Bacillus thuringiensis memproduksi toksin yang menghancurkan sel-sel epitel inang sehingga inang mati (Upik Kesumawati Hadi dan Susi Soviana, 2000:102-103).
3. Pengendalian Kimiawi
1) Insektisida Sintetik
Insektisida sintetik yang digunakan dalam pengendalian nyamuk adalah paration, malation dan diklorvos (Frank C. Lu, 1995:329).
2) Insektisida Nabati
Insektisida nabati adalah insektisida yang berasal dari tanaman. Tanaman sumber insektisida nabati yang telah digunakan antara lain bunga Crhysantemum cinerariafolium, yang mengandung senyawa piretroid. Piretroid telah digunakan untuk membunuh serangga sejak tahun 1800-an (Sastrodihardjo, 1979:58-60). Tanaman lainnya yang telah digunakan adalahbuah lerak (S. rarak), yang mengandung senyawa saponin. Ekstrak buah lerak (S. rarak) tersebut efektif digunakan sebagai insektisida pada nyamuk Ae. aegypti (Nunik Siti Aminah, 2001).
3) Insektisida anorganik
Insektisida anorganik adalah insektisida yang berasal dari bahan-bahan anorganik. Insektisida anorganik yang telah digunakan adalah minyak bumi, HCN, kapur belerang dan minyak terpentin (Upik Kesumawati Hadi dan Susi Soviana, 2000:105).
4. Pengendalian Genetik
Pengendalian genetik dilakukan dengan cara mensterilkan nyamuk jantan kemudian melepasnya ke alam. Nyamuk betina hanya kawin sekali, oleh karena itu nyamuk betina yang kawin dengan nyamuk jantan steril tidak akan menghasilkan keturunan (Upik Kesumawati Hadi dan Susi Soviana, 2000:115).
2.1.4 Kerangka Teori
Gambar 7
Kerangka Teori
2.1.5 Kerangka Penelitian
Gambar 8
Kerangka Penelitian
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh nyamuk Culex sp. yang dibiakkan di dalam botol / media pembiakan sederhana di rumah praktikan.
3.2 Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah jentik nyamuk Culex sp. yang dibiakkan dengan medium air gula sebagai pengganti makanan nyamuk selama dalam penelitian dan didalam botol media. setiap botol di isi secara random sampling baik secara jumlah maupun jenis kelamin nyamuk tersebut.
3.3 Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini meliputi variabel-variabel sebagai berikut:
1) Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah ekstrak cabai rawit.
2) Variabel Terikat
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kematian nyamuk Culex sp..
3) Variabel Pengganggu
Variabel pengganggu dalam penelitian ini meliputi suhu, kelembaban, umur nyamuk, jenis kelamin nyamuk, jumlah nyamuk, jarak penyemprotan dan waktu kontak. Dalam penelitian ini variabel yang dapat mengganggu hasil penelitian dikendalikan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
(1) Suhu
Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan thermometer ruangan.
(2) Kelembaban
Kelembaban dikendalikan dengan cara melakukan uji daya bunuh dalam ruangan yang tertutup sehingga akan diperoleh kisaran kelembaban udara yang tidak mempengaruhi pertumbuhan dan kehidupan nyamuk.
(3) Umur Nyamuk
Umur nyamuk merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada daya tahan nyamuk terhadap pajanan insektisida nabati. Umur nyamuk yang digunakan pada penelitian ini adalah 2-5 hari.
3.4 Prosedur Penelitian
3.4.1 Persiapan Penelitian
3.4.1.1 Bahan dan Alat Pembuatan Ekstrak Cabai Rawit
Bahan dan alat yang digunakan dalam pembuatan ekstrak cabai rawit adalah sebagai berikut:
1) Buah cabai rawit jenis cabai kecil sebanyak 100 gr, digunakan sebagai bahan pembuatan ekstrak.
2) Pisau, untuk mengiris cabai rawit.
3) Baki, untuk mengangin-anginkan cabai rawit.
4) Alat blender, untuk menghaluskan cabai rawit.
5) Gelas pengukur, untuk mengukur volume ekstrak cabai rawit.
3.4.1.2 Bahan dan Alat Uji Daya Bunuh
Bahan dan alat yang digunakan dalam uji daya bunuh adalah sebagai berikut:
1) Alat semprot, sebagai tempat ekstrak yang akan disemprotkan.
2) Ekstrak cabai rawit, zat untuk memberi perlakuan.
3) Aquadest, untuk mengencerkan ekstrak cabai rawit.
4) Jentik nyamuk Culex sp.
5) Stop watch, untuk mengukur waktu pengamatan.
6) Thermometer ruangan, untuk mengukur suhu ruangan selama penelitian.
7) Psychrometer, untuk mengukur kelembaban udara selama penelitian..
8) Air gula sebagai makanan nyamuk
9) Kapas, yang akan dibasahi dengan air gula.
10) Daftar isian, untuk mencatat hasil pengamatan.
3.4.2 Pelaksanaan Penelitian
3.4.2.1 Pembuatan Ekstrak Cabai Rawit
Langkah-langkah dalam pembuatan ekstrak cabai rawit adalah sebagai berikut:
1) Cabai rawit dicuci bersih kemudian diiris menjadi 3-4 irisan.
2) Mengeringkan irisan cabai rawit dengan cara mengangin-anginkannya
selama 7 hari dalam kondisi tidak terkena sinar matahari secara langsung.
3) Irisan cabai rawit yang telah kering kemudian dihaluskan dengan
menggunakan blender.
4) Diamkan / jemur dan angin-anginkan cabai yang telah diblender tersebut hingga menjadi mongering seperti bubuk.
3.4.2.2 Cara Pengujian
Langkah-langkah cara pengujian dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1) Membuat ekstrak cabai rawit menjadi beberapa konsentrasi yaitu mulai dari konsentrasi 10%, 50%, 90%, dan 100%. Larutan ekstrak cabai rawit yang dibuat adalah 100 ml pada tiap-tiap konsentrasi. Rumus dalam pembuatan konsentrasi adalah sebagai berikut:
V1 x M1 = V2 x M2
Cara pembuatan konsentrasi:
(1) Mengukur 100 ml ekstrak cabai rawit dengan gelas ukur tanpa mencampurnya dengan aquadest untuk mendapatkan konsentrasi 100%. Perhitungan:
Konsentrasi 100%;
V1 x 100 = 100 x 100
V1 x 100 = 10000
V1 = 1000/100
V1 = 100 ml
(2) Mengukur 90 ml ekstrak cabai rawit dan mencampurnya dengan 10 ml
aquadest untuk mendapatkan konsentrasi 90%. Perhitungan:
Konsentrasi 90%;
V1 x 100 = 100 x 90
V1 x 100 = 9000
V1 = 9000/100
V1 = 90 ml
(3) Mengukur 50 ml ekstrak cabai rawit dan mencampurnya dengan 50 ml
aquadest untuk mendapatkan konsentrasi 50%. Perhitungan:
Konsentrasi 50%;
V1 x 100 = 100 x 50
V1 x 100 = 5000
V1 = 5000/100
V1 = 50 ml
(4) Mengukur 10 ml ekstrak cabai rawit dan mencampurnya dengan 90 ml
aquadest untuk mendapatkan konsentrasi 10%.
Perhitungan:
Konsentrasi 10%;
V1 x 100 = 100 x 10
V1 x 100 = 1000
V1 = 1000/100
V1 = 10 ml
2) Memasukkan ekstrak cabai rawit ke dalam botol medium
3) Mengamati nyamuk botolselama 20 menit, kemudian mencatat nyamuk yang mengalami knockdown atau pingsan.
4) Menghitung jumlah nyamuk yang mati setelah 24 jam dan data dimasukkan tabel.
5) Apabila kematian nyamuk Culex sp. kontrol kurang dari 5% maka data kematian nyamuk Culex sp. kontrol diabaikan, kematian nyamuk Culex sp. kontrol lebih dari 20% maka dilakukan perlakuan ulang, dan jika kematian nyamuk Culex sp. kontrol antara 5-20% maka dilakukan penghitungan persen (%) kematian nyamuk Culex sp. perlakuan ekstrak dikoreksi, dengan menggunakan formula abbot (H.H. Yap, et al, 1996:141).
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Data
Penelitian uji daya bunuh ekstrak cabai rawit terhadap nyamuk Culex sp. menggunakan sampel sebanyak 20 ekor untuk setiap perlakuan. Penelitian menggunakan 4 konsentrasi ekstrak cabai rawit yaitu konsentrasi 10%, konsentrasi 50%, konsentrasi 90%, dan konsentrasi 100%. Setiap konsentrasi dilakukan replikasi perlakuan sebanyak 4 kali. Data yang diperoleh selama penelitian bersifat kuantitatif. Data kuantitatif yang diperoleh selama penelitian kemudian dideskripsikan dengan menggunakan program komputer. Hasil deskripsi data menunjukkan bahwa nilai tertinggi nyamuk Culex sp. yang mati dalam penelitian adalah 9 ekor, dan nilai terendah adalah 0 ekor. Hasil deskripsi data juga menunjukkan rata-rata nyamuk yang mati dalam penelitian adalah 4 ekor dan standar deviasi total adalah 2,22.
4.2 Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di rumah praktikan selama 3 hari, yaitu pada tanggal 27-29 Desember 2010. Kegiatan dalam penelitian meliputi peneraan berat semprotan, pengukuran suhu dan kelembaban ruangan penelitian serta perhitungan jumlah nyamuk Culex sp. yang mati 24 jam setelah perlakuan.
4.2.1 Data Kematian Nyamuk Culex sp.
Perhitungan jumlah nyamuk Culex sp. yang mati dilakukan 24 jam setelah penyemprotan ekstrak cabai rawit. Jumlah nyamuk Culex sp. yang mati dalam penelitian dapat dilihat pada tabel berikut :
Konsentrasi Ekstrak Cabai Rawit
Sampel Eksperimen 10% 50% 90% 100%
Sampel Kontrol 0,0 % 0,0 % 0,0 % 0,0 %
Tabel 1.
Tingkat Kematian Nyamuk.
tabel 1 menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak cabai rawit terendah yaitu 10% dapat membunuh nyamuk Culex sp. sebesar 6,25% dari seluruh jumlah sampel dalam waktu 24 jam setelah perlakuan, dan konsentrasi tertinggi yaitu 100% dapat membunuh nyamuk Culex sp. sebesar 31,25% dari seluruh jumlah sampel dalam waktu 24 jam setelah perlakuan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tingkat kematian nyamuk dalam penelitian tidak mencapai 50% dari seluruh jumlah sampel yang digunakan.
4.3 Pembahasan
Suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian uji daya bunuh ekstrak cabai rawit terhadap nyamuk Culex sp., diukur dan dicatat. Rata-rata suhu ruangan untuk seluruh perlakuan adalah sebesar 26 °C. Suhu tersebut termasuk suhu yang ideal bagi kehidupan nyamuk Culex sp.. Suhu optimum yang baik bagi spesies nyamuk agar dapat hidup normal adalah antara rentang 25-27 °C (WHO, 1975:81). Pada suhu dibawah 10 °C dan diatas 40 °C, siklus hidup nyamuk Ae. aegypti akan berhenti (Upik Kesumawati Hadi dan Susi soviana, 2000:25).
Sementara rata-rata kelembaban relatif udara untuk seluruh perlakuan adalah sebesar 75%. Kelembaban relatif udara yang ideal bagi pertumbuhan dan kehidupan nyamuk adalah antara 60-80% (Komisi Pestisida, 1995:5). Umur nyamuk merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap daya tahan nyamuk terhadap pajanan senyawa kimia. Oleh karena itu pemilihan umur nyamuk adalah kegiatan yang penting dalam penelitian. Kisaran umur nyamuk Culex sp. yang digunakan dalam penelitian uji daya bunuh ekstrak cabai rawit adalah rentang usia antara 2-5 hari. Rentang usia 2-5 hari merupakan rentang umur terbaik dari nyamuk. Pada umur dibawah 2 hari, keadaan fisik nyamuk masih lemah sehingga akan mempermudah terjadinya kematian pada nyamuk, sementara pada umur di atas 5 hari ketahanan tubuh nyamuk telah menurun yang akan mengakibatkan meningkatnya resiko kematian (Upik Kesumawati Hadi dan Susi soviana, 2000:24).
Jenis kelamin nyamuk berkaitan dengan peran nyamuk dalam menularkan penyakit arthropod-born viral disease pada manusia. Seluruh penyakit arthropod-born viral disease yang ditularkan oleh nyamuk pada manusia, ditularkan oleh nyamuk betina. Hal ini disebabkan perilaku nyamuk betina yang menggigit dan menghisap darah manusia untuk mematangkan telurnya, sementara nyamuk jantan tidak menggigit manusia dan hanya menghisap sari tumbuhan (Sumarmo, 1988:22). Jenis kelamin nyamuk juga berkaitan dengan ketahanan tubuh antara nyamuk jantan dan betina berbeda. Nyamuk betina berumur lebih lama dibandingkan nyamuk jantan Nyamuk jantan biasanya hanya dapat bertahan hidup selama 6 sampai 7 hari, sementara nyamuk betina dapat bertahan hidup sampai 2 minggu (Soedarto, 1992:60). Oleh Karen itu dalam penelitian uji daya bunuh ekstrak cabai rawit digunakan nyamuk Culex sp. dengan jenis kelamin betina.
Jumlah nyamuk yang digunakan dalam uji daya bunuh ekstrak cabai rawit berhubungan dengan keakuratan data hasil penelitian, serta dengan tingkat persaingan hidup antar nyamuk Culex sp. pada saat holding selama 24 jam. Jumlah nyamuk sampel yang terlalu sedikit akan menghasilkan persentase kematian nyamuk yang tinggi sehingga meningkatkan resiko terjadinya bias data hasil penelitian, sementara jumlah nyamuk yang terlalu besar akan meningkatkan resiko kematian akibat persaingan hidup antar nyamuk pada saat holding selama 24 jam. Untuk menghindari hal-hal tersebut maka jumlah nyamuk Culex sp. yang digunakan dalam setiap perlakuan mengacu kepada jumlah standar yang digunakan dalam penelitian uji insektisida semprot cair yaitu sebanyak 20 ekor (Damar Tri Boewono, 2003:5).
Jarak antara ujung alat semprot dengan nyamuk sasaran pada saat dilakukan penyemprotan dapat mempengaruhi hasil penelitian (Komisi Pestisida, 1995:2). Nyamuk dapat mati hanya dengan semprotan aquadest saja, apabila semprotan tersebut mengenai langsung tubuhnya. Penyemprotan dalam uji daya bunuh ekstrak cabai rawit dilakukan secara mendatar dan tidak ada nyamuk Culex sp. yang berada dalam garis lurus arah penyemprotan. Dengan demikian pengaruh jarak penyemprotan dalam penelitian dapat diabaikan. Lama waktu kontak antara nyamuk Culex sp. dengan ekstrak cabai rawit berpengaruh terhadap efek pajanan dari ekstrak cabai rawit terhadapOleh karena itu lama waktu kontak dalam uji daya bunuh dibuat sama yaitu 20 menit (Damar Tri Boewono, 2003:5).
Penelitian uji daya bunuh ekstrak cabai rawit terhadap nyamuk Culex sp. menggunakan nilai LC atau Lethal Consentration dalam menghitung daya bunuh ekstrak cabai rawit terhadap nyamuk Culex sp. dalam penelitian, disebabkan zat yang digunakan dalam uji daya bunuh berbentuk cair. Nilai LC yang diharapkan dapat dicapai dalam penelitian adalah LC50. Hal ini karena untuk penelitian uji daya bunuh suatu insektisida, tingkat konsentrasi insektisida dianggap memiliki daya bunuh yang baik serta tidak berbahaya bagi lingkungan apabila mencapai LC50. Nilai LC dibawah LC50 dikategorikan memiliki daya bunuh rendah, dan nilai LC diatas LC50 dikategorikan memiliki daya bunuh yang efektif. Tetapi untuk insektisida yang mampu mencapai LC diatas LC50, memerlukan pengujian untuk mengetahui tingkat keamanannya terhadap kelestarian lingkungan hidup. nyamuk Culex sp.. Lama waktu kontak yang terlalu singkat akan mengurangi lama interaksi antara senyawa kimia dengan nyamuk sasaran yang akan menurunkan jumlah nyamuk yang mati, sementara lama waktu kontak yang terlalu lama akan meningkatkan lama interaksi antara senyawa kimia dengan nyamuk sasaran yang akan meningkatkan jumlah nyamuk yang mati.
Pada penelitian uji daya bunuh ekstrak cabai rawit terhadap nyamuk Culex sp., terdapat faktor-faktor yang diduga menjadi penyebab tidak tercapainya nilai LC50. Faktor- faktor tersebut adalah sebagai berikut:
Fungsi aromatik senyawa capsaicin pada cabai rawit yang diduga dapat digunakan untuk membunuh nyamuk Culex sp. melalui jalur inhalasi, kemungkinan kurang dominan apabila dibandingkan dengan fungsi rasa yang dimilikinya. Oleh karena itu ekstrak cabai rawit kemungkinan akan lebih baik jika digunakan sebagai repellent, berdasarkan fungsi rasa dari capsaicin yang diduga lebih dominan. Untuk itu diperlukan penelitian lain untuk membuktikan daya bunuh ekstrak cabai rawit terhadap nyamuk Culex sp. menggunakan metode repellent terkait kemungkinan yang telah disebutkan.
Senyawa lain pada cabai rawit yaitu masing-masing flavonoid, saponin, tannin, kemungkinan jumlahnya lebih besar dibandingkan senyawa capsaicin, oleh karena itu ekstrak cabai rawit kemungkinan akan lebih baik apabila digunakan sebagai larvasida, berdasarkan kandungan flavonoid yang dapat merusak membran sel, saponin yang dapat merusak pembuluh darah, dan tannin yang dapat mengecilkan pori-pori lambung. Untuk itu diperlukan penelitian lain untuk membuktikan daya bunuh ekstrak cabai rawit terhadap stadium larva nyamuk Culex sp. terkait kemungkinan yang telah disebutkan.
Kuantitas berat bahan kasar dalam pembuatan ekstrak cabai rawit.
Bentuk zat hasil akhir dari pembuatan ekstrak cabai rawit.
Melakukan uji daya bunuh ekstrak cabai rawit terhadap berbagai stadium nyamuk Culex sp.. Pemilihan stadium nyamuk Culex sp. untuk uji daya bunuh hendaknya disesuaikan dengan sifat dan cara kerja dari senyawa kimia yang terkandung dalam cabai rawit.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan data hasil penelitian uji daya bunuh ekstrak cabai rawit (Capsicum frutescens L) terhadap nyamuk Ae. aegypti, diketahui bahwa konsentrasi ekstrak cabai rawit terendah yaitu 10% mampu mencapai LC5, dan konsentrasi ekstrak cabai rawit tertinggi yaitu 100% mampu mencapai LC20. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ada daya bunuh dari ekstrak cabai rawit yang digunakan dalam penelitian terhadap nyamuk Culex sp., tetapi daya bunuh tersebut sangat rendah.
5.2 Saran
Menambah jumlah bahan kasar dalam pembuatan ekstrak cabai rawit supaya zat hasil akhir pembuatan ekstrak menjadi lebih pekat sehingga diharapkan dapat menambah daya bunuh dari ekstrak.
Mengganti bentuk hasil akhir pembuatan ekstrak cabai rawit dari bentuk cair menjadi bentuk serbuk kering, sehingga tidak terdapat lagi kandungan etanol di dalam ekstrak cabai rawit. Dengan menghilangkan kandungan etanol dalam ekstrak diharapkan dapat menambah daya bunuh dari ekstrak cabai rawit terhadap nyamuk Culex sp..
Melakukan uji daya bunuh ekstrak cabai rawit terhadap berbagai stadium nyamuk Culex sp..
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Watik Pratiknyo. 2003. Dasar-Dasar Metode Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Aji Bau. 1999. Uji Efikasi Daun Tumbuhan Paitan (Tithonia diversifolia Grey)
Terhadap Larva Culex sp. di Laboratorium. Skripsi. FKM UNDIP Semarang.
Damar Tri Boewono. 2003. Pedoman Uji Hayati Insektisida Rumah-Tangga (Household Insecticides). Salatiga: BPVRP.
Ditjen PPM&PL. 2001. Pedoman Pelaksanaan Surveillans Vektor. Jakarta: Depkes RI.
Dinkes DKI. 2003. Demam Berdarah. http://www.DinkesDKI.com (Accested 20 Agustus 2005).
German Commission E. 1990. http: //www. wrc. Net /wrcnet_content /herbalresources /materiamedica/Cayenne.htm:
Komisi Pestisida. 1995. Metoda Standar Pengujian Efikasi Pestisida. Jakarta. Departemen Pertanian.
North Dakota State University. 1991. Mosquitos. http: //www. ext. nodak. edu/ extpubs/ ansci/horse/eb55-2.htm (Accested 20 Agustus 2005).
Pusat data dan informasi PERSI. 2003. Cabai Rawit (Capsium frutescens L). www.pdpersi.co.id/pdpersi/news/alternatif (Accested 20 Agustus 2005).
Sarpian. 2003. Bertanam Cabai Rawit dalam Polybag. Jakarta: PT. Penebar Swadaya.
Setiadi. 1995. Jenis dan Budidaya Cabai Rawit Cetakan Kedua. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Setiawan Dalimartha. 2004. Atlas Tanaman Obat Indonesia Jilid II. Jakarta:
Trubus Agriwidya.
WHO. 1984. Chemical Methods for The Control of Arthropod Vectors and Pests
of Public Health Importance. Geneva. WHO Publications.
LAMPIRAN
Lampiran 1
TABEL FREKUENSI
Kematian nyamuk setelah 24 jam
Frekuensi Persen Valid Persen Persen Kumulatif
Valid 0 1 6,3 6,3 6,3
1 1 6,3 6,3 12,5
2 4 25,0 25,0 37,5
3 4 25,0 25,0 62,5
4 4 25,0 25,0 87,5
5 1 6,3 6,3 93,8
6 1 6,3 6,3 100
Total 16 100 100
Lampiran 2
Konsentrasi Ekstrak
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
percent
Valid 10 % 4 25,0 25,0 25,0
50% 4 25,0 25,0 50,0
90% 4 25,0 25,0 75,0
100% 4 25,0 25,0 100
Total 16 100 100
Gambar 1. Buah cabai rawit
Gambar 2. Serbuk cabai rawit yang sudah dihaluskan
dibungkus menggunakan kertas
Gambar 3. Siklus hidup nyamuk Culex sp.
Gambar 4. Botol yang di beri ekstrak cabai rawit / botol B (hari pertama)
Gambar 5. botol yang tidak diberi perlakuan / kontrol / Botol A (hari pertama)
Gambar 6. botol B (hari ke - 2) Gambar 7. Botol A (hari ke- 2)
Gambar 7. Botol B (hari ke - 3) Gambar 7. Botol A (hari ke -3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar