enzim
Posted: July 10, 2009 by filzahazny in biokimia
Tags: biokimia, enzim, inhibitor, katalisator
4
B. LANDASAN TEORI
Katalisator mempercepat reaksi kimia, mengalami perubahan selama reaksi, tetapi berubah kembali kepada keadaan semula setelah reaksi-reaksi selesai. Enzim merupakan biokatalisator yang bekerja spesifik. Aktivitas katalis yang dimiliki enzim merupakan alat ukur yang selektif dan sensitif terhadap aktivitas enzim. Aktivitas enzim dapat diamati dari sisa substrat, pH, suhu, dan indikator. Aktivitas enzim dapat diamati dari sisa substrat atau produk yang terbentuk. Faktor yang mempengaruhi pengukuran aktivitas enzim antara lain konsentrasi enzim dan substrat, suhu, pH, dan indikator. Aktivitas enzim meningkat bersamaan dengan peningkatan suhu, laju berbagai proses metabolisme akan naik sampai batasan suhu maksimal. Prinsip biologis utama adalah homeostatis, yaitu keadaan dalam tubuh yang selalu mempertahankan keadaan normalnya. Perubahan relatif kecil saja dapat mempengaruhi aktivitas banyak enzim. Adanya inhibitor non kompetitif irreversibel dan antiseptik dapat menurunkan aktivitas enzim.
Kecepatan reaksi mula-mula meningkat dengan menaiknya suhu, hal ini disebabkan oleh peningkatan energi kinetik pada molekul-molekul yang bereaksi. Akan tetapi pada akhirnya energi kinetik enzim melampaui rintangan energi untuk memutuskan ikatan hidrogen dan hidrofobik yang lemah, yang mempertahankan struktur sekunder-tersiernya. Pada suhu ini terjadi denaturasi enzim menunjukkan suhu optimal. Sebagian besar enzim suhu optimalnya berada diatas suhu dimana enzim itu berada.
Aktivitas enzim maksimal diperoleh pada pH optimal, untuk saliva (enzim amilase) pHnya 7. Bentuk kurva aktivitas pH ditentukan oleh denaturasi enzim (pada pH tinggi atau rendah) dan penambahan status bermuatan pada enzim dan atau substrat. Enzim dapat pula mengalami perubahan bentuk bila pH bervariasi. Gugus yang bermuatan yang jauh dari daerah terikat substrat diperlukan untuk mempertahankan struktur tersier-kuartener yang aktif. Dengan perubahan muatan pada gugus ini maka protein dapat terbuka sehingga aktivitasnya berubah.
Kecepatan awal suatu reaksi merupakan kecepatan yang diukur sebelum terbentuk produk yang cukup untuk memungkinkan suatu reaksi, kecepatan awal suatu reaksi yang dikatalisis enzim harus sebanding dengan konsentrasi enzim. Untuk menentukan kecepatan reaksi, sebenarnya pengaruh konsentrasi substratlah yang sangat berarti. Namun, konsentrasi substrat yang menunjukkan kecepatan maksimal aktivitas enzim akan mencerminkan jumlah enzim aktif yang ada.
Inhibitor non kompetitif irreversibel adalah suatu zat yang menghambat kerja enzim dengan cara berikatan dengan enzim tetapi bukan pada active sidenya, karena inhibitor tidak memiliki kesamaan dengan struktur substrat, maka peningkatan konsentrasi substrat umumnya tidak menghilangkan inhibitor tersebut. Banyak racun yang bekerja sebagai inhibitor non kompetitif irreversibel terhadap aktivitas enzim, antara lain ion logam berat, iodosetamida, dan zat-zat pengoksidatif.
C. ALAT DAN BAHAN
Alat:
1. Spektrofotometer
2. Tabung reaksi dan rak
3. Beaker glass
4. Erlenmeyer
5. Pipet volume
6. Termometer
7. Penangas air
8. Pipet tetes
9. Air es
Bahan:
1. Saliva
2. Larutan pati
3. Larutan Iodium
4. Air Suling
5. Larutan dengan pH 1, 3, 5, 7, 9 dan 11
6. Larutan Sublimat
7. Larutan Timbal Asetat
D. CARA KERJA DAN PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, ada beberapa prosedur yang dikerjakan, yang antara lain adalah sebagai berikut.
1. PENGARUH SUHU TERHADAP AKTIVITAS ENZIM
Bahan:
Liur sebagai sumber amylase. Tampunglah 2 ml liur dalam gelas kimia atau tabung reaksi yang kering.
Pereaksi:
• Larutan pati (0,4 mg/ml)
• Larutan iodium
Cara:
a. Encerkan liur 10 kali dengan air suling.
b. Siapkan 6 pasang tabung reaksi yang bersih.
• Pasangan pertama ditempatkan dalam bejana es (00C)
• Pasangan kedua ditempatkan di rak tabung (suhu ruang)
• Pasangan ketiga ditempatkan di penangas air (370C)
• Pasangan keempat ditempatkan dalam bejana berisi air 600C
• Pasangan kelima ditempatkan dalam bejana berisi air 1000C
Tandai tabung satu dalam pasangan tabung dari tiap suhu tersebut dengan B (blanko), tabung dua dengan U (uji). Keenam tiap pasangan tabung dalam masing-masing suhu selama paling sedikit 5 menit.
c. Ke dalam tiap tabung, tanbahkan berturut-turut:
Larutan Tabung B Tabung U
• Larutan pati, keram pada tiap suhu paling sedikit 5 menit.
• Liur diencerkan (60X). Campur baik-baik, keram tepat 1menit
• Larutan iodium
• Air suling 1 ml
-
1 ml
8 ml 1 ml
20 µl
1 ml
8 ml
Segera baca densitas optik (DO) pada 680 nm. Hitung DO antara tabung B (dianggap DO = DO reaksi enzimatik pada t = 0) dengan tabung U dari tiap suhu.
Hasil Pengamatan:
Suhu (oC) DO B DO U Δ DO
0 0.144 0.117 0,027
25 0.136 0.037 0,099
Suhu ruang 0.111 0.017 0,094
37 0.130 0.015 0,115
60 0,137 0,029 0,108
100 0,141 0,118 0,023
Pembahasan:
Pada perubahan suhu, kecepatan reaksi yang dikatalisis oleh enzim mula-mula meningkat karena adanya peningkatan suhu. Energi kinetik akan meningkat pada kompleks enzim dan substrat yang bereaksi. Namun, peningkatan energi kinetik oleh peningkatan suhu mempunyai batas yang optimum. Jika batas tersebut terlewati, maka energi tersebut dapat memutuskan ikatan hidrogen dan hidrofobik yang lemah yang mempertahankan struktur sekunder-tersiernya. Pada suhu ini, denaturasi yang disertai dengan penurunan aktivitas enzim sebagai katalis akan terjadi.
Suhu optimal enzim bergantung pada lamanya pengukuran kadar yang dipakai untuk menentukannya. Semakin lama suatu enzim dipertahankan pada suhu dimana strukturnya sedikit labil, maka semakin besar kemungkinan enzim tersebut mengalami denaturasi.
Dari hasil percobaan, pada suhu 0 oC, besarnya aktivitas enzim cukup signifikan besarnya. Seharusnya, pada suhu ini enzim dalam keadaan inaktif. Namun, ada sedikit kesalahan yang mungkin disebabkan karena kurang cepatnya praktikan mengisolasi enzim sehingga enzim telah bereaksi pada suhu kamar dan akibatnya ada sedikit aktivitas enzim yang terjadi. Belum lagi suhu kulkas yang tidak stabil karena sering dibuka dan ditutup oleh praktikan lain selama pengeraman. Sehingga kemungkinan besar temperatur yang diinginkan 0 oC tidak dapat tercapai. Seharusnya pada suhu 37 oC merupakan suhu dimana aktivitas enzim maksimal. Pada suhu ini seharusnya reaksi berlangsung paling cepat. Hal ini terjadi karena temperatur ini merupakan temperatur normal tubuh manusia (suhu optimal enzim amilase salivarius adalah 37 oC). Tetapi pada percobaan didapat kecepatan reaksi enzimatik tertinggi adalah pada suhu ruang. Hal ini mungkin disebabkan karena suhu di dalam ruangan lab lebih tinggi daripada suhu ruangan yang normal (28 oC) atau mungkin karena inkubasi pada suhu 37 oC kurang tepat atau tidak akurat. Pada interval suhu 0 oC-37 oC, kecepatan reaksi enzimatik mengalami kenaikan. Setelah melewati suhu optimum (37 oC), maka kecepatan reaksi enzimatik kembali menurun.
2. PENGARUH pH TERHADAP AKTIVITAS ENZIM
Bahan:
Liur sebagai sumber amilase. Tampunglah 2 ml liur dalam gelas kimia atau tabung reaksi yang bersih dan kering.
Pereaksi:
• Larutan pati (0,4 mg/ml)
• Larutan iodium
• Larutan pH 1, 3, 5, 7, dan 9
Cara:
a. Encerkan liur 10 kali dengan tiap larutan berbagai pH tadi
b. Siapkan 6 pasang tabung reaksi yang bersih. Tandai tiap tabung dengan B (blanko) dan U (uji)
c. Ke dalam tiap tabung, lakukan prosedur berikut:
Larutan Tabung B Tabung U
• Larutan pati, keram pada tiap suhu 370C, paling sedikit 5 menit.
• Liur diencerkan 10x. Campur baik-baik, keram tepat 1menit
• Larutan iodium
• Air suling 1 ml
-
1 ml
8 ml 1 ml
20 µl
1 ml
8 ml
Segera baca DO pada 680 nm. Hitung ∆ DO antara tabung B (dianggap DO = DO reaksi enzimatik pada t = 0) dengan tabung U dari tiap pengenceran enzim.
Hasil Pengamatan:
pH DO B DO U Δ DO
1 0.064 0.127 -0,063
3 0.072 0.081 -0,009
5 0.093 0.112 -0,019
7 0.053 0.077 -0,024
9 0.036 0.122 -0,086
11 0,048 0,113 -0.065
Pembahasan:
Kondisi pH dapat mempengaruhi aktivitas enzim melalui pengubahan stuktur atau pengubahan muatan pada residu yang berfungsi dalam pengikatan substrat atau katalis. Sebagai contoh, enzim bermuatan negatif (Enz-) bereaksi dengan substrat bermuatan positif (SH+) :
Enz- + SH+ EnzSH
Pada pH yang rendah, Enz- mengalami protonasi dan kehilangan muatan negatifnya (enzim dinetralisir) :
Enz- + H+ EnzH
Sedangkan, pada pH yang tinggi, SH+ mengalami ionisasi dan kehilangan muatan positifnya (substrat dinetralisir) :
SH+ S + H+
Karena (berdasarkan definisi) satu-satunya bentuk yang mengadakan interaksi adalah SH+ dan Enz-, nilai pH yang ekstrim (tinggi ataupun rendah) akan menurunkan kecepatan reaksi.
Pada kurva yang diperoleh melalui percobaan, dapat dilihat bahwa enzim amilase saliva memiliki pH optimal pada pH 7, karena pada pH ini diperoleh aktivitas enzim yang tinggi (kecepatan reaksi enzimatik tinggi). Umumnya, kecepatan reaksi enzimatik meningkat hingga mencapai pH optimal dan menurun setelah pH lebih besar dari pH optimal. Pada pH 1, 3 dan 5, aktivitas enzim masih ada, tetapi kecil (ditunjukkan oleh kecepatan reaksi enzimatik yang kecil pula). Hal ini disebabkan pada pH kurang dari 4, enzim amilase saliva menjadi tidak aktif. Pada pH 9 dan 11, aktivitas enzim menurun karena telah terlewati pH optimal dari enzim tersebut.
3. PENGARUH KADAR ENZIM TERHADAP AKTIVITAS ENZIM
Bahan:
Liur sebagai sumber amilase. Tampunglah 2 ml liur dalam gelas kimia atau tabung reaksi yang bersih dan kering.
Pereaksi:
• Larutan pati (0,4 mg/dl)
• Larutan iodium
Cara:
a. Encerkan saliva 10x, 20x, 30x, 40x dan 50x dengan aquadest.
b. Siapkan 1 tabung reaksi yang bersih dan kering. Tandai dengan B (Blanko)
c. Siapkan 6 tabung reaksi yang bersih dan kering. Tandai tiap tabung dari setiap pasangan tabung dengan U (Uji).
d. Ke dalam setiap tabung, lakukan prosedur berikut:
Larutan Tabung B Tabung U
• Larutan pati, keram pada suhu 370C paling sedikit 5 menit
• Liur (tidak diencerkan, 10x, 20x, 30x, 40x, 50x) campur baik-baik, keram tepat 1 menit
• Larutan iodium
• Aquadest 1 ml
-
1 ml
8 ml 1 ml
20 μl
1 ml
8 ml
e. Perhatikan warna larutan, lakukan terus pengenceran jika warna belum menyerupai blanko.
f. Segera baca DO pada 680 nm. Hitung ▲DO antara tabung B (dianggap DO = DO reaksi enzimatik pada t = 0) dengan tabung U dari tiap pengenceran enzim.
Hasil Pengamatan:
Pengenceran DO tb B DO tb U ▲DO / menit (v)
Tidak Diencerkan 0,559 - 0,346
10 x 0,097 0,116
20 x 0,036 0,177
30 x 0,017 0,196
40 x 0,026 0,187
50 x 0,014 0,199
80 x 0.017 0,196
100 x 0,020 0,193
Pembahasan:
Aktivitas enzim dipengaruhi oleh kadar enzim. Aktivitas enzim dan kadar enzim memiliki hubungan perbandingan yang lurus. Hal ini berarti semakin besar kadar enzim, semakin besar aktivitas enzim dan semakin cepat reaksi yang dikatalisis enzim. Apabila kadar substrat tetap dan kadar enzim turun, maka kecepatan rekasi yang dikatalisis enzim akan menurun karena enzim yang tersedia tidak cukup banyak untuk bereaksi dengan substrat. Reaksi enzimatik yaitu:
k1 k2
Enz + S Enz-S Enz + P
Semakin banyak enzim yang berikatan dengan substrat, kecepatan reaksi semakin meningkat dan semakin banyak kompleks enzim-substrat yang terbentuk. Maka produk yang terbentuk pun semakin banyak.
Pada percobaan kali ini dibuat larutan enzim dengan berbagai macam konsentrasi untuk dapat membandingkan kerja enzim pada berbagai konsentrasi. Kadar enzim yang bervariasi dibuat dengan pengenceran dengan aquadest.
Pada hasil percobaan, aktivitas enzim tertinggi (kecepatan reaksi enzimatik tertinggi) seharusnya diperoleh pada kadar enzim terbesar, yaitu saat saliva tidak diencerkan. Hal ini disebabkan banyak enzim yang bereaksi dengan substrat sehingga kecepatan reaksi tinggi dan produk banyak yang dihasilkan. Semakin menurun kadar enzim, aktivitas enzim seharusnya semakin menurun.
Selanjutnya pada pengenceran 10x seharusnya diperoleh kecepatan reaksi enzimatik yang lebih kecil daripada tanpa pengenceran. Hal ini disebabkan jumlah enzim yang bereaksi dengan substrat berkurang sehingga aktivitas enzim pun menurun. Begitupun pada pengenceran seterusnya, seharusnya diperoleh bahwa semakin tinggi pengenceran (semakin encer), semakin menurun pula aktivitas enzim (kecepatan reaksi menurun)
Akan tetapi, percobaan yang dilakukan praktikan tidak sesuai dengan hasil yang seharusnya didapat. Terjadi penyimpangan-penyimpangan sehingga kecepatan reaksi enzimatik tidak berbanding lurus dengan kadar enzim melainkan kecepatan enzim bervariasi naik turun terhadap kadar enzim.
Penyimpangan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai hal:
- Kurang teliti dalam melakukan pengenceran
- Kesalahan waktu atau suhu saat pengeraman
- Saliva sebagai sumber enzim telah dipengaruhi oleh zat warna atau kandungan dari permen karet yang digunakan untuk memicu pengeluaran saliva
4. PENGARUH INHIBITOR NON-KOMPETITIF IREVERSIBEL (LOGAM BERAT) DAN ANTISEPTIK TERHHADAP AKTIVITAS ENZIM
Bahan:
Liur sebagai sumber amilase. Tampunglah 2 ml liur dalam gelas kimia atau tabung reaksi yang kering.
Peraksi:
• Larutan Pati ( 0,4 Mg / Ml )
• Larutan Iodium
• Larutan Sublimat ( Hgcl2 ), 1 gr/dl
• Larutan Timbal Asetat ( 1 gr/dl )
Cara:
a. Encerkan liur 10 x dengan air suling. Dalam tabung yang lain encerkan pula 10x dengan sublimat, larutan timbal asetat.
b. Siapkan 3 pasang tabung reaksi yang bersih. Tandai tiap tabung dengan b (blanko) dan u (uji).
c. Ke dalam tiap tabung, lakukan prosedur berikut :
No. Larutan tabung B tabung U
1.
2.
3.
4. Larutan pati, keram pada
Suhu 37˚c paling sedikit 5 menit
Liur diencerkan 10X dengan aquadest dan
dengan berbagai inhibitor atau antiseptik
Campur baik-baik, keram tepat 1 menit
Larutan iodium
Air suling 1 ml
-
1 ml
8 ml 1 ml
0,2 ml
1 ml
8 ml
Segera baca DO ( Densitas Optik ) pada 680 nm. Hitung ∆ DO antara tabung B ( dianggap DO = DO reaksi enzimatik pada t = 0 ) dengan tabung U dari tiap pengenceran enzim.
Hasil Pengamatan:
Pengenceran DO tb. B DO tb. U DO/menit (v)
Air suling
Sublimat Timbal asetat 0,009
0,014
0,011 0,001
0,011
0,033 0,008
0,003
-0,022
Pembahasan:
Inhibitor adalah zat yang dapat menghambat kerja enzim. Penghambatan kerja enzim dibedakan menjadi penghambatan reversibel dan penghambatan ireversibel. Selain itu, ada pula inhibitor kompetitif dan inhibitor non-kompetitif.
Inhibitor kompetitif memiliki struktur kimia yang mirip dengan substrat dan mengikat enzim pada active site yang sama dengan substrat (tempat katalitik). Maka, inhibitor dan substrat akan bersaing untuk memperebutkan tempat-tempat pengikatan yang sama pada permukaan enzim. Struktur inhibitor non-kompetitif berikatan dengan enzim pada domain yang berbeda dari tempat pengikatan enzim-substrat. Inhibitor ini dapat bereaksi dengan kompleks enzim-substrat (karena tempat pengikatan enzim yang berbeda) untuk menghasilkan produk. Dalam kata lain inhibisi nonkompetitif tidak terdapat persaingan antara substrat dan inhibitor
Inhibitor nonkompetitif yang reversible menurunkan percapatan reaksi maksimal yang diperoleh pada pemberiaan sejumlah tertentu enzim ( Vmaks yang lebih rendah ) tetapi biasanya tidak mempengaruhi Km., karena I dan S berikatan pada tempat yang berlainan. Pembentukan kompleks EnzInhibitor maupun EnzSubstrat dapat terjadi, karena EnzIS dapat terurai dan membentuk produk dengan kecepatan yang lebih lambat daripada penguraian EnzS, reaksi dapat diperlambat tetapi tidak akan berhenti.
Inhibitor non-kompetitif ireversibel yaitu inhibitor yang berikatan dengan enzim tidak pada active site-nya dan pengikatan inhibitor-enzim tidak dapat lepas lagi. Pada umumnya, terjadi pengikatan secara kovalen dengan gugusf ungsional dari enzim. Ion-ion logam berat, seperti Ag+ dan Hg2+, dapat mengurangi aktivitas enzim. Jika ion logam berat ini berikatan dengan enzim, enzim akan mengalami denaturasi.
Pada percobaan saliva diencerkan 80X dikarenakan saliva menunjukan aktifitas enzim substrat berlebih ( test dengan larutan iodium ) pada pengenceran 80X dengan aquadest. Aktivitas enzim tertinggi dicapai pada pengenceran dengan air suling. Sedangkan, pada pengenceran dengan larutan sublimat dan larutan timbal asetat, aktivitas enzim menurun karena sublimat dan timbal asetat menghambat enzim dengan berikatan pada substrat dan dapat mendenaturasi enzim. Inhibisi yang ditimbulkan oleh timbal asetat (Pb2+) lebih besar daripada yang ditimbulkan oleh sublima (Hg2+). Hal ini terlihat dari kecepatan reaksi enzimatik pada pengenceran dengan larutan timbal asetat paling kecil (aktivitas enzim sangat kecil).
E. KESIMPULAN
Dari beberapa percobaan yang dilakukan, maka dapat disimpulkan antara lain adalah sebagai berikut.
1. Kecepatan reaksi enzimatik akan meningkat seiring dengan peningkatan suhu sampai batas optimum. Setelah melewati suhu optimum, maka kecepatan reaksi enzimatik akan kembali menurun. Suhu optimum enzim amilase salivarius adalah 37 oC, sama dengan suhu normal tubuh.
2. Kecepatan reaksi enzimatik akan meningkat seiring dengan peningkatan suhu sampai batas optimum. Setelah melewati suhu optimum, maka kecepatan reaksi enzimatik akan kembali menurun. Suhu optimum enzim amilase yang terdapat pada saliva adalah 37 oC, sama dengan suhu normal tubuh.
3. Enzim memiliki aktivitas maksimal pada pH optimumnya (pH optimum enzim amilase saliva adalah 9. Penurunan atau kenaikan pH akan mempengaruhi aktivitas enzim.
4. Inhibitor logam berat dapat menyebabkan denaturasi enzim sehingga aktivitas enzim kecil sekali.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1998. Penunutun Praktikum Kimia Dasar Umum. Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia.
Azizahwati. 2006. Penuntun Praktikum Biokimia. Laboratorium Biokimia Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia.
Murray, Robert K. et. al. 2003. Biokimia Harper. Edisi 25. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.
Reynolds, James E.F. 1993. Martindale The Extra Pharmacopoeia. Edisi 30. London: The Pharmaceutical Press.
Suwandi, M. et. al. 1989. Kimia Organik . Edisi 1. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Darah
Posted: July 10, 2009 by filzahazny in tentang islam
Tags: darah, eritrosit, leukosit, menghitung, pipet
2
II. TEORI DASAR
Salah satu fungsi darah di dalam tubuh adalah sebagai alat transportasi. Di dalam tubuh darah berperan dalam transport oksigen, karbon dioksida, zat makanan , metabolit- metabolit yang tidak diperlukan, mengatur suhu tubuh normal, mempertahankan keseimbangan asam basa, mengatur keseimbangan air, mengatasi infeksi, transport hormone untuk metabolisme dan transport metabolit- metabolit antar jaringan. Jumlah darah dalam tubuh sekitar 5 -7 % dari berat badan. Pada wanita angka ini sedikit lebih rendah.
Plasma terdiri dari 91 -92% adalah air dan sisanya merupakabn zat- zat yang larut didalamnya berupa protein, enzim, hormon, vitamin, lipid, asam amino, dsb. Plasma darah ini merupakan system transport yang melayani semua sel melalui medium cairan ekstraselular.
Fungsi utama dari sel-sel darah merah( eritrosit) adalah mengangkut Hb yang seterusnya akan membawa oksigen yang berasak dari paru- paru ke jaringan. Sel darah merah normal berbentuk pelat, cekung ganda dan berdiameter 8 mikron. Konsentrasi pada pria lebih besar daripada wanita.
Sel darah putih( leukosit) merupakan unit yang aktif dari system pertahanan tubuh. Leukosit berfungsi menyediakan pertahanan yang cepat dan kuat terhadap setiap agen infeksi yang ada. Terdapat beberapa jenis leukosit, yaitu netrofil, eosinofil, basofil, monosit, limfosit dan megakarosit. Pada orang dewasa terdapat kira-kira 7000 sel darah putih per millimeter kubik.
Hemoglobin yang terdapat dalam sel sebenarnya merupakan penyangga asam basa yang umumnya adalah protein. Jumlah eritrosit yang mampu mengkonsentrasikan Hb dalam cairan sel mendekati 34 gr per desiliter
Kadar zat- zat yang terlarut di dalam darah selalu dalam batas-batas tertentu dan selalu dalam keadaan dinamik. Perubahan susunan darah dapat memberikan gambaran tentang metabolisme zat- zat yang terdapat dalam darah dan juga gambaran mengenai fungsi jaringan yang berkaitan dengan fungsi metabolisme maupun eksresinya. Darah akan membeku jika dikeluarkan dari tubuh setelah 10 menit. Bila pembekuan darah tidak didinginkan dapat digunakan anti koagulan. Pemakaian antikoagulan dapat mencegah pembekuan darah sehingga dengan pemusingan kita dapat memisahkan sel darh dari plasma darah. Beberapa contoh koagulan seperti Heparin, K/ Na oksalat, campuran ammonium oksalat dan kalium oksalat ( 3:2), Na sitrat, Etilen Diamin Tetra Asetat(EDTA)
Dalam pemeriksaan dengan garam Na ata K perlu diperhatikan hal-hal seperti:
1. Serum atau plasma harus secepatnya dipisahkan
2. pemeriksaan dilakukan secepatnya untuk mencegah pengaruh enzim dan zat-zat lain.
3. sebaiknya protein dan zat-zat lain yang bersifat mereduksi dihilangkan.
Kadar glukosa darah pada manusia setekah mengkonsumsi karbohidrat dapat naik hingga 6,5- 7,2 sedangkan selam puasa kadar glukosa darah akan turun sampai 3,3- 3,9.
III. ALAT DAN BAHAN
- tabung pengencer hemometer
- pipet hemoglobin
- alat Sahli
- pipet leukosit
- pipet eritrosit
- kamar hitung
- mikroskop
- tabung reaksi
- tabung pemusing
- pipet volumetric
- pipet tetes
- penangas air
- alat pemusing
- kolorimetri
- beaker glass
- darah HCl 0,1 N
- antikoagulan
- Lar. Turk
- TCA 10%
- O-toluidin dalam asam asetat
- Standard glukosa
- H2SO4
- air suling
- alcohol: eter
- CHCl3
IV. CARA KERJA DAN HASIL PENGAMATAN
1. Penetapan Kadar Hemoglobin Cara Sahli
Pada cara ini, hemoglobin diubah menjadi hematin asam. Kemudian warna yang terjadi dibandingkan secara visual dengan standar permanent pada alat hemometer.
Metode :
1. Masukkan kira-kira 5 tetes HCl 0,1 N ke dalam tabung pengencer hemometer.
2. Isap darah kapiler atau oksalat dengan pipet hemoglobin sampai garis tanda 0.02 ml.
3. Hapus darah yang melekat pada sebelah luar ujung pipet.
4. Catat waktunya dan segera alirkan darah dari pipet ke dasar tabung pengenceran yang berisi HCl itu. Hati-hati jangan sampai ada gelembung udara.
5. Angkat pipet itu sedikit, lalu isap HCl yang jernih ke dalam pipet 2 atau 3 kali untuk membersihkan darah yang masih tertinggal di dalam pipet.
6. Campur isi tabung supaya darah dan asam bersenyawa. Warna campuran menjadi coklat tua.
7. Tambahkan air (aquadest) setetes demi setetes, tiap kali diaduk dengan batang pengaduk yang tersedia. Persamaan warna campuran dan batang standar harus dicapai dalam waktu 5 menit setelah darah dan HCl dicampur dalam alat Sahli-Hallige (3 menit dalam alat Sahli-Erka). Pada usaha mempersamakan warna hendaknya tabung diputar sedemikian rupa sehingga garis bagi tidak terlihat.
8. Baca kadar Hemoglobin dalam gram/100 ml darah.
Pengamatan :
Dari hasil percobaan penentapan kadar Hemoglobin yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa kadar Hb dari darah yang diperiksa adalah 10.4 gram/100 ml darah.
Pembahasan :
Hemoglobin adalah sebuah proteida yang berfungsi mengangkut oksigen dan yang bertanggung jawab adalah pigmen dengan struktur kimia sebagai kromoproteida. Hb mengandung Heme dan globin
penentuan kadar Hb berdasarkan perubahan Hb menjadi hematin asam yang berwarna jingga kecoklatan dengan penambahan 5 tetes HCl 0,1 N. banyaknya hematin asam yang terbentuk diketahui dari intensitas warna jingga kecoklatan, kalau jumlahnya banyak maka warnanya sampai diperoleh warna standard pada alat hemometer, dan sebaliknya alat ini digunakan untuk mengukur kadar hemoglobin dengan cara persamaan warna yanbg hars dicapai dalam waktu 5 menit sesaat setelah darah dan HCl dicampur dalam alat sahli
Pada percobaan ini darah dicampur dengan HCl terbentuk warna jingga kecoklatan agak tua sehingga diperlukan banyak aquadest untuk mengencerkan warna agar sesuai dengan warna standar alat hemometer. Hal ini menunjukkan banyaknya hematin asam dalam larutan darah tersebut.
Dari percobaan diperoleh kadar Hb sebesar 10,4 gr/100 ml darah, darah yang diambil adalah darah laki-laki
Afinitas Hb untuk O2 dipengaruhi oleh pH, temperature, dan konsentrasi. Hb diperlukan dalam pengngkutan O2 dan CO2 sehingga jika jumlah Hb berkurang maka jumlah O2 dan CO2 yang diangkut juga akan berkurang. Dan darah yang kekurangan O2 akan berwarna kebiru-biruan.
2. Menghitung Sel-sel Darah
A. Menghitung Leukosit
Darah diencerkan dalam pipet leukosit, kemudian dimasukkan ke dalam kamar hitung. Jumlah leukosit dihitung dalam volume tertentu dengan menggunakan factor konversi jumlah leukosit per mikroliter (μL) darah dapat diperhitungkan.
Larutan pengencer ialah Larutan Turk yang mempunyai susunan sebagai berikut : larutan gentian violet 1% dalam 1 mL air, asam asetat glacial 1 mL, aquadest ad 100 mL, saring sebelum dipakai.
1. Mengisi Pipet Leukosit
a) Isaplah darah (kapiler atau oksalat) sampai garis tanda 0.5 tepat.
b) Hapuslah kelebihan darah yang melekat pada ujung pipet.
c) Masukkan ujung pipet dalam larutan turk sambil menahan darah pada garis ganda tadi. Pipet dipegang dengan sudut 450 dan larutan turk diisap perlahan-lahan sampai garis tanda 11. hati-hati jangan sampai terjadi gelembung udara. Angkatlah pipet dari cairan, tutup ujung pipet dengan ujung jari, lalu lepaskan karet penghisap.
c) Kocoklah pipet selama 15-30 detik. Jika tidak segera akan dihitung, letakkan dengan sikap horizontal.
2. Mengisi Kamar Hitung
a) Letakkan kamar hitung yang bersih dengan kaca penutupnya terpasang mendatar di atas meja.
b) Kocoklah pipet yang berisi tadi selama 3 menit terus-menerus, jagalah jangan ada cairan yang terbuang dari dalam pipet sewaktu mengocok.
c) Buanglah semua cairan yang ada di dalam batang kapiler pipet (3-4) tetes dan segeralah sentuhkan ujung pipet itu dengan sudut 300 pada permukaan kamar dihitung dengan menyinggung kaca penutup. Biarkan kamar hitung terisi cairan perlahan-lahan dengan daya kapilaritasnya sendiri.
d) Biarkan kamar hitung selama 2-3 menit supaya leukosit-leukosit dapat mengendap. Jika tidak dapat dihitung segera, simpanlah kamar hitung dalam sebuah cawan petri tertutup yang berisi segumpal kapas basah.
3. Menghitung Jumlah Sel
a) Pakailah lensa obyektif kecil, yaitu dengan pembesaran 10X, turunkan lensa kondensor atau kecilkan diafragma. Meja mikroskop harus datar sikapnya.
b) Kamar Hitung dengan bidang bergarisnya dilatakkan di bawah obyektif dan fokus mikroskop diarahkan kepada garis-garis bagi. Dengan sendirinya leukosit-leukosit jelas terlihat.
c) Hitung semua leukosit yang terdapat dalam keempat bidang besar pada sudut-sudut seluruh permukaan yang dibagi.
1. Mulailah menghitung dari sudut kiri atas, terus ke kanan, kemudian turun kebawah dan dimulai lagi dari kiri ke kanan. Cara ini dilakukan pada keempat bidang besar.
2. Sel-sel yang menyinggung garis batas sebelah kiri atau garis atas harus dihitung. Sebaliknya sel-sel yang menyinggung garis batas sebelah kanan atau bawah tidak boleh dihitung.
4. Perhitungan
Pengenceran yang terjadi dengan pipet adalah 20X. jumlah sel yang dihitung dalam keempat bidang dibagi 4 menunjukkan jumlah leukosit dalan 0.1μL. Angka tersebut dikalikan dengan 10 (untuk tinggi) dan 20(untuk pengenceran) untuk mendapatklan jumlah leukosit dalam I μL darah. Singkat : jumlah sel yang dihitung dikali 50 = jumlah leukosit per μL darah.
Pengamatan :
Jumlah sel yang diperoleh : 143
Jumlah leukosit per μL darah : 50 X 143 = 7.150/μL darah
Pembahasan :
Leukosit dapat dihitung jumlahnya dengan cara diencerkan dalam pipet leukosit dengan menggunakan larutan pengencer Turk yang mempunyai komposisi larutan : larutan gentian violet 1% dalam 1 mL air, asam asetat glacial 1 mL, aquadest ad 100 mL, saring sebelum dipakai, lalu dimasukkan ke dalam kamar hitung. Penambahan larutan gentian violet bertujuan untuk memberi warna pada inti dari granula leukosit dimana larutan ini memecah eritrosit dan trombosit, tetapi tidak memecah leukosit maupun eritrosit berinti.
Pada pengamatan setelah dihitung diperoleh leukosit darah yang diuji sebsar 7150/μL darah, sedangkan jumlah leukosit yang normal adalah 4000-12000 per μL darah. Berarti jumlah leukosit dalam darah normal.
Jumlah leukosit darah dapat turun naik terhantung dari ada tidaknya infeksi kuman dalam tubuh. Bila jumlah leukosit lebih dari normal disebut leukositosis dan jika kurang dari normal disebut leukopensi.
B. Menghitung Eritrosit
1. Mengisi pipet eritrosit
Tindakan-tindakan sama seperti cara mengisi pipet leukosit, darah diisap sampai garis tanda 0,5 dan larutan pengencer sampai garis tanda 11.
2. Mengisi kamar hitung
Sama seperti diterangkan pada menghitung leukosit.
3. Menghitung jumlah sel
a) Turunkan lensa kondensor atau kecilkan diafragma. Meja mikroskop harus dalam sikap rata air.
b) Aturlah fokus terlebih dahulu dengan memakai lensa objektif kecil (10x), kemudian lensda itu diganti dengan lensa objektif besar (40x) sampai garis-garis bagi dalam bidang besar tengah jelas nampak.
c) Hitunglah semua eritrosit yang terdapat dalam 5 bidang yang tersusun dari 16 bidang kecil, umpamanya pada keempat sudut bidang besar ditambah yang di tengah-tengah. Cara menghitung sel sama seperti untuk menghitung leukosit, yaitu mulai dari kiri ke kanan kemudian dari kanan ke kiri, dst. Kepastian untuk meghitung atau tidaknya eritrosit yang menyinggung garis-garis batas sama juga seperti untuk leukosit.
d) Perhitungan. Pengenceran dalam pipet eritrosit adalah 200 kali. Luas tiap bidang kecil 5 x 16 bidang kecil = 80 bidang kecil, yang jumlah luasnya 1/5 mm2. Faktor untuk mendapatkan jumlah eritrosit per µl darah menjadi 5 x 10 x 200 = 10000.
.
Pengamatan :
Jumlah sel darah yang diperoleh = 658
Jumlah Eritrosit per μL darah = 10000 X 658 = 6.580.000/μL darah
Pembahasan :
Sel darah merah eritrosit membawa hemoglobin di dalam sirkulasi. Ia merupakan cakram bikonkaf yang dibentuk dalam sumsum tulang. Pada mamalia, ia kehilangan intinya sebelum memasuki sirkulasi. Pada manusia, ia bertahan hidup di dalam sirkulasi rata-rata 120 hari. Tiap eritrosit manusia berdiameter 7,5 µm dan tebal 2 µm, serta masing-masing mengandung 29 pikogram hemoglobin. Sehingga ada sekitar 3.000 eritrosit dan sekitar 900 gram hemoglobin dalam darah bersirkulasi pada pria dewasa.
Eritrosit dapat dihitung jumlahnya dengan cara pengenceran menggunakan larutan Hayem yang mempunyai komposisi terdiri dari 5 gr Na-sulfat, 1 gr NaCl, 0,5 gr HgCl2 dan aquadest ad 100 ml. Kemudian dimasukkan ke dalam kamar hitung dan dihitung banyaknya eritrosit.
Setelah dihitung ternyata jumlah eritrosit dalam darah yaitu 6.580.000 per µl. Jumlah normal eritrosit pada pria yaitu 5,4 juta /µl dan pada wanita 4,8 juta /µl. jadi, eritrosit yang didapat praktikum melebihi jumlah normal, mungkin karena pengenceran yang dilakukan tidak merata.
Eritrosit dapat juga lisis oleh obat dan infeksi. Kerentanan eritrosit terhadap hemolisis oleh zat ini ditingkatkan oleh defisiensi enzim glukosa 6-fosfat dehidrogenasi, yang mengkatalisis tahap awal dalam oksidasi glukosa melalui lintasan heksosamonofosfat. Lintasan ini membentuk NADPH, yang diperlukan untuk memelihara kerapuhan eritrosit yang normal.
Dalam perhitungan eritrosit yang perlu diperhatikan adalah :
1. Faktor pengenceran
Jika jumlah sel banyak maka pengenceran ditingkatkan dan jika jumlah sel sedikit maka pengenceran tidak berlebih, hal ini bertujuan agar perhitungan dapat dilakukan dengan tepat. Pada penderita anemia hemolitik atau autoimun, hendaknya menggunakan larutan pengencer Na sitrat 0,109 M tanpa formalin karena larutan formalin akan memfiksasi eritrosit yang teraglutinasi.
2. Melakukan koreksi terhadap hitung leuosit, karena eritrosit berinti tidak hancur oleh larutan Turk karenanya terhitung sebagai leukosit.
3. Analisis Kuantitatif Darah
A. Penetapan Kadar Gula Darah (O-Toluidin)
Sediakan 4 tabung pemusing. Masukkan ke dalam tabung :
1. Tabung 1 : 0,2 ml darah/serum
2. Tabung 2 : 0,2 ml darah/serum
3. Tabung 3 : 0,3 ml larutan standar
4. Tabung 4 : 0,2 ml air suling
Tambahkan pada masing-masing tabung 2,0 TCA. Pusingkan tabung 1 dan 2 selama 5 menit. Ambil dari masing-masing tabung (1 dan 2 cairan bebas protein, 3 campuran standar, 4 blanko) 1,0 ml larutan dan campur di dalam tabung kolorimetri dengan 4,0 ml larutan o-toluidin. Panaskan tabung-tabung tersebut pada penangas air mendidih selama 8 menit. Dinginkan segera di bawah keran. Setelah kira-kira 20 menit, lakukan pembacaan dengan kolorimetri fotoelektrik pada panjang gelombang 625 nm.
Perhitungan:
Kadar glukosa = Ru x 0,1 x 100
Rs 0,1
Pengamatan :
Tabung I : 0,110
Tabung II : 0,116
Tabung III (Standar) : 0,056
Kadar Glukosa = Uji x 0,1 x 100
Standar 0,1
Kadar Glukosa I = 0,110 x 0,1 x 100 = 196,43 %
0,056 0,1
Kadar Glukosa II = 0,116 x 0,1 x 100 = 207,14 %
0,056 0,1
Pembahasan :
Asam Trikloroasetat mengendapkan protein sehingga filtrat hanya mengandung glukosa. Glukosa berkonjugasi dengan o-toluidin dalam asetat panas membentuk senyawa berwarna biru-hijau. Dengan cara ini dapat ditetapkan kadar glukosa yang lebih tepat dari suatu larutan. Galaktosa juga akan memberi reaksi yang sama dan dapat mengganggu pemeriksaan. Satu hal yang penting ialah bahwa reaksi harus dilakukan dengan alat-alat yang kering dan bersih.
Penetapan kadar gula dalam darah merupakan salah satu pemeriksaan yang sering dilakukan terhadap darah, plasma, atau serum. Cara penetapannya dapat secara makroataupun mikro. Pada percobaan kali ini kadar glukosa ditetapkan dengan kolorimetri fotoelektrik berdasarkan sifat mereduksi glukosa.
Prinsip penetapan kadar gula darah ini berdasarkan pengendapan protein darah dengan asam trikloroasetat yang ada pada saat dipusingkan terluhat baguan yang mengendap (protein darah) dan cairan yang ada di atas mengandung gula yang akan diperiksa dengan menambahkan o-toluidin dalam asam asetat glasial, lalu dipanaskan. Saat dipanaskan, gula akan berkonjugasi dengan o-toluidin dalam asetat panas dengan memberikan waran biru hijau. Kemudian kadar gulanya ditetapkan dengan kolorimetri fotoelektrik pada panjang gelombang 625 nm.
Dari percobaan didapat kadar glukosa adalah 83,74 dan 95,48, sedangkan kadar normal adalah 80 – 100. Hal ini berarti kadar gula praktikan normal.
VI. KESIMPULAN
Dari hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa :
1. Kadar hemoglobin dalam darah yaitu 10,4 gr /100 ml darah.
2. Jumlah leukosit yaitu 7.150/µl darah.
3. Jumlah eritrosit yaitu 6,58 juta/µl darah.
4. Kadar gula darah : pada tabung I sebesar 196,43 mg % dan pada tabung II sebesar 207,14 mg %.
VII. DAFTAR PUSTAKA
__________1999. Penuntun Praktikum Biokimia, Laboratorium Biokimia, Jurusan Farmasi, FMIPA UI, Depok.
Murray, Robert K., dkk. 1995. Biokimia Harper edisi 25. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Guyton, Arthur C. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 7. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Syaifuddin B. Ac. 1992. Anatomi Fisiologi untuk siswa perawat. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
ASAM AMINO, PROTEIN, dan SUSU
Posted: July 10, 2009 by filzahazny in biokimia
Tags: asam amino, kimia analisis, putih telur anti dotum, test
1
I. Tujuan
1. Mengetahui cara identifikasi asam amino dan protein.
2. Mengetahui sifat dan reaksi dari berbagai asam amino.
3. Mengetahui perbedaan susu yang belum dipasteurisasi dengan susu yang sudah dipasteurisasi.
II. Teori Dasar
A. Asam Amino dan Protein
Protein merupakan molekul besar (berat molekulnya dapat sampai beberapa juta). Terdapat dalam seluruh sel tubuh. Protein tersusun atas kira-kira 20 macam asam amino yang berikatan satu sama lain dengan ikatan peptida yang dibentuk antara gugus karboksil asam amino dengan gugus amino dari asam amino berikutnya.
Protein pada umumnya diklasifikasikan atas daya larut dan komposisi kimianya. Berdasarkan komposisi kimianya, protein dibagi atas:
1. Simple Protein:
Merupakan protein yang hanya mengandung 1-alfa-asam amino atau derivatnya. Beberapa contoh Simple Protein antara lain: albumin, globulin, glutein, protamin, albuminoid, dan histon.
2. Conjugated Protein:
Merupakan protein yang bergabung dengan zat yang bukan protein. Zat yang bukan protein ini disebut gugus prostetik. Beberapa contoh Conjugated Protein antara lain: nukleoprotein, glikoprotein, fosfoprotein, lipoprotein, dan metalloprotein.
Asam amino dan protein secara umum mempunyai sifat-sifat fisik yang sama. Sebagai contoh, asam amino maupun protein mempunyai gugus asam dan basa. Kelarutan protein dalam air juga berbeda, tergantung dari banyaknya ion positif dan ion negative yang terdapat dalam protein. Protein bila dihidrolisis akan terurai menjadi beberapa jenis asam amino. Aktivitas biologis protein tergantung dari bentuk tiga dimensi asam-asam amino penyusunnya.
Destruksi atas bentuk tiga dimensi suatu protein disebut denaturasi. Bentuk tiga dimensi tergantung atas ikatan hydrogen, ikatan interionik (jembatan garam) dan ikatan disulfide. Suatu agent/zat-zat tertentu yang dapat berinteferensi dengan ikatan-ikatan tersebut dapat mendenaturasi suatu protein. Perubahan-perubahan yang terjadi pada protein akibat denaturasi antara lain adalah berkurangnya daya larut protein, hilangnya aktivitas protein (khusunya untuk enzim dan hormone), berubah atau hilangnya sifat antigen.
Asam amino dapat digolongkan menjadi 7 golongan atas dasar struktur rantai samping R.
Rumus umum asam amino:
COOH
|
H2N — C — H
|
R
Asam amino dapat digolongkan menjadi 7 golongan atas dasar struktur rantai samping R. Golongan tersebut adalah:
1. Asam amino dengan rantai samping alifatik, misalnya glisin, alanin, valin, leusin, dan isoleusin.
2. Asam amino dengan rantai samping yang mengandung gugus hidroksil, misalnya serin, treonin, dan tirosin.
3. Asam amino dengan rantai samping yang mengandung sulifur, misalnya sistein dan metionin.
4. Asam amino dengan rantai samping yang mengandung gugus asam atau amida, misalnya asam aspartat, asparagin, asam glutamat, dan glutamin.
5. Asam amino dengan rantai samping yang mengandung gugus basa, misalnya arginin, lisin, dan histidin.
6. Asam amino dengan rantai samping yang mengandung cincin aromatik, misalnya fenil alanin, tirosin, dan triptofan.
7. Asam amino lain, misalnya prolin dan 4-hidroksiprolin.
Asam amino terdapat dalam molekul protein. Akan tetapi, ada juga asam amino yang tidak terdapat dalam molekul protein, misalnya beta alanin, taurin, gamma amino butirat, ornitin, dan sitrulin.
Asam amino memiliki beberapa sifat yang khas. Sifat-sifat tersebut di antaranya adalah:
1. kristal putih yang larut dalam asam dan alkali kuat,
2. beberapa di antaranya mampunyai rasa manis, misalnya glisin, alanin, serin, dan prolin; rasa tawar, misalnya triptofan dan leusin; dan rasa pahit, misalnya arginin,
3. mempunyai atom C asimetris (kecuali glisin) sehingga mempunyai keaktifan optik,
4. bersifat amfoter, dan
5. pada pH isoelektrik, tidak bergerak dalam medan listrik.
Asam amino diperlukan oleh tubuh. Asam amino yang diperlukan oleh tubuh dibagi ke dalam 2 kelompok:
1. Asam amino esensial, yaitu asam amino yang tidak dapat disintesis oleh tubuh sehingga mutlak didapat dari makanan. Contohnya adalah triptofan, fenil alanin, lisin, treonin, valin, metionin, leusin, dan isoleusin.
2. Asam amino non-esensial, yaitu asam amino yang dapat disintesis oleh tubuh. Asam amino ini juga terdapat dalam makanan sebagai sumber nitrogen.
B. Susu
Susu merupakan makanan alami yang paling lengkap kandungan nutrisinya. Susu memiliki struktur yang sangat kompleks (terdiri lebih dari 100.000 molekul yang berbeda). Komposisi yang diperkirakan dalam susu adalah:
a. 87.3% air (sekitar 85,5%-88,7%)
b. 3,9% lemak susu (sekitar 2,4%-5,5%)
c. 8,8% padatan bukan lemak (sekitar 7,9%-10,0%), yaitu:
• protein 3,25% (¾ kasein)
• laktosa 4,6%
• mineral 0,65 % yaitu: Ca, sitrat, P, Mg, K, Na, Zn, Cl, Fe, Cu, sulfat, bikarbonat, dan banyak lainnya.
• asam 0,18% misalnya asam sitrat, format, asetat, laktat, oksalat.
• enzim-enzim, misalnya peroksidase, katalase, fosfatase, lipase.
• gas-gas, misalnya oksigen, nitrogen.
• vitamin-vitamin, misalnya vitamin A, C, D, tiamin, riboflavin dan lainnya.
Hal ini membuat penggunaan susu cocok untuk semua jenis umur dan susu dapat memproduksi makanan penting, seperti mentega dan keju. Susu mengandung karbohidrat, protein, vitamin, mineral dan lain-lain. Kekurangan dari susu adalah kandungannya yang rendah terhadap zat besi, tembaga, vitamin C dan vitamin D.
Perbedaan antara susu manusia dengan susu sapi adalah pada kandungan protein dan abu yang lebih tinggi pada susu sapi dan kandungan karbohidrat yang lebih tinggi pada susu manusia. Berikut ini adalah komposisi dari susu sapi:
• 88% air
• 3,3% protein
• 3,3% lemak
• 4,7% karbohidrat
• 0,7% abu
Modifikasi dari susu sapi untuk nutrisi bayi disempurnakan dengan pengenceran dengan air untuk menurunkan kadar abu dan proteinnya, serta untuk meningkatkan laktosa atau karbohidrat lain sejumlah kira-kira susu manusia. Penampilan susu yang putih dapat disebabkan oleh lemak yang teremulsi atau karena adanya garam kalsium dari kasein. Warna kuning yang terbentuk disebabkan oleh pigmen karotenoid, contohnya karoten. Susu segar memiliki pH antara 6,6 sampai 6,8. Susu yang tidak steril capat menjadi asam dan menunjukkan adanya fermentasi oleh mikroorganisme.
Distribusi dari konstituen inorganik sangat mirip antara susu manusia dan susu sapi. Hal yang penting untuk diperhatiakn adalah kandungan yang tinggi dari kalsium, fosfor, kalium, magnesium dan klor. Susu mungkin merupakan sumber kalsium dan fosfor yang ideal dalam nutrisi. Kedua elemen ini penting untuk semua sel dan diperlukan dalam jumlah yang besar untuk pembentukan tulang dan gigi. Aktivitas sekresi dan kelenjar mammae mencapai perbedaan yang besar pada konsentrasi konstituen inorganik dalam darah dan susu. Rasio molar susu dibandingkan dengan konsentrasi darah menunjukkan bahwa kandungan natrium dan flor dari susu jelas lebih rendah dari plasma, dimana kandungan kalsium, kalium, magnesium, dan fosfat sangat tinggi.
Susu murni mentah mengandung beberapa enzim diantaranya katalase, dehidrogenase dan peroksidase. Bila susu dipasteurisasi, maka enzim-enzim tersebut akan rusak. Untuk enzim dehidrogenase, dapat digunakan tes Schardinger yang berdasarkan reduksi biru metilen oleh dehidrogenase membentuk leukobirumetilen yang tidak berwarna. Hidrogen untuk reaksi ini diperoleh dari formalin.
III. Alat dan Bahan
Alat : Tabung reaksi dan rak Penangas air
Indikator universal Beaker glass
Kertas saring Kaca arloji
Pembakar spiritus Batang pengaduk
Pipet tetes Gelas ukur
Corong Kaki tiga dan kasa
Bahan : Larutan albumin 2 % Serbuk albumin
Larutan putih telur Larutan kasein2%
Larutan fenol 2% Larutan (NH4)2SO4
Susu murni Pereaksi Millon
Pereaksi Hopkins-Cole Pereaksi ninhidrin0,1%
Pereaksi Guaiac H2SO4 pekat
Larutan NaOH 10% Larutan CuSO4
Urea HNO3 pekat
NaOH atau NH4OH pekat Etanol 95%
HgCl2 2% Pb-asetat 2%
FeCl3 2% Larutan H2O2 3%
Larutan eter Larutan eter-etanol
Indikator pp dan mm Biru metilen 0,02%
Formaldehid 0,4% Aquadest
IV. Cara Kerja
4.1. Test Millon
Reaksi ini disebabkan oleh derivat-derivat monofenol seperti tirosin. Pereaksi yang digunakan adalah larutan ion merkuri/merkuro dalam asam nitrat/nitrit. Warna merah yang terbentuk mungkin disebabkan oleh garam merkuri dari tirosin yang ternitrasi.
Metode :
1. tambahkan 5 tetes pereaksi Millon ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 3 ml albumin, kasein, fenol 2% dan putih telur.
2. panaskan campuran dengan hati-hati.
3. warna merah menyatakan hasil positif, jika reagen yang digunakan terlalu banyak maka warna akan hilang dengan pemanasan.
4.2. Test Hopkins-Cole
Pereaksi yang digunakan mengandung asam diglioksilat. Triptofan berkondensasi dengan aldehida, dan dengan asam pekat membentuk kompleks berwarna dari jenis asam 2,3,4,5-tetrahidro-karbolin-4-karboksilat.
Metode :
1. campurlah 2 ml larutan albumin 2%, kasein, dan putih telur dengan larutan Hopkins-Cole.
2. tambahkan dengan hati-hati melalui dinding tabung asam sulfat pekat.
3. amati warna yang terbentuk pada pertemuan kedua cairan.
4.3. Test Ninhidrin
Semua asam amino alfa bereaksi dengan ninhidrin membentuk aldehida dengan satu atom C lebih rendah dan melepaskan NH3 dan CO2. Disamping itu, terbentuk kompleks berwarna biru yang disebabkan oleh 2 molekul ninhidrin yang bereaksi dengan NH3 setelah asam amino tersebut dioksidasi. Garam-garam ammonium, amina, peptida, dan protein juga bereaksi tetapi tanpa melepaskan CO2 dan NH3.
Metode :
1. dalam tabung reaksi yang berisi larutan (NH4)2SO4, albumin 2%, kasein 2%, dan putih telur ditambah 0,5 ml larutan Ninhidrin 0,1%.
2. letakkan pada pemanas air mendidih selama 10 menit.
4.4. Test Biuret
Merupakan test umum yang baik untuk protein. Warna yang terbentuk kemungkinan berasal dari kompleks antara ion Cu++ dengan gugus –CO dan –NH ikatan peptida dalam suatu alkalis.
Metode :
1. campurlah 2 ml larutan albumin 2% dengan 2 ml NaOH 10% dan tambahkan setetes larutan CuSO4. campurlah dengan baik, jika belum terbentuk warna tambahkan lagi setetes atau 2 tetes CuSO4. ulangi test ini dengan larutan kasein dan putih telur.
2. isilah tabung reaksi dengan sedikit urea, panaskan di atas api kecil sehingga zat tersebut mencair dan terbentuk gelembung-gelembung gas (hati-hati jangan sampai mengarang) perhatikan bau gas yang terbentuk. Larutkan isi tabung tersebut dengan air dan lakukan test Biuret seperti di atas.
4.5. Test Xanthoprotein
Reaksi ini berdasarkan nitrasi inti benzen yang terdapat dalam molekul protein. Senyawa nitro yang terbentuk berwarna kuning dan dalam lingkungan alkalis ia terionisasi dengan bebas dan warnanya menjadi lebih tua atau menjadi jingga.
Metode :
1. campurlah 2 ml larutan albumin 2% dengan 1 ml HNO3 pekat. Perhatikan terbentuknya endapan berwarna putih.
2. panaskan hati-hati, endapan akan larut kembali dan larutan tersebut akan berubah menjadi kuning.
3. dinginkan di bawah kran dan dengan hati-hati (tetes demi tetes) tambahkan dengan larutan alkali pekat (NaOH atau NH4OH).
4. ulangi percobaan larutan kasein, larutan fenol 2%, dan larutan putih telur.
4.6. Pengaruh Logam Berat
Metode :
1. ke dalam 3 ml larutan albumin 2% da larutan putih telur ditambahkan 5 tetes larutan HgCl2 2%.
2. ulangi percobaan dengan menggunakan Pb-asetat 2% dan FeCl3 2%.
4.7. Koagulasi Protein dengan Pemanasan
Metode :
1. isilah 2 tabung reaksi dengan 50 mg serbuk albumin.
2. tambahkan 5 ml air pada salh satu tabung.
3. letakkan kedua tabung pada pemanas air mendidih dengan sering-sering mengocoknya selama 15 menit, angkat keduanya, dinginkan dan tambahkan dengan 5 ml air pada tabung yang berisi albumin kering.
4. kocok keduanya lalu saring, pada filtrat lakukan test Biuret.
4.8. Reaksi Susu
Pereaksi pH susu dengan fnolftalein, metil merah dan indikator universal.
4.9. Test Protein
Lakukan test Millon dan Biuret terhadap sejumlah kecil susu.
4.10. Pembentukan Film (selaput)
Metode :
1. Panaskan 25 ml susu murni hingga mendidih di dalam gelas kimia yang terbuka.
2. Ambil selaput yang terbentuk di atas permukaan susu, lakukan pemeriksaan dengan Millon dan Biuret.
3. Dinginkan dan ulangi pemanasan.
4.11. Membedakan Suhu Mentah dan Susu yang Telah Dipasteurisasi
Susu murni mentah mengandung beberapa enzim, diantaranya yaitu katalase, dehidrogenase,dan peroksidase. Bila susu dipasteurisasi, enzim-enzim tersebut menjadi rusak.
Metode :
1. Test Guaiac (untuk katalase)
Campurlah 2 ml susu mentah dengan 8 ml air. Bagilah larutan menjadi 2 bagian, masukkan masing-masing bagian ke dalam tabung reaksi yang diberi tanda a dan b. Panaskan tabung a hingga mendidih kemudian dinginkan. Kedalam dua tabung tadi ditambahkan 10 tetes larutan guaiac dalam alkohol dan beberapa tetes H2O2 3%, campur baik-baik dan panaskan C.dalam penangas air 37
2. Test Schardinger (untuk dehidrogenase)
Test ini berdasarkan reduksi biru metilen oleh dehidrogenase membentuk leukobirumetilen yang tidak berwarna. Hidrogen untuk reduksi ini diperoleh dari formaldehid.
Metode : isilah sebuah tabung reaksi dengan 5 ml susu mentah dan tabung lain dengan 5 ml susu yang telah dipasteurisasikan. Tambahkan pada masing-masing tabung 1 ml larutan biru-metilen 0,02% dan 1 ml larutan formaldehid 0,4%. Campur, dengan baik dan panaskan pada penangas air C).C (jaga suhu jangan sampai melebihi 67pada suhu 60-65
4.12. Pembuatan Kasein
C. Tambahkan tetesPanaskan 50 ml susu dalam penangas air pada suhu 40 demi tetes 1 ml asam asetat glacial sambil diaduk sehingga semua kasein mengendap. Saring endapannya dengan kain dan hilangkan airnya. Suspensikan endapan dalam 25 ml etanol 95%, dekantasi dan buang supernatant, ulangi dengan 25 ml larutan eter-etanol 1:1. gunakan pula 25 ml larutan eter-etanol untuk memindahkan kasein ke dalam corong Buchner, cuci dengan 25 ml eter, keringkan endapan tersebut di atas kaca arloji.
1. periksalah daya larut kasein dalam NaCl 10%; NaOH 0,1 N; HCl 0,2 N; Na2CO3 0,5%; Ca(OH)2 jenuh.
2. lakukan test-test Biuret, Millon, Xanthoprotein, dan Hopkins Cole untuk protein.
V. Pengamatan dan Pembahasan
5.1. Test Millon
Tabung Hasil Pengamatan Keterangan
Albumin Merah Tua Merah tua berbentuk larutan, ada gumpalan pink di bagian bawah
Kasein Merah Gumpalan merah muda
Fenol 2% Tidak terbentuk warna merah Hasil negatif
Putih Telur Merah Tua Ada gumpalan putih dan merah tua tidak bercampur (semuanya gumpalan)
Jawaban Pertanyaan
1. Jika garam merkuri ditambahkan ke dalam protein akan terbentuk warna merah.
2. Larutan protein terkoagulasi karena protein mengalami destruksi bentuk dimensi dari rantai polipeptida yang ikatannya akan pecah tanpa mengakibatkan pemecahan ikatan kovalen dari ikatan peptidanya.
Pembahasan
Baik Albumin, Kasein, maupun putih telur memberikan hasil (+) terhadap test Millon. Hal ini dikarenakan pada Albumin, Kasein, dan putih telur mengandung derivat monofenol.
Reaksi ini didasari bahwa bila suatu protein ditambahkan garam merkuri, maka akan terjadi koagulasi. Protein dapat terkoagulasi karena protein mengalami destruksi bentuk tiga dimensi dari rantai polipeptida yang ikatannya akan pecah tanpa mengakibatkan pemecahan ikatan kovalen dari ikatan peptidanya. Dasar inilah yang menjelaskan mengapa fenol yang dalam hal ini merupakan golongan non protein, tidak mengalami koagulasi sehingga memberikan hasil yang negatif.
5.2. Test Hopkins-Cole
Tabung Hasil Pengamatan
Albumin 2 % Cincin ungu, namun tidak terlalu ungu,bagian atas putih pekat
Kasein Cincin ungu, bagian atas putih keruh
Putih Telur Cincin ungu, bagian atas kuning
Jawaban Pertanyaan
1. Yang tidak memberikan hasil uji positif : Tidak ada, karena semua mengandung triptofan.
Pembahasan
Pereaksi Hopkins-Cole terdiri dari asam glioksilat (CHO.COOH) dalam H2SO4 (p). Triptofan diduga berkondensasi dengan aldehida ini,dan dengan asam pekat membentuk kompleks berwarna dari jenis asam 2,3,4,5-tetrahidro-β-karbolin-4-karboksilat.
Test ini berhasil bila terdapat oksidator kuat seperti nitrat dan klorat. Asam sulfat yang digunakan harus sangat murni yang berarti tidak mengandung bahan-bahan yang bertindak sebagai oksidator.
Hasil positif (membentuk cincin ungu) diberikan oleh ketiga larutan uji, yaitu albumin, kasein, dan putih telur. Hasil tersebut menunjukkan bahwa dalam ketiga zat terdapat asam amino triptofan. Warna ungu diberikan oleh gugus indol yang terdapat dalam triptofan.
Reaksi dari test Hopkins-Cole yaitu:
5.3. Test Ninhidrin
Tabung Hasil Pengamatan
(NH4)2SO4 Bening
Albumin 2 % Biru keunguan
Kasein 0,2 % Ungu muda, ada endapan
Putih Telur Lapisan atas berwarna ungu, lapisan bawah berwarna putih
Jawaban Pertanyaan
1. Terbentuk warna : ungu atau biru
2. Gugus yang memberikan uji positif : aldehida dengan satu atom C lebih rendah
Pembahasan
Reaksi ini merupakan reaksi deaminasi serin dekarboksilasi dan menghasilkan gas CO2, gas NH3, hidrindatin, dan suatu aldehid yang mempunyai jumlah atom C kurang satu dari asam amino semula. Gas NH3 yang dibebaskan dan hidrindantin akan bereaksi kembali dengan ninhidrin dan menghasilkan suatu senyawa kompleks diketohidrindilena-diketohidrinamina yang berwarna ungu atau biru. Semua alfa amino, peptida, dan protein akan memberi warna ungu atau biru dengan ninhidrida. Disamping asam alfa amino, senyawa amina yang lain juga akan bereaksi dengan ninhidrin dan menghasilkan senyawa yang berwarna biru. Perbedaannya reaksi yang terakhir ini tidak menghasilkan gas CO2.
Hasil pengamatan oleh kelompok kami menunjukkan bahwa albumin, kasein, dan putih telur memberi hasil positif, yang berarti ketiga zat tersebut mengandung asam amino α. Sedangkan (NH4)2SO4 memberi hasil negatif.
5.4. Test Biuret
Tabung Hasil Pengamatan
Albumin 2 % Larutan warna ungu
Kasein 2 % Larutan warna ungu agak kebiruan
Putih Telur Larutan warna ungu
Jawaban Pertanyaan
1. Terbentuk warna : ungu
2. Kelebihan CuSO4 harus dihindari karena :
• Cu merupakan logam berat. Jika penggunaannya terlalu banyak maka albumin akan terdenaturasi membentuk koagulan.
• Pada suasana alkalis akan terbentuk Cu(OH)2 dari reaksi :
Cu2+ + 2OH- Cu(OH)2 (ungu)
Cu2+ berwarna biru intensif, jika berlebihan akan mengakibatkan warna ungu terkalahkan sehingga hasilnya negatif
3. Reaksi pembentukan Biuret dari urea
CO(NH2)2 + NaOH + CuSO4 kompleks Cu
Pembahasan
Berdasarkan hasil percobaan, albumin, kasein, dan putih telur memberikan warna ungu (hasil positif). Warna ungu yang terbentuk adalah senyawa biuret. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa albumin, kasein, dan putih telur memiliki paling sedikit dua ikatan peptida.
Urea bukan merupakan protein, namun karena urea mengandung gugus –NH2 (amin) yang mempunyai kesamaan dengan gugus protein sehingga membentuk warna ungu sebagai hasil reaksi antara Cu2+ dengan –NH. Oleh karena itu urea memberikan hasil positif pada uji biuret. Pada pemanasan urea terbentuk gelembung gas dan mengeluarkan bau ammonia yang sangat menyengat.
5.5. Test Xanthoprotein
Tabung Hasil Pengamatan
Penambahan HNO3 Dipanaskan 25 menit Pendinginan, lalu penambahan NH4OH Keterangan
Larutan atas Warna orange setelah pengocokan Larutan bawah
Kasein 2% Ada endapan kuning, larutan kuning Kuning muda keruh Orange jernih ++ ++ Kuning +
Putih Telur Gumpalan kuning putih Kuning tua keruh Orange jernih +++ ++++ Kuning ++ Cincin orange kemerahan
Fenol Larutan merah coklat Hijau muda, ada gumpalan kuning Orange kemerahan +++ Hijau Muda Tidak ada cincin
Albumin 2% Gumpalan putih pada bagian atas, larutan bagian bawah berwarna kuning muda Kuning keputihan Kuning + + Kuning keputihan
Jawaban Pertanyaan
1. Pada test ini yang terjadi adalah terbentuknya senyawa nitro yang berwarna kuning, dan dalam lingkungan alkalis akan terionisasi dengan bebas dan warnanya berubah menjadi jingga.
Pembahasan
Pereaksi Xanthoprotein terdiri dari HNO3 pekat panas. Reaksi ini digunakan untuk asam amino tirosin, triptofan dan fenilalanin. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna kuning. Reaksi ini berdasarkan nitro inti benzene yang terdapat dalam molekul protein. Senyawa nitro yang terbentuk berwarna kuning dan dalam lingkungan alkalis akan terionisasi dengan bebas dan warnanya menjadi lebih tua atau menjadi jingga
Berdasarkan hasil percobaan, albumin, kasein, putih telur, dan fenol memberikan hasil positif (terbentuk warna yang tadinya kuning menjadi jingga). Hal ini menunjukkan bahwa keempat larutan uji tersebut memiliki inti benzene. Reaksi ini berdasarkan nitrasi inti benzene yang terdapat dalam molekul protein. Untuk fenol, reaksi ini positif karena pada fenol terdapat inti benzen.
5.6. Pengaruh Logam Berat
Tabung Hasil Pengamatan
HgCl2 2 % Pb Asetat 2 % FeCl3 2%
Albumin 2 % Gumpalan di bawah Menggumpal di bawah Tidak ada gumpalan
Putih Telur Gumpalan di atas Gumpalan diatas Tidak bercampur dengan putih telur
Jawaban Pertanyaan
1. Hasil yang terbentuk : albumin akan membentuk gumpalan dengan adanya logam berat.
2. Putih telur digunakan sebagai antidotum terhadap keracunan logam berat karena putih telur mengandung albumin, sehingga apabila tubuh keracunan logam berat maka ion logam berat tersebut akan bereaksi dengan albumin membentuk koagulan sehingga logam berat tersebut tidak akan mengganggu atau merusak aktivitas enzim lain di dalam tubuh.
Pembahasan
Garam-garam dari logam berat seperti Hg2+, Ag+ dan Pb2+ dapat berikatan dengan gugus –SH dari protein. Disamping itu dapat membentuk ikatan yang sangat kuat dengan gugus –COO- dari asam aspartat dan asam glutamate yang terdapat dalam molekul protein pecah sehingga proteinnya sendiri akan mengendap. Dengan terjadinya pengendapan atau disebut juga koagulasi, protein mengalami perubahan konformasi serta posisinya sehingga aktivitasnya berkurang atau kemampuannya untuk menunjang aktivitas organ tubuh tertentu akan hilang. Berdasarkan hasil percobaan, pada albumin dan putih telur dengan logam Hg dan Pb akan terjadi koagulasi, tapi dengan logam Fe tidak terjadi koagulasi.
5.7. Koagulasi Protein dengan Pemanasan
Tabung Hasil Pengamatan
1 Ada Koagulai protein warna biru; larutan berwarna ungu lebih muda
2 Tidak ada koagulasi; larutan berwarna ungu
Jawaban Pertanyaan
1. Pada koagulasi protein dengan pemanasan diperlukan air.
Pembahasan
Koagulasi adalah proses penggumpalan, sedangkan denaturasi adalah inaktivasi protein.
Pemberian energi berupa panas akan memutuskan ikatan hidrogen dan akan menyebabkan terjadinya penggumpalan protein. Penambahan air pada koagulasi protein dengan pemanasan diperlukan air karena jika tidak ada air maka koagulasi protein tidak akan terjadi. Protein yang tanpa air dengan pemanasan akan terjadi denaturasi tetapi tidak terjadi koagulasi. Denaturasi tidak selalu disertai dengan koagulasi.
Serbuk albumin yang ditambah air sebelum pemanasan sudah mengalami koagulasi, namun pada serbuk albumin yang tidak ditambahkan air, koagulasi tidak terjadi walaupun sudah dipanaskan. Baru setelah ditambah air, koagulasi dapat terjadi. Dari serbuk albumin yang ditambahkan air, setelah ditambahkan pereaksi biuret terbentuk warna ungu yang lebih muda dibandingkan dengan albumin yang dipanaskan tanpa air.
5.8. Reaksi Susu
Indikator Pengamatan
Phenolphtalein Tetap Putih
Metil Merah Jingga
Indikator Universal 7 (netral)
Pembahasan
Pada pemeriksaan pH dengan menggunakan fenolftalein, setelah diberi pereaksi fenolftalein 3 tetes, warna susu tidak berubah (putih). Apabila dilihat dari trayek pH fenolftalein yang berkisar antara pH 8,3-10, dengan perubahan warna dari tidak berwarna sampai ungu, maka dapat disimpulkam bahwa pH susu berada di antara < 8,3.
Pada pemeriksaan pH dengan menggunakan metil merah, diperoleh warna susu yang berubah menjadi jingga. Jika dilihat dari rentang pH metil merah yang berkisar antara 4,2-6,3 dengan warna merah sampai kuning, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pH susu lebih dari 6,3.
Pada pemeriksaan dengan menggunakan indikator universal, didapat hasil bahwa pH susu adalah 7.
5.9. Test Protein pada Susu
Uji Pengamatan Kesimpulan
Test Millon Terbentuk gumpalan warna merah muda +
Test Biuret Terbentuk warna ungu +
Pembahasan
Susu mengandung protein. Hal ini terlihat dari hasil test Biuret yang menunjukkan hasil positif berupa terbentuknya larutan berwarna ungu. Test Biuret digunakan untuk reaksi umum protein, sedangkan untuk test Millon menunjukkan hasil positif berupa terbentuknya gumpalan berwarna merah. Test Millon digunakan untuk menunjukkan asam amino, bahwa asam amino yang memberikan hasil positif adalah tirosin. Sehingga dapat disimpulkan bahwa asam amino yang terdapat dalam susu adalaeh tirosin.
5.10. Pembentukan Film (selaput)
Perlakuan Hasil Pengamatan
Pemanasan Terbentuk selaput
Test Millon Warna merah
Test Biuret Warna ungu
Didinginkan, kemudian dipanaskan kembali Tidak terbentuk selaput
Jawaban Pertanyaan
1. Yang membentuk selaput : protein
2. Pada pemanasan selanjutnya tidak terbentuk selaput.
Pembahasan
Pada pemanasan susu murni hingga mendidih, akan dapat kita lihat pada bagian atas permukaan larutan susu adanya selaput (seperti film tipis). Selaput kemudian dites dengan peraksi Millon dan ternyata diperoleh hasil yang positif dengan adanya endapan berwarna merah. Hal ini menunjukkan bahwa pada selaput yang terbentuk mengandung asam amino tirosin. Sedangkan, pada pengetesan dengan Biuret, hasil yang diperoleh juga positif yaitu dengan adanya warna larutan ungu, yang berarti bahwa selaput mengandung protein. Setelah dididihkan ulang, ternyata selaput kembali terbentuk pada permukaan cairan susu.
Selaput terbentuk dari protein susu (kasein) yang menggumpal akibat adanya pemanasan. Pemanasan mengakibatkan denaturasi protein sehingga mengakibatkan koagulasi protein, yang ditandai dengan munculnya selaput tipis pada permukaan atas susu yang dididihkan.
Pada pemanasan kembali, tidak terbentuk selaput. Hal ini disebabkan karena suadah tidak ada lagi protein yang tertinggal setelah pemanasan.
5.11. Membedakan Susu Mentah dan Susu yang Telah Dipasteurisasi
1. Test Guaiac
Larutan Uji Pengamatan Kesimpulan
Susu mentah Terbentuk warna jingga +
Susu dipasteurisasi Warna tetap putih -
Jawaban Pertanyaan
Yang terlihat dalam test Guaiac ini adalah tabung yang berisi susu yang telah dipasteurisasi memberikan hasil negatif (warna larutan putih), sedangkan tabung yang berisi susu mentah memberikan hasil positif (warna larutan menjadi jingga). Hal ini berarti enzim katalse terdapat dalam susu mentah dan tidak terdapat dalam susu yang telah dipasteurisasi.
Pembahasan
Test Guaiac akan memberikan hasil positif pada enzim katalase. Enzim katalase terdapat pada susu yang belum dipasteurisasi. Reaksi yang dikatalisis oleh enzim katalase adalah :
H2O2 katalase H2O + O2
Gas O2 yang terbentuk akan mengubah larutan guaiac dalam alkohol menjadi berwarna jingga. Pada hasil percobaan, tabung yang berisi susu mentah memberikan hasil positif terhadap test guaiac karena enzim katalase terdapat dalam susu mentah. Sedangkan tabung yang berisi susu yang telah dipasteurisasi tetap berwarna putih karena dalam susu yang telah dipasteurisasi, tidak terdapat lagi enzim katalase karena enzim itu telah rusak saat pemanasan (pasteurisasi).
Enzim katalase berperan penting dalam tubuh untuk mengubah senyawa H2O2 yang berbahaya, yang dapat mengubah Fe2+ menjadi Fe3+ yang dapat menyebabkan tidak terbentuknya ATP melalui respirasi.
2. Test Schardinger
Larutan Uji Pengamatan Kesimpulan
Susu mentah Warna biru menjadi putih +
Susu dipasteurisasi Tetap warna biru -
Jawaban Pertanyaan
a. Yang terlihat : pada susu yang masih murni (mentah) masih terdapat aktivitas dari enzim dehidrogenase, sehingga pada saat pemanasan dapat mereduksi metilen biru (warna biru berubah menjadi putih). Sedangkan pada susu yang telah dipasteurisasi, susu tersebut kehilangan aktivitas enzim dehidrogenase yang mengakibatkan susu tersebut tidak dapat mereduksi metilen biru (warna biru tidak berubah).
b. Di bagian atas campuran terlihat warna biru karena biru metilen yang sudah direduksi oleh enzim dehidrogenase menjadi leukobirumetilen mengalami oksidasi kembali oleh udara sehingga menjadi biru metilen kembali (warna larutan susu akan menjadi biru kembali).
Pembahasan
Test ini berdasarkan reduksi biru metilen oleh enzim dehidrogenase pembentuk leukobirumetilen (MbH2) yang tidak berwarna. Hidrogen yang diperoleh dari formaldehid digunakan untuk mereduksi. Atom H yang terjadi oleh enzimnya segera diikat pada oksigen atau atom H diikat oleh akseptor birumetilen (Mb), maka terjadilah air atau leukobirumetilen yang tidak berwarna. Hanya susu murni (yang tidak dipanaskan) akan memberikan hasil positif terhadap reaksi tersebut (karena enzim dehidrogensenya rusak). Oleh karena itu, reaksi ini dapat digunakan untuk menemukan kesegaran susu murni. Pada susu yang telah dipasteurisasi, enzim dehidrogenase telah rusak sehingga tidak dapat mereduksi birumetilen dan warna larutan tetap biru.
5.12. Pembuatan Kasein
1. Daya Larut Kasein
Larutan Daya Larut
NaCl 10 % Tidak larut
NaOH 0,1 N Larut
HCl 0,2 N Praktis tidak larut
Na2CO3 0,5 % Larut
Ca(OH)2 Larut
Pembahasan
Pada larutan NaOH 0,1 N dan Na2CO3 0,5 % kasein larut dengan pengocokan serta pengadukan yang sangat kuat. Pada larutan Ca(OH)2 kasein agak sukar larut, ditandai dengan keruhnya larutan yang terbentuk. Sedangkan pada NaCl 10 % dan HCl 0,2 N kasein tidak larut, ditandai dengan tetap menggumpal pada larutan.
2. Uji Protein
Uji Hasil Pengamatan
Test Millon Endapan jingga kemerahan
Test Biuret Larutan ungu, ada endapan biru
Test Xantoprotein Larutan atas kuning, bagian bawah terbentuk lapisan putih
Test Hopkins-Cole Terbentuk cincin ungu
Pembahasan
Pada tes Millon, hasil yang diberikan adalah positif dengan adanya warna merah. Hal ini menunjukkan bahwa kasein mengandung asam amino dengan gugus monofenol (asam amino tirosin). Pada tes Biuret, hasil yang diberikan juga positif dengan adanya warna ungu. Hal ini menunjukkan bahwa kasein adalah suatu protein. Dengan tes Xanthoprotein, hasilnya positif yang ditunjukkan dengan terbentuknya warna kuning. Dengan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa kasein merupakan protein yang memiliki asam amino yang mengandung gugus aromatik atau inti benzen (misalnya asam amino fenilalanin, tiptofan dan tirosin). Pada tes Hopkins-Cole, hasil yang diperoleh juga positif dengan terentuknya cincin ungu. Hal ini menunjukkan bahwa kasein mengandung asam amino triptofan.
VI. Kesimpulan
Dari percobaan ini dapat diketahui bahwa asam amino dan protein dapat diidentifikasi dengan cara :
a. Test Millon untuk protein yang mengandung tirosin
b. Test Hopkins-Cole untuk protein yang mengandung triptofan
c. Test Biuret yang merupakan tes umum untuk protein
d. Test Ninhidrin untuk protein yang memiliki gugus asam alpha-amino
e. Test Xanthoprotein untuk asam amino yang mempunyai inti benzene
Perbedaan susu mentah dan susu yang telah dipasteurisasi dapat ditunjukkan dengan pemanasan, karena dengan pemanasan dapat merusak enzim yang terdapat pada susu. Test untuk membedakannya adalah :
a. Test Guaiac untuk enzim katalase
b. Test Schardinger untuk enzim dehidrogenase
Koagulasi dapat terjadi karena susu mengalami denaturasi. Faktor-faktor yang dapt menyebabkan denaturasi adalah :
a. Pengaruh logam berat
b. Dengan pemanasan
c. Dengan penambahan asam
DAFTAR PUSTAKA
Murray RF; Granner OK; Rodwell V. Harper’s Review of Biochemistry. Penerbit : Buku Kedokteran. Jakarta. 1995.
Dra. Azizahwati, Msi. Buku Penuntun Praktikum Biokimia. Laboratorium Biokimia Jurusan Farmasi FMIPA-UI. 1999 : 1-6.
Drs. Slamet Prawirohartono; Prof. Dr. Suhargono Hadisumarto. Sains Biologi-3A. Penerbit Bumi Aksara. 1999 : 65-66.
Anonim. Penuntun Praktikum Kimia Dasar Umum. Universitas Indonesia FMIPA Jurusan Kimia. 1998 : 115-118.
ketika semua berakhir…
Posted: July 10, 2009 by filzahazny in about me/ tentang saya
Tags: akhir, berakhir, puisi
0
ketika semua berakhir
hingga tak ada seorang yang mengetahui
tak ada pula teman yang menemani
hanya sepi
tak ada tawa
tak ada tangis
hanya menunggu dan menunggu
hingga 7 langkah terakhir terlewati
akan kah ia datang
membawa kabar gembira
atau
….
sebelum hari itu tiba
semoga ada kesempatan
untukku
walau hanya
sekedar
menyebut namaNya
25 Komplikasi Vaskuler pada Diabetes: Mekanisme dan Pengaruh Antioksidan Peter Rősen Institut penelititan diabetes, Dusseldorf, Jerman Hans-Jürgen Tristchler Asta Medica AG, Frankfurt Am Main, Jerman Lester Packer Universitas California Tenggara, Fakultas Farmasi, Los Angeles, California
Posted: July 10, 2009 by filzahazny in farmakognosi
Tags: diabetes, hiperglikemi, jurnal, komplikasi, nitrat oksida
0
I. Pendahuluan
Diabetes dan komplikasiya merupakan ganguan kesehatan mayor di dunia. Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien diabeteskhususnya tipe 2 akan meningkat dua kali lipat antara tahun 1990 dan millennium berikutnya. Diabetes menurunkan angka harapan hidup dan kualitas hidup, contoh; gangguan ginjal, kebutaandan gangguan kardiovaskuler. Fakta menunjukkan bahwa diabetes memicu deplesi sistem pertahanan seluler dan meningkatkan ROS. Konsep ini digunakan untuk pengembangan terapi menggunakan antioksidan.
II. Stress Oksidativ dan gangguan oksidasi pada diabetes dan komplikasinya
Stress oksidatif berasal dari peningkatan formasi ROS atau penurunan inaktivasi ROS yang mengakibatkan kerusakan jaringan. Keberadaan radikal bebas yang berlebihan juga dapat menyebabkan hal yang sama. Oleh karena itulah antioksidan seperti vitamin E, vitamin C, asam α-lipoat dan glutation diperlukan untuk mencegah overproduksi radikal bebas dan menetralisirnya.
A. Fakta peningkatan stress pada pasien diabetes
Fakta menunjukkan bahwa stress oksidativ meningkat pada pasien diabetes yang disebabkan oleh keseimbangan antara antioksidan dan prooksidan.
Pemicu oksidativ stress yang meningkat pada pasien diabetes mellitus diantaranya adalah; peningkatan formasi isoprostana, peningkatan pembentukan lipid hidroperoksid, peningkatan LDL teroksidasi dan LDL terglikoksidasi, Formasi MDA, Perubahan enzim antioksidatif, alterasi sisitem redoks ( NADPH,glutation, vitamin antioksidatif dll), peningkatan oksidativ pada DNA, pengurangan level antioksidan.
ROS menyebabkan pemutusan strand DNA dan modifikasi basa termasuk oksidasi residu guanin menjadi 8-Oxo-2’deoxyguanin yang jumlahnya meningkat pada pasien diabetes tipe 1 dan 2 khususnya denagn komplikasi vaskuler.
Sejumlah studi klinis dan penelitian menemukan bahwa kapasitas antioksidan plasma menurun pada diabetes dengan parameter TRAP (Total Radical-Trapping Antioksidan Parameter). Selain itu karena penurunan antiokasidan RRR-α-tokoferol atau glutation sebagai hasil dari peningkatan produksi radikal bebas (Thornally et al). Rosen et al melaporkan bahwa diet rendah lemak pada pasien diabetes menginduksi defisiensi RRR-α-tokoferol, pada senyawa tersebut terdapat pada lemak fase terlarut pada komposisi makanan.
Penurunan konsumsi vitamin C juga terjadi pada pasien diabetes. Sebagian besar studi menunjukkan bahwa pasien diabetes melitus memiliki 30 % lebih sedikit konsentrasi asam askorbat daripada nondiabetes. Data dari NHANES III menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara oksidativ stress dan variasi distribusi vitamin antioksidatif denagn tingkat penyakit khususnya usia. Oleh sebabitu, diasumsikan bahwa defisit vitamin antioksidatif terdapat pada pasien tertentu khususnya pasien manula, diet penurunan berat badan dan progresi penyakit. Berdasrkan observasi level plasma, kebutuhan akan vitamin antioksidatif mungkin meningkat pada pasien diabetes.
III. Komplikasi Vakuler
Komplikasi mikrovaskuler merupakan komplikasi paling serius yang membedakan kualitas dan harapan hidup pasien diabetes. Tipe komplikasinya meliputi diabetes neuropati, nefropati dan gangguan jantung.ROI (Reactive Oxygen Intermediate) memicu gangguan vaskuler dengan promoter :
1. Alterasi irama vaskuler
2. Permeabilitas vaskuler
3. Infiltrasi monosit makrofag
4. Proliferasi sel otot halus
5. Aktivasi metalloprotease
Oksidativ Stress memiliki efek besar bagi fungsi dan struktur dinding pembuluh darah dan stabilitas keberadaan plak pada pasien diabetes.
A. Pembentukan ROS (Reactive Oxygen Species) dan aktivasi PKC
Banyak studi menunjukkan bahwa formasi ROS merupakan akibat hiperglikemia. Namun, ada banyak jalur dimana produksi ROS tetap berjalan walaupun hipoglikemia yaitu:
1. Inisiasi formasi ROS karena inkubasi sel endothelial dan otot halus yang meningkatkan konsentrasi glukosa.
2. Rangsangan formasi ROS melalui proosess reseptor yang teroksidasi karena dependent-process antara AGE dan lipid peroksidase
3. Formasi ROS karena autooksidasi glukosa.
4. Penurunan antioksidan karena penundaan regenerasi glutation pada level glukosa tinggi.
Bagaimanapun mekanisme tepat dan penyebab ROS terbentuk melalui vaskuler masih belum dapat diketahui dengan pasti. Pada percobaan hiperkolesterol binatang menunjukkan bahwa endothelium salah satu sumber mayor pembentukan ROS. Sejalan dengan disfungsi vaskuler, formasi anion superoksida bertambah karena stimulasi glukosa level tinggi pada berbagai tipe sel endotelial. Pembentukan ROS juga dipengaruhi oleh aktivasi NADH-oksidase yang terdapat di sel endotelial.
NADH oksidase teraktivasi akibat hiperglikemia dan kemungkianan akibat hiperglikemia dan kemungkinan karena inkubasi sel endotelial oleh produk AGE. Aktivasi NADH –Oksidase dipicu oleh percepatan perubahan glukosa menjadi fruktosa melalui jalur sorbitol yang membutuhkan NADPH dan meningkatkan NADH. Sehingga, NADH sebagai kofaktor NADH Oksidase meningkat dan NADPH utuk regenerasi glutation menurun.
eNOS (endothelial nitric oxide synthasediduga menjadi sumber pembentukan ROS. Penurunan availabilitas L-Arginin/ penurunan regenerasi biopterin memicu peninggkatan produksi anion superoksida termasuk Nitrit Oksida (NO).
Hiperglikemia juga memicu formasi ROS dengan menghambat inhibitor NOS, L-NAME.
Peningkatan formasi ROS pada diabetes memiliki beberapa akibat yaitu;
1. Quenching Nitrat Oksida
Fakta menunjukkan bahwa reaksi nitrat oksida pada alur difusi terkontrol dengan anion superoksida menjadi peroksinitrit. Formasi ROS secara simultan mengurangi jumlah nitrat oksida aktif secara biologis dan vasodilatasi dependen endothelium. Vasodilatasi dependen endothelium disebabkan oleh penambahan superoksida dismutase (enzim yang menginaktivasi anion superoksida) dan AGE (quench nitrat oksida) Studi klinis baru-baru ini menunjukkan bahwa antioksidan menghambat vasodilatasi dependen endothelium pada pasien diabetes dengan penyakit arteri koroner, hiperkolesterolemia dan hipertensi. Selain irama vaskuler, Quenching NO juga mempengaruhi antitrombotik endothelium karena NO menghambat ekspresi adhesi molekul dan proliferasi sel otot halus. Sehingga sistem antitrombotik dan antiaterosklerosis berkurang bila bioavalabilitas NO dikurangi oleh oksidatif stress.
2. Aktivasi Faktor transkripsi redoks sensitive oleh AGE dan hiperglikemia
Pembentukan ROS terjadi karma hiperglikemia dan hasil AGE pada mekanisme deplesi perőtahanan antioksidan seluler.
Ya Allah aku lelah
Posted: June 9, 2009 by filzahazny in about me/ tentang saya
3
9 juni, 2009
argh aku lelah dengan semua ini..
aku pikir memang lebih baik menjadi orang yang tidak tahu apa2 daripada tahu apa2. aku merasa belum siap menerima keadaanku!!!
aku ingin berteriak.. menagis sejadi-jadinya.
entah kenapa menagis itu menjadi sesuatu yang sangat tabu, menunjukkan kelemahan seorang. ketika mengeluh disini menjadi sesuatu yang sangat dilarang. ketika hidupku benar2 seperti sebuah ahhhh aku bingung namanya.
aku lelah ya Allah
aku lelah
aku ingin
ya Allah aku, aku nggak bisa berucap apa2 lagi aku lelah
aku ingin kehidupan ku yang dulu..
aku ingin kuliah saja
jikalau istirahatnya seorang hamba saat ia menginjakkan kaki di surga maka ingin sekali ku menginjakkan kaki disana
tapi apalah aku,, baru awal perjalanan saja sudah begini.. apa aku pantas.
ya allah kuatkan aku.
demam berdarah dengue dan japanese encephalitis
Posted: May 20, 2009 by filzahazny in imunologi virologi
Tags: Arbovirus grup B, Culex, DBD, demam berdarah, Flavivirus, fogging, japanese encephalitis
0
DEMAM BERDARAH DENGUE
Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Hemorrhagic Fever (DHF) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue Famili Flaviiviridae dengan genusnya adalah Flavivirus. Virus ini mempunyai empat serotype yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. selama ini secara klinik mempunyai tingkat manifestasi yang berbeda, tergantung dari serotype virus Dengue tersebut. Morbiditas penyakit DBD menyebar di Negara-negara tropis dan subtropics. Di setiap Negara penyakit DBD mempunyai manifestasi klinik yang berbeda.
Di Indonesia penyakit DBD pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya dan sekarang telah menyebar di seluruh propinsi di Indonesia. Timbulnya penyakit DBD dikarenakan adanya korelasi antara strain dan genetic, tetapi akhir-akhir ini ada tendensi penyebab DBD di setiap daerah berbeda. Hal ini memungkinkan adanya factor geografik, selain factor genetic dari hospesnya. Selain itu berdasarkan macam manifestasi klinik yang timbul dan tatalaksananya DBD secara konvensional sudah berubah.
Infeksi virus dengue telah menjadi masalah kesehatan yang serius pada banyak Negara. Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit DBD, antara lain faktor host, lingkungan, dan faktor virusnya sendiri. Faktor host yaitu kerentanan (susceptibility) dan respon imun. Faktor lingkungan yaitu kondisi geografis (ketinggian dari permukaan laut, curah hujan, angina, kelembaban, musim); kondisi geografis (kepadatan, mobilitas, perilaku, adapt istiadat, social ekonomi penduduk). Jenis nyamuk sebagai vector penular penyakit juga berpengaruh. Faktor agent yaitu sifat virus dengue yang hingga saat ini diketahui ada 4 jenis serotype.
VEKTOR VIRUS DENGUE
Penyakit Demam Berdarah atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus betina yang sebelumnya telah membawa virus dalam tubuhnya dari penderita demam berdarah lainnya. Kedua jenis nyamuk ini terdapat dihampir seluruh wilayah Indonesia, kecuali di tempat-tempat yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut.
Nyamuk Aedes penyebab penyakit DHF dapat dikenali dengan tanda belang hitam dan putih di atas kaki. Terdapat dua jenis nyamuk Aedes yang membawa virus dengue, yaitu :
1) Aedes aegypty
Ciri-ciri : tanda putih perak berbentuk kecapi di kepala.
2) Aedes albopictus
Ciri-ciri : barisan putih perak sepanjang pertengahan kepala dan badan.
Nyamuk Aedes aegypty berterbangan di sekitar rumah dan tinggal di tempat-tempat gelap di dalam rumah. Ia bertelur dan berkembang biak pada tempat-tempat yang menampung genangan air. Berbeda dengan nyamuk Aedes aegypty, nyamuk Aedes albopictus lebih suka tinggal di kebun-kebun atau hutan. Ia biasa terdapat di luar rumah dan menggigit manusia di luar rumah. Nyamuk Aedes albopictus sering terdapat pada lubang-lubang alamiah, seperti pada batang, buluh, dan ketiak daun yang menandung genangan air.
Aedes aegypty
Nyamuk Aedes aegypty mempunyai badan kecil, berwarna hitam dengan bintik-bintik putih. Hidup di dalam dan di sekitar rumah, nyamuk ini bersarang dan bertelur di genangan air jernih, bukan di got atau selokan kotor. Bahkan, nyamuk ini sangat menyukai bak mandi, tempayan, vas bunga, tempat minum burung, perangkap semut, dan lainnya. Kebiasaan lainnya adalah suka hinggap di pakaian yang bergantung di kamar dan menggigit atau menghisap darah pada siang hari.
1. Perilaku Aedes aegypty
Dalam hidupnya, nyamuk ini mempunyai perilaku mencari darah, beristirahat, dan berkembang biak. Di saat setelah kawin, nyamuk betina memerlukan darah untuk bertelur. Maka dari itulah nyamuk betina akan menghisap darah manusia setiap 2-3 hari sekali, selama pagi sampai sore hari pada waktu-waktu tertentu untuk mendapatkan banyak darah. Nyamuk betina yang biasanya mencapai umur 1 bulan ini dan mempunyai jarak terbang 100 meter sering menggigit lebih dari satu orang.
Nyamuk Aedes aegypty ini bertelur dan berkembang biak di tempat penampungan air bersih untuk keperluan sehari-hari, seperti bak mandi, WC, tempayan, drum air, bak menara yang tidak tertutup, dan sumur galian. Selain itu, wadah berisi air bersih atau air hujan seperti tempat minum burung, vas bunga, pot bunga, ban bekas, potongan bambu yang dapat menampung air, kaleng, botol, tempat penampungan air di kulkas dan barang bekas lainnya juga dapat menjadi tempat berkembangbiaknya.
2. Siklus Hidup Aedes aegypty
Jika dilihaat dari siklus hidupnya, nyamuk ini mempunyai fasa telur, jentik, pupa, dan nyamuk dewasa. Telur ini tidak berpelampung sehinnga satu persatu akan menempel ke dinding penampung air, sedikit di atas pemukaan air. Setiap kali bertelur, nyamuk betina dapat mengeluarkan sekitar seratus butir telur ukuran sekitar 0,7 mm/butir. Di tempat kering(tanpa air), telur dapat bertahan sampai enam bulan. Telur akan menetas menjadi jentik setelah sekitar dua hari terendam air. Jentik, berbentuk sifon dengan satu kumpulan rambut, saat istirahatnya akan membentuk sudut dengan permukaan air. Setelah 6-8 hari, jentik nyamuk akan tumbuh menjadi pupa nyamuk. Pupa yang berbentuk terompet panjang dan ramping sebagian kecil tubuhnya berkontak dengan permukaan air. Pupa nyamuk yang masih dapat aktif bergerak di dalam air tanpa makan akan memunculkan nyamuk Aedes aegypty baru setelah 1-2 hari. Nyamuk dewasa dengan panjang 3-4 mm mempunyai bintik hitam dan putih pada badan dan kepala serta ring putih di kakinya.
3. Cara Penularan
Manusia dijangkiti virus kuman dengue melalui gigitan nyamuk. Virus dengue ini hidup dan berkembang biak di dalam air liur nyamuk. Ia memerlukan masa pengeraman selama 8-10 hari untuk berkembang biak di dalam air liur nyamuk. Setelah masa itu, virus menjadi infektif . nyamuk yang telah dijangkiti akan terus membawa virus dengue sepanjang hidupnya. Jika nyamuk Aedes betina menggigit manusia tau hewan, ia akan memasukkan virus dengue yang ada di dalam air liurnya ke dalam sistem aliran darah manusia. Tanda-tanda klinikal akan timbul dalam masa 4-6 hari. Virus dengue ini hanya hidup 5-7 hari saja di dalam tubuh manusia karena tubuh kita dapat membentuk dan mengeluarkan antibody. Jika nyamuk Aedes betina menghisap darah manusia yang terjangkiti virus dengue, ia akan melengkapi kitaran hidup virus tersebut dan menyebarkannya kepada orang lain.
Penularan virus dengue dapat juga terjadi jika nyamuk Aedes betina yang sedang menghisap darah orang yang dijangkiti virus dengue diganggu, kemudian nyamuk itu menggigit orang lain. Ini akan menyebabkan virus yang terdapat di belalai nyamuk tersebut masuk ke peredaran darah orang kedua tanpa memerlukan masa pengeraman. Cara ini disebut ”Penularan Mekanik”.
Selain cara-cara diatas, penularan virus dengue dapat juga terjadi melalui penularan transovari yang merupakan suatu proses penularan agen penyakit dari serangga betina melalui telur, jentik, hingga serangga dewasa berikutnya. Melalui proses penularan ini, nyamuk buakn saja berperan sebagai agen pembawa, tetapi juga sebagai rumah agen penyakit.
VIRUS DENGUE
Virus dengue merupakan virus kedua yang dikenal dapat menimbulkan penyakit pada manusia. Anggota Flavaviridae ini dapat menyebabkan demam dengue dan demam berdarah dengue. Secara morfologi, virion virus dengue merupakan partikel sferis dengan diameter nukleokapsid 30 nm dan ketebalan selubung 10 nm sehingga diameter virion kira-kira 50 nm. Secara biologis, selubung virion berperan dalam fenomena hemaglutinasi, netralisasi, dan interaksi antara virus dengan sel awal infeksi.
Virus dengue terdiri dari RNA single helix yang bertindak sebagai genom dan mampu langsung bersifat seperti mRNA dan tidak mempunyai poliadenosin pada ujung ketiga primenya. Gen yang mengatur sintesiss protein struktural virus terdapat pada kira-kira seperempat bagian genom keseluruhan dan terletak pada ujung lima primenya. Sedangkan pada ujung lainnya terletak gen yang mengatur sintesis berbagai protein nonstruktural. Hingga saat ini telah dikenal empat tipe virus dengue, yaitu tipe DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Struktur antigen keempat serotype ini tidak dapat saling memberikan perlindungan silang. Variasi genetika yang berbeda pada keempat serotype ini tidak hanya menyangkut antarserotype, tetapi juga dalam serotype itu sendiri tergantung dari daerah penyebarannya. Pada masing-masing segmen codon, variasi diantara serotype dapat mencapai 2,6/11,0% pada tingkat nukleotida dan 1,3/7,7% untuk tingkat protein. Perbedaan urutan nukleotida ini ternyata menyebabkan variasi dalam sifat biologis dan antigenitasnya. Virus dengue yang genomnya memiliki berat 11 Kb tersusun dari protein struktural dan nonstruktural. Protein struktural yang terdiri dari protein envelope (F), protein pre membran (prM) dan protein core (C) merupakan 25% dari total protein, sedangkan protein nonstruktural yang terdiri dari NS-1 dan NS-5 merupakan bagian yang terbesar (75%). Dalam merangsang pembentukan antibody diantara protein struktural, urutan imunogenitas tertinggi adalah protein E yang diikuti protein prM dan C, sedangkan pada protein nonstruktural yang paling berperan adalah protein NS-1.
EPIDEMIOLOGI INFEKSI VIRUS DENGUE
Dikenal dua siklus transmisi, yaitu dengue kota (urban dengue) dimana rantai penularannya adalah manusia-nyamuk-manusia dan dengue hutan (jungle dengue) dimana rantai penularannya adalah manusia-nyamuk-monyet-nyamuk-manusia. Nyamuk penting dalam rantai penularan dengue di kota-kota besar adalah Aedes aegypti sedangkan di hutan adalah Aedes niveus.
Virus dengue tersebar sangat luas di benua Asia, Afrika, Amerika, dan juga Australia dengan endemisitas dan kombinasi tipe virus yang belum tentu sama. Asia Tenggara termasuk salah satu wilayah endemik dimana keempat tipe virus dapat ditemukan.
Gambar : Epidemiologi infeksi nyamuk Aedes aegypti
Di komunitas kota, dengue mewabah dan menduduki porsi yang cukup besar dari populasi, biasanya dimulai selama musim penghujan saat vektor nyamuk Aedes aegypti melimpah. Nyamuk ini termasuk nyamuk lokal dengan jarak terbang dekat dan penyebaran virusnya dari rumah ke rumah. Nyamuk ini berkembang biak pada iklim tropis atau subtropis dalam tempat-tempat penampungan air di sekitar tempat tinggal manusia, di lubang-lubang pohon, atau tumbuh-tumbuhan di dekat pemukiman manusia. Nyamuk ini lebih menyukai darah manusia daripada darah hewan. Karena Aedes aegypti juga merupakan vektor dari penyakit demam kuning, kasus wabah dengue di Karibia menjadi tolak ukur agar masyarakat senantiasa waspada terhadap kemungkinan wabah yang lebih besar dan serius lagi.
Aedes aegypti adalah satu-satunya vektor dengue yang diketahui di daerah barat. Nyamuk betina memperoleh virus dengan cara memakannya dari tubuh manusia yang terinfeksi. Nyamuk ini menjadi infektif setelah 8-14 hari (waktu inkubasi intrinsik). Di dalam tubuh, gejala klinis dimulai setelah gigitan nyamuk infektif. Sekali saja nyamuk infektif, maka akan tetap infektif selama sisa hidupnya (1-3 bulan atau lebih)
Virus dengue tidak diturunkan ke generasi selanjutnya. Penyakit ini dipertahankan secara konstan di wilayah tropis dimana nyamuk ada sepanjang tahun. Kasus dengue di wilayah dingin berkurang seiring dengan berkurangnya suhu. Mewabahnya dengue biasanya diamati ketika virus baru saja masuk ke suatu wilayah asing, atau jika mudah, akan menjadi daerah endemik. Jika sepanjang tahun siklus virus dapat dipertahankan, penyakit ini dapat menjadi endemik.
Penelitian terhadap endemik dengue di Nikaragua tahun 1998 menyimpulkan bahwa epidemiologi dengue dapat berbeda tergantung pada daerah geografi dan serotype virusnya. Wabah dengue yang terjadi di Bangladsh yang diidentifikasi dengan PCR ternyata merupakan serotype DEN-3 yang dominan, sedangkan wabah di Salta Argentina tahun 1997 ditemukan bahwa serotype DEN-2 yang menyebabkan transmisinya.
Manifestasi infeksi virus dengue sangat beragam mulai dari tanpa gejala, demam ringan, demam dengue, dan demam berdarah dengue. Dalam kenyataan, jumlah kasus dengan manifestasi gejala klinis ringan dalam bentuk tanpa gejala dan demam ringan ternyata merupakan mayoritas. Diperkirakan kasus dengan manifestasi DBD hanya merupakan 5% dari seluruh kasus infeksi virus dengue. Kelompok yang bermanifestasi ringan tersebut secara klinik sukar didiagnosis karena tetap membawa virus dalam tubuhnya. Kelompok tersebut merupakan sumber penularan yang sukar diawasi sehingga dalam istilah epidemologi DBD sering disebut amplifier.
GEJALA-GEJALA DAN TANDA-TANDA
Gejala pada penyakit demam berdarah diawali dengan :
• Deman tinggi
Demam yang terjadi pada virus dengue ini timbul mendadak, tinggi (dapat mencapai 390-400C) dan dapat disertai dengan menggigil, demam ini hanya berlangsung selama lima sampai tujuh hari. Pada saat demam berakhir, sering kali dalam bentuk mendadak (lysis), dan disertai dengan keringat banyak. Biasanya penderita terlihat lemas, demam ini biasanya dinamakan demam biphasic.
• Manifestasi pendarahan, dengan bentuk: uji tourniquet positif puspura pendarahan, konjungtiva, epitaksis, melena, dsb.
Pada infeksi virus demam berdarah dengue selalu ditandai dengan adanya pendarahan. Hanya saja tanda pendarahan ini tidak selalu didapat secara spontan oleh penderita, bahkan pada sebagian besar penderita tanda pendarahan ini muncul setelah dilakukan tes terniquet. Bentuk-bentuk pendarahan spontan yang dapat terjadi pada penderita demam dengue dapat berupa pendarahan-pendarahan kecil di kulit (petechiae), pendarahan agak besar di kulit (echimosis), pendarahan gusi, pendarahan hidung, dan kadang-kadang dapat terjadi pendarahan yang massif yang dapat berakhir dengan kematian.
• Hepatomegali (pembesaran hati)
• Syok, tekanan nadi menurun menjadi 20mmHg atau kurang, tekanan sistolik sampai 80 mmHg atau lebih rendah.
• Trombositopeni, pada hari ke 3-7 ditemukan penurunan trombosit sampai 100.000/mm3.
• Hemokonsentrasi, meningkatnya nilai hematokrit.
• Gejala-gejala klinik lainnya yang dapat menyertai : anoreksia, lemah, mual, sakit perut, diare, kejang, dan sakit kepala.
• Rasa sakit pada otot dan persendian, timbul bintik-bintik merah pada kulit akibat pecahnya pembuluh darah.
Penyakit DBD sering salah diagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau tipus. Hal ini disebabkan karena infeksi virus dengue menyebabkn DBD bisa bersifat asimtomatik atau tidak jelas gejalanya. Pasien DBD sering menunjukkan gejala batuk, pilek, muntah, mual, maupun diare. Masalah bisa bertambah karena virus tersebut dapat masuk bersamaan dengan infeksi penyakit lain, seperti flu atau tipus. Oleh karena itu diperlukan kejelian pemahaman tentang perjalanan penyakit infeksis virus dengue, patofisiologi, dan ketajaman pengamatan klinis. Dengan pemeriksaan klinis yang baik dan lengkap, diagnosis DBD serta pemeriksaan penunjang (laboratorium) dapat membantu terutama bila gejala klinis kurang memadai.
Ditemukannya antibodi Ig G ataupun Ig M yang meningkat tinggi titernya mencapai empat kali lipat terhadap satu atau lebih antigen dengue dalam spesimen serta peradangan.
Demam berdarah baru terjadi jika infeksi oleh virus dengue terjadi untuk kedua kalinya. Infeksi pertama kali hanya menimbulkan penyakit demam lima hari saja. Dengan atau tanpa obat, penyakit ini sembuh dengan sendirinya dan berlalu begitu saja.
Setelah terinfeksi virus dengue untuk kedua kalinya, virus berada dalam aliran darah pasien sejak digigit nyamuk yang membawa virusnya sampai beberapa hari setelah timbul demam. Jika masa tunas penyakit demam berdarah berkisar antara 8-10 hari atau rata-rata seminggu, ditambah beberapa hari masa sakit, maka sekurang-kurangnya darah pasien mengandung virus selama 12 hari. Virus berada dalam aliran darah selama 4-7 hari, dimulai 1-2 hari sebelum timbul panas.
Selain itu, dalam tubuh yang sudah pernah terinfeksi, virus dengue lebih sensitif terhadap infeksi virus kedua kalinya, dan saat itu juga terjadi reaksi yang lebih dahsyat atau hipersensitivitas. Pada prinsipnya, bentuk reaksi tubuh manusia terhadap keberadaan virus dengue melalui beberapa tahapan. Bentuk reaksi pertama adalah terjadi netralisasi virus dan disusul dengan mengendapkan bentuk netralisasi virus pada pembuluh darah kecil di kulit berupa ruam. Bentuk reaksi kedua yaitu dengan masuknya virus demam berdarah, dalam tubuh terjadi reaksi hebat sedemikian rupa sehingga pipa pembuluh darah di bagian tubuh mana saja mengalami kebocoran. Darah merembet keluar pipa pembuluhnya, baik pipa berukuran besar maupun kecil. Lalu kebocoran pipa pembuluh darah terjadi pada pembuluh darah kulit. Tanda perdarahan di bawah kulit biasanya berupa bintik seperti bekas gigitan nyamuk atau bisa juga seperti bercak lebam atau bilur-bilur. Selain di kulit, perdarahan bisa juga terjadi di bagian tubuh mana saja. Termasuk organ-organ dalam seperti hati, usus, ginjal, dan paru-paru.
Tanda perdarahan juga nampak jika terjadi mmimisan, gusi berdarah, berak darah atau kencing darah, selain juga mungkin batuk darah. Selain kerusakan pipa pembuluh darah, akibat reaksi yang timbul oleh masuknya virus, sumsum tulang sebagai pabrik pembuat segala macam sel darah ditekan produksinya. Produksi sel darah menurun, termasuk sel darah merah, sel darah putih. Virus dengue juga menurunkan trombosit atau sel pembeku darah. Padahal trombosit penting digunakan untuk menambal dinding pembuluh darah yang pecah, semakin banyak pembuluh darah yang bocor di dalam tubuh sedang produksinya sudah menurun. Itu sebabnya pada kasus DBD selain trombosit, Hb, hematokrit dan leukosit cenderung menurun terus.
Jadi manifestasi penyakit yang ditimbulkan oleh DBD sesudah masa tunas selama 3-15 hari pada orang yang tertular terdiri dari empat bentuk berikut ini:
1. Bentuk abortif, penderita tidak merasakan gejala apapun
2. Dengue klasik, penderita mengalami demam tinggi 4-7 hari, nyeri tulang disertai bintik-bintik perdarahan di bawah kulit
3. Dengue hemmorhagic fever (DBD), gejalanya sama dengan dengue klasik ditambah perdarahan dari hidung, mulut, dubur, dsb
4. Dengue syok syndrome, gejala sama dengan DBD ditambah dengan syok; kegagalan sirkulasi yaitu nadi lemah dan cepat, tekanan nadi menurun ( < 20 mmHg ), hipotensi, kulit dingin dan lembab serta pasien tampak gelisah. Sering terjadi kematian.
TINGKAT PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE
Berat ringannya penyakit demam berdarah ditentukan oleh beberapa factor. Pertama, factor daya tahan tubuh pasien. Jika daya tahan tubuhnya kuat, penyakit yang dideritanya mungkin hanya ringan atau mungkin juga tidak muncul sama sekali. Akan tetapi, jika daya tahan tubuhnya rendah, penyakit cenderung memberat dan parah.
Mekanisme terjadinya perdarahan dan syok merupakan proses imunologis dalam tubuh pasien. Beberapa data epidemologis menunjukkan pasien perempuan lebuh sering terkena syok disbanding pasien pria, anak-anak, dan remaja yang terserang DBD. Status gizinya di atas rata-rata, jarang pada anak kurang gizi. Mekanisme imunologis pada tubuh anak kekurangan gizi terganggu, sehingga reaksi akibat masuknya virus dengue tidak sehebat pada tubuh orang yang kelebihan gizi.
Sepertiga kasus demam berdarah tidak tergolong berat, pasien masuk ke dalam syok, dan bisaanya dapat merenggut nyawa. Hal ini dipengaruhi juga dengan reaksi hipersensitivitas di dalam tubuh setelah terjadinya serangan virus dengue yang pertama sebelumnya. Jika reaksinya hebat, reaksi yang timbul akibat serangan virus ulangannya akan lebih berat lagi.
Faktor kedua, seberapa cepat pasien mendapat penanggulangan medis.semakin cepat ditolong, semakin baik prognosisnya. Banyak pasien terlanjur parah dan gagal ditolong sebab terlambat mendapat bantuan medis.
Jika kondisi pasien akibat masuknya virus demam berdarah sudah mengancamnya mauk ke dalam syok yang tidak terpulihkan, lebih sukar mengangkatnya untuk kembali ke kondisi tidak syok. Syok akibat kekurangan cairan dan elektrolit yang menyebabkan pasien demam berdarah meninggal.
Faktor ketiga, jika misalnya perdarahan terjadi pada organ anak ginjal, kelenjar ini memproduksi hormone kortikosteroid yang membantu mekanisme tubuh mengangkat dirinya sendiri dari ancaman syok. Jika kelenjar ini berdarah, sehingga fungsi kerjanya terganggu, produksi hormone penghambat syok berkurang. Akibatnya, pasien lebih rentan masuk dalam keadaan syok, sebab mekanisme pertahanan terhadap syok sudah kacau.
Factor keempat, mungkin terdapat perbedaan tingkat keganasan pada virus denguenya sendiri, selain kemungkinan sudah terjadinya kelainan sifat genetic virus akibat iklim, cemaran bahan kimiawi, serta lingkungan. Akibatnya, jika virus dengue yang masuk ke dalam tubuh lebih ganas, penyakitnya lebih parah dibandingkan tubuh yang dimasuki virus yang kurang ganas.
Berdasarkan tingkat keganasannya, DBD digolongkan menjadi empat tingkatan:
1. Derajat pertama
Demam diikuti dengan gejala tidak spesifik. Satu-satunya manifestasi perdarahan adalah tes terniqut yang positif atau mudah memar.
2. Derajat kedua
Gejala yang ada pada tingkat pertama ditambah dengan perdarahan spontan. Perdarahan bisa terjadi dimkulit atau di tempat lain.
3. Derajat ketiga
Kegagalan sirkulasi yang ditandai oleh denyut nadi yang emah, hipotensi, suhu tubuh yang rendah, kulit lembab, dan penderita gelisah.
4. Derajat keempat
Syok berat dengan nadi yang tidak terab adan tekanan darah tidak dapat diperikda. Fase kritis pada penyakit ini terjadi pada akhir masa demam.setelah demam selama 2-7 hari, penurunan suhu bisaanya ditandai dengan tanda-tanda gangguan sirkulasi darah. Penderita berkeringat, gelisah, tangan dan kaki dingin, serta mengalami perubahan tekanan darah dan denyut nadi.
PATOGENESIS DEMAM BERDARAH DENGUE
Patofisiologi perdarahan pada demam berdarah dengue belum diketahui pasti karena belum adanya binatang model yang tepat untuk percobaan. Beberapa fakta yang telah diketahui dan dianggap terkait dengan kejadian perdarahan adalah:
1. Virus dengue mampu berkaitan dengan sel trombosit dan dengan bantuan antibody anti dengue, trombosit mengalami agregasi.
2. Fungsi trombosit pada demam berdarah dengue terganggu.
3. Konsumsi komplemen penderita DBD meningkat sebagai akibat pengaktifan system komplemen.
4. Pada mencit, infeksi dengue merangsang sel limfosit T membentuk limfokin. Limfokin berfungsi mampu merangsang pelepasan histamine dari sel pengandungnya.
5. Terjadinya aktivasi sistem kinin yang berperan dalam proses koagulapati.
6. Sel monosit terinfeksi virus dengue mengekspresikan penghambatan plasminogen aktivataor 2-3 kalilebih banyak dari pada sel normal.
7. Adanya sel limfosit T teraktivasi oleh virus dengue dan klon ini mampu melisiskan sel yang terinfeksi oleh virus dengue tipe lain.
8. Antigen virus dengue dan sel monosit terinfeksi virus denguemerangsang limfosit manusia membentuk interferon alfa dan gama. Interferon gama ini in vitro diketahui mampu merangsang masuknya virus ke dalam sel.
9. Virus dengue mampu berkembangbiak dalamdalam sel endotel manusiadan telah diketahui bahwa integritas sel endotel ini penting dalam system hemosiitasis.
10. Gambaran patologi bahan otopsi menunjukkan adanya depresi sumsum tulang termasuk alur megakariosit.
11. Penderita demam berdarah dengue lebih banyak ditemukan pada infeksi sekunder yang terjadioleh virus dengue tipe 2 atau 3. Selain itu juga telah dilaporkan kasus-kasus demam berdarah dengue pada infeksi primer. Data ini menunjukkan bahwa virulensi virus dengue mungkin tidak sama, galur-galur tertentu mungkin lebih virulen daripada yang lainnya.
Berbagai skenario rangkaian kejadian dalam proses pedarahan dan rejatan telah disusun. Salah satu hipotesis yang terkenal adalah hipotesis sequential infection atau antibody dependent enchantment dengue atau immune enchantment of dengue infection. Prinsipnya adalah infeksi virus dalam sel seri monosit berlipat ganda jika dalam tubuh ada enhancing antibodies. Dengan lebih aktifnya replikasi virus , jumlah komplek imun dan sel terinfeksi betambah. Kemudian terjadi eliminasi sel terinfeksi oleh system kekebalan dan pengaktivan system komplemen oleh protease dari sel. Selain itu, tejadi pelepasan tromboplastin dan dan factor-faktor yang mempengaruhi permeabilitas pembuluh darah. Akibatnya, terjadi fenomena perdarahan dan rejatan. Karena peningkatan replikasi virus di dalam sel monosit, ternyata juga dirangsang oleh factor, terdapat kemungkinan factor tersebut ikut berperan dalam pathogenesis perdarahan dan rejatan.
Modifikasi lain dari hipotesis ini menguraikan kemungkinan bahwa bahwa factor utama adalah keberhasilan infeksi sekunder, baik dengan atau tanpa bantuan enhancing antibody dan keberhasilan efek booster pembentukan antibody bereaksi dengan virus dengue enginfeksi sebelumnya. Dalam hipotesis ini, aktivasi komplemen dimula oleh antibody anti dengue tertentu yang ada sel manosit dan makrofag. Antobodi ini akan mengaktifkan system komplemen. Aktivasi system komplemen menyebabkan rangkaian reaksi sekuder, seperti pelepasan histamine dan anafilaktosin lain, disfungsi dan kerusakan endotel dan juga trombositopenia.
Uraian pada gambar di bawah ini:
KOMPLIKASI DEMAM BERDARAH DENGUE
Penyakit demam berdarah dapat menimbulkan komplikasi pada mata dan otak. Pada mata terjadi kelumpuhan syaraf bola mata sehingga mungkin terjadi kejulingan. Dapat juga terjadi peradangan pada tirai mata atau pada kornea sehingga berakhir dengan gangguan penglihatan. Peradangan pada otak bisa menyisakan kelumpuhan atau gangguan syaraf lainnya. Namun, semua itu jika terjadi sifatnya sementara saja dan dalam beberapa hari akan kembai normal.
DIAGNOSIS DEMAM BERDARAH DENGUE
Diagnosis DBD perlu dilakukan sebagai langkah awal untuk memastikan apakah seseorang menderita DBD atau tidak. Diagnosis DBD terdiri dari dua kriteria, yaitu kriteria klinis dan kriteria laboratorium.
A. Kriteria Klinis
Salah satu criteria klinis dalam diagnosis DBD adalah tes tourniquest positif yang dilakukan di laboratorium klinis. Tes tourniquest dapat dilakukan dengan menggunakan tensimeter atau cukup menggunakan sehelai sapu tangan. Pengujian tensimeter dilakukan dengan cara sebagai berikut:
• Bebatan dipertahankan pada tekanan sebesar tekanan tekanan bawah dibagi dua selama lima menit.
• Setelah lima menit, perhatikan daerah kulit lipatan siku di bawah bebatan. Jika terdapat bintik merah seperti bekas gigitan nyamuk, berjumlah lebih dari dua puluh buah,nmaka pasien positif terinfeksi dengue. Namun ada phak yang berpendapat bahwa pasien tetap terinfeksi dengue walaupun jumlah bintik merah kurang dari dua puluh buah dan tidak perlu di daerah lipatan siku (boleh di lengan bawah bagian mana saja).
Adapun tanpa tensimeter, seseorang dapat melakukan tes terniquet dengan membebat lengan atasnya menggunakan sapu tangan dengan tekanan secukupnya. Setelah lima menit, perhatikan daerah kulit lengan bagian bawah. Selanjutnya sama seperti pada penggunaan tensimeter. Jika hasil tes tourniquet positif, maka besar kemungkinan seseorang mengidap DBD. NAmun hal tersebut perlu dipastikan lagi melalui pemeriksaan laboratorium darah.
Secara umum criteria klinis dalam diagnosis DBD adalah sebagai berikut:
1) Demam 2-7 hari, panas tinggi dan terus-menerus.
2) Perdarahan dalam berbagai bentuk, seperti bintik merah pada kulit (petechia), bercak merah, bilur, mimisan, fese merah, muntah darah, gusi berdarah. Tes tourniquet positif.
3) Pembengkakan hati, sering terasa nyeri di ulu hati. Indikasi ini dapat diraba oleh dokter.
4) Syok, nadi cepat dan lemah, tekanan nadi (selisih sistol dan diastole) menurun (kurang dari 20 mmHg), tekanan darah menurun, kulit dingin, dan gelisah.
DBD positif jika terdapat 2-3 kriteria klinis yang disertai dengan trombosit yang turun (kurang dari 100.000/m3) dan hematokrit (Ht) yang naik (lebih dari 20%)
B. Kriteria Laboratorium
Ada empat jenis pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk diagnosis DBD, yaitu uji serologi, isolasi virus, deteksi antigen, dan deteksi DNA/RNA menggunakan teknik Polymerase Chain Reactor (PCR).
1) Uji Serologi
Ada lima macam uji serologi yang biasa dilakukan, yaitu:
a. Penghambatan Pembekuan Darah (HI)
Diantara kelima macam pengujian, Hi paling sering digunakan karena sifatnya yang sensitive, mudah dikerjakan, memerlukan peralatan paling sedikit, dan hasilnya paling dapat dipercaya jika dilaksanakan secara benar sesuai prosedur. Antibodi HI dapat bertahan dalam jangka waktu lam (mencapai 48 tahun, bahkan lebih), sehingga uji ini ideal untuk pembelajaran epidemiologi. Kekurangan pengujian ini adalah spesifitasnya sangat rendah sehinggan tidak dapat diandalkan untuk dapat mengidentifikasi infeksi serotype virus. Namun, beberapa pasien dengan infeksi primer menunjukkan respon HI tunggal secara relative yang umumnya berhubungan denagn virus yang diisolasi.
b. Ikatan Komplemen (CF)
Uji ikatan komplemen (CF) jarang digunakan dalam uji serologis diagnosis dengue. Pengujian ini lebih sulit dilakukan karena membutuhkan tenaga terltih dan professional, sehingga uji ini tidak digunakan pada sebagian besar laboratorium.
Pengujian ini berdasarkan prinsip bahwa komplemen dibutuhkan selama reaksi antigen-antibodi. Antibody CF umumnya terlihat setelah antibody HI. Antibodi CF lebih spesifik pada infeksi primer dan biasanya hanya bertahan dalam waktu singkat walaupun ada beberapa kasus antibody pada kadar rendah dapat bertahan pada beberapa orang. Spesifitas yang lebih besar pada uji ini saat infeksi primer ditunjukkan oleh respon CF monotype, dimana respon HI sangat heterotipe. Tetapi uji CF tidak spesifik pada infeksi sekunder. Pengujian ini sangat berguna bagi pasien saat ini, tetapi nilainya terbatas untuk pembelajaran seroepidemiologi, dimana reaksi dari antibody yang tertahan adalah penting.
c. Uji Netralisasi
Uji netralisasi adalah pengujian serologi terhadap virus dengue yang paling spesifik dan sensitive. Protocol yang paling sering digunakan dalam laboratorium adalah uji penetralan reduksi plaque cairan serum. Pada umumnya titer penetralan antibody meningkat pada saat yang sama atau sedikit lebih lambat dai pada titer antibidi HI dan ELISA tetapi jauh lebih cepat daripada titer antibody CF dan betahan minimal selama 48 tahun. Oleh karena NT lebih sensitive maka penetralan antibody diwujudkan dengan tidak ditemukan antibody Hi pada beberapa orang yang pernah menderita infeksi dengue.
Secara umum respon penetralan antibody monotype diamati dalam serum pada waktu fase penyembuhan. Pada kasus-kasus yang memberikan respon tunggal, interpretasi dari semua pengujian umumnya dapat dipercaya. NT dapat digunakan untuk pembelajaran seroepidmiologi karena penetralan antibody besifat tahan lama. Pengujian ini tidak digunakan secara rutin oleh sebagian besar laboratorium Karena dibutuhkan biaya yang mahal, waktu yang lama, dan teknik yang sulit.
d. Immunoglobulin M (IgM)
Antibodi dengue IgM berkembang sedikt lebih cepat dari pada antibody IgG pada specimen virus yang didiagnosis. Antibody IgM diproduksi oleh pasien yang menderita infeksi dengue primer dan sekunder yang terjadi secara bersamaan dan mungkin juga oleh orang yang terkena infeksi tersier. Teter antibody IgM pada pada infeksi primer secara signifikan lbih tinggi dari infeksi sekunder.
e. Uji ELISA
Uji ELISA atau MAC-ELISA merupakan uji serologi yang secara luas digunakan selama beberapa tahun terakhir dalam diagnosis dengue. Uji elisa ini sederhana dan hanya membutuhkan sedikit peralatan yang rumit. Uji ELISA dalam diagnosis infeksi dengue pada sampel serum fase akut sedikit lebih senssitif dari pada uji HI.ada kenungkina respon yang didapat dari HI adalah posotof palsu karena setelah dikakukan uji ELISA didapatka hasil yang negative, sehingga dalam hal ini, uji ELISA dapat memperkecil kesalahan diagnosis.
Spesifitas uji ELISA hampir sama dengan uji HI. Selain itu, pada daerah endemic dengue, uji ELISA dapat dilakukan untuk menguji specimen serumdalam jumlah banyak dengan biaya murah, khususnya untuk pasien yang di rawat di rumah sakit karena pada umumnya mereka dating setelah IgM terdeteksi dalam darah mereka. Kekurangannya adalah uji ini tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi infeksi serotype virus yang serupa seperti pada HI.
Sebuah uji IgG ELISA telah dikembangkan dan dapat digunakan untuk membedakan infeksi dengue primer dan sekunder. Pengujiannya sederhana dan mudah dilakukan. Namun uji IgG ELISA bersifat sangat tidak spesifik dan menunjukkan reaktivitas silang yang sama luasnya di antara flavirus seperti pada HI, sehingga tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi infeksi serotype virus dengue.
Infeksi dengue juga merangsang proses tanggap kebal seluler walaupun sebagian data didapat dari percobaan pada hewan, terutama pada monyet dan mencit. Data yang relevan diringkas sebagai berikut:
• Pada monyet, sel T sitotoksik muncul pada 5-7 harisetelah infeksi. Sel T sitotoksik tersebut berperan dalam mengeleminasi sel yang terinfeksi virus dengue dan karenanya berfungsi pula menghentikan siklus replikasi virus dalam sel.
• Proses penghancuran sel terinfeksi virus dengue pada manusia, dengan atau tanpa bantuan antibody, dibantu oleh sel leukosit mononukleus yang ada di dalam sirkulasi
• Reaksi serupa hipersensitivitas tipe lambat dengan sel-sel radang ditemukan pada jaringan veriveskuler. Reaksi hipersensitivitas tipe lambat ini dibuktikan terjadi juga pada mencit yang terinfeksi virus dengue.
• Terjadi limfositolisis pada tempat yang dipengaruhi oleh sel T pada kelenjar limfe non-limpa penderita menunjukkan teraktivasinya kekebalan seluler dengan kemungkian terbentuknya factor toksis bagi sel. Pada mencit, factor sitotoksis ini memang mampu melisiskan sel limfosit.
• Meningkatkan jumlah sel yang mengalami transformasi menjadi sek blast dalam sirkulasi juga menunjukkan teraktivasinya kekebalan seluler.
2. Isolasi virus
Ada 4 sistem isolasi yang sering digunakan pada virus dengue, yaitu inokulasi intacerebral pada bayi mencit yang berumur 1-3 hari, kultur sel mamalia, inokulasi nyamuk, dan kultur sel nyamuk.
a. Bayi mencit
Pada awalnya keempat serotype virus dengue diisolasi dari serum manusia dan diinokulasi menggunakan bayi mencit. Namun saat ini metode ini tidak lagi direkomendasikan karena memiliki sensitifitas yang yang rendah (banyak tipe virus lain yang tidak dapat diisolasi dengan bayi mencit), memakan banyak waktu, lambat, dan mahal. Satu kelebihan dari penggunaan bayi mencit adalah bahwa arbovirus lain yang menyebabkan penyakit seperti dengue dapat diisolasi dengan system ini.
b. Kultur sel mamalia
Metode ini tidak dilanjutkan lagi karena memiliki banyak kekurangan seperti pada penggunaan bayi mencit, walaupun ada beberapa laboratorium yang masih menggunakan metode ini. Kultur sel mamalia membutuhkan waktu yang lama, mahal, dan tidak sensitif. Virus yang diisolasi secara berkala memerlukan banyak persyaratan sebelum efek sitopatik yang konsisten dapat diobservasi dalam kultur yang terinfeksi.
c. Inokulasi nyamuk
Virus diisolasi dari darah dengan cara inokulasi pada nyamuk, atau inokulasi pada kultur jaringan nyamuk, atau pada kultur jaringan vertebrata, lalu diidentifikasi dengan antibodi monoklonal serotipe spesifik. Inokulasi nyamuk adalah metode yang paling sensitive untuk mengisolasi virus dengue dan berhasil memberikan keterangan tentang Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) dan Dengue Shock Syndrome (DSS). Selain itu, hanya dengan metode ini dapat ditemukan strain virus dengue yang lain.
Spesies nyamuk yang digunakan untuk isolasi virus yaitu Aedes aegepty, A. albopictus, Toxorhinchitis amboinensis, dan T. Spleidens. Virus dengue bereplikasi di sebagian besar jaringan nyamuk, termasuk otak. Variasi pada metode ini mencakup inokulasi intraserebral dari larva dan nyamuk dewasa Toxorhynchitis. Walau demikian, modifikasi ini tidak meningkatkan sensitifitas atau kelebihan-kelebihan lain diatas inokulasi intraotak.
Teknik inokulasi nyamuk memiliki kelemahan yaitu harus diamati secara intensif, memerlukan nyamuk dalam jumlah besar untuk diinokulasikan, dan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi di laboratorium. Khusus resiko yang terakhir dapat dieliminasi dengan emggunakan nyamuk Aedes jantan atau spesies Toxorhynchitis yang tidak meggigit untuk diinokulasi.
d. Kultur sel nyamuk
Kultur sel nyamuk (Mosquito Cell Culture) adalah metode baru dalam mengisolasi virus dengue. Ada tiga jenis sel yang memiliki sensitifitas dan sering digunakan, salah satunya adalah C6/36 yang merupakan klon dari Aedes albopictus. Keuntungan metode ini adalah cepat, sensitive, ekonomis, dan dapat memproses banyak specimen serum dengan mudah. Namun kultur sel nyamuk kurang sensitive dibandingkan inokulasi nyamuk.
Keberhasilan isolasi virus sangat bergantung pada saat pengambilan darah, jumlah darah, proses pengiriman darah ke laboratorium dan teknik pengujian di laboratorium. Karena hasil pemeriksaan memerlukan waktu kira-kira 1 minggu atau lebih dan secara teknik sukar, cara ini kurang dianjurkan untuk pemeriksaan rutin.
3. Deteksi Antigen
Metode pilihan identifikasi virus melalui deteksi antigen adalah Immunoglobulin Fluorescent Antibody (IFA), pengujian ini mudah dilaksanakan (dengan kultur sel terinfeksi atau jaringan otak nyamuk), sederhana, dapat dipercaya, dan metode yang paling cepat.
Kesuksesan mengisolasi virus dengue dari serum manusia tergantung dari beberapa factor, yaitu:
• Pelaksanaan dan penyimpanan specimen. Aktivitas virus dapat terhambat karena panas, pH, dan bahan-bahan kimia tertentu.
• Tingkat viremia, dapat bervariasi tergantung pada waktu setelah onset, titer antibody, dan strain virus yang menginveksi. Viremia biasanya mencapai puncak pada saat atau sesaat sebelum onset waktu sakit dan dapat dideteksi rata-rata 4-5 hari.
• Terlihatnya antibody IgM pada virus yang diisolasi.
4. Polymerase Chain Reactor (PCR)
PCR merupakan metode baru untuk mendiagnosis Dengue, PCR akan mendeteksi dan memberikan gambaran genomic (RNA/DNA) sekuen virus dari jaringan otopsi, sediaan serum, atau cairan serebro spinalis (CSS). PCR menghasilkan diagnosis serotype spesifik yang cepat, sensitive, dan sederhana.
Pemeriksaan darah laboratorium bermanfaat untuk mengetahui ada atau tidaknya infeksi virus Dengue, sudah seberapa parah infeksi yang berlangsung, dan tindakan medis apa yang perlu dilakukan. Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk memonitor kesembuhan pasien.
Secara umum pemeriksaan laboratorium mencangkup penmeriksaan trombosit, hematokrit, dan adanya immunoglobulin jenis IgM. Berikut gambaran darah yang terinfeksi dengue:
• Trombositopeni (penurunan jumlah trombosit)
Jumlah trombosit krang dari 100.000/ml
• Hematokrit meningkat
Kenaikan Ht mencapai lebih dari 20%
• Leukopenian (leukosit menurun)
Leukosit kurang dari 5000 sel / mm3
• Limfosis
Peningkatan jumlah limfosit atipikal mengidentifikasikan dalam waktu 24 jam pasien akan bebas demam serta memasuki fase kritis.
• Waktu pendarahan memanjang
• Sediaan apus leukosit abnormal
• IgM dan IgG (setelah sebelumnya pernah terkena infeksi virus dengue)
PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE
1. Menghindari gigitan nyamuk
Usaha pencegahan paling sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan menghindari. Pencegahan dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk hingga sore hari karena nyamuk Aedes aegypti aktif pada siang hari. Hal tersebut dapat dilaksanakan dengan menghindari berada di lokasi-lokasi yang banyak nyamuknya di siang hari, terutama pada daerah-daerah yang ada penderita DBD. Bila memang sangat perlu ntuk berada di tempat tersebut kenakanlah pakaian yang lebih tertutup seperti celana panjang dan kemeja lengan panjang yang bewarna terang, karena nyamuk senang pada warna gelap. Cara lain yaitu dengan menggunakan cairan atau krim anti nyamuk yang banyak dijual di toko-toko pada bagian yang tidak tertutup pakaian. Selain itu tidur dengan kelambu juga dapat menghindarkan kita dari gigitan nyamuk.
2. Pembasmian Vektor virus dengue
Pembasmian vektor virus Dengue maksudnya adalah pembasmian nyamuk dewasa maupun larva Aedes aegypti. Pembasmian nyamuk adalah salah satu cara yang paling sering digunakan pada daerah dimana terdapat kasus DBD. Metode yang paling lazim digunakan adalah penyemprotan atau pengasapan (fogging)
Pengasapan dengan insektisida untuk membasmi nyamuk aedes aegypti dapat dilakukan dengan menggunakan mesin fog ( mesin pembuat kabut asap) yang padat dipasang pada pesawat terbang, kapal, atau kendaraan bermotor lainnya. Selain itu terdapat juga thermal fog yang dapat dijinjing yang umum digunakan di indonesia
3. Vaksinasi
Sampai saat ini belum ditemukan vaksin bagi virus Dengue. Hal ini karena sifat virus pada umumnya, virus dengue sangat mudah bermutasi. Hambatan lain bagi penemuan vaksin virus adalah tidak mudah untuk mengidentifikasi faktor dari sel yang spesifik untuk virus tertentu.
Percobaan pembuatan vaksin dengue pernah dilakukan oleh beberapa negara. Ilmuan jepang dan amerika pertama kali pengisolasi virus untuk pengembangan vaksin, namun belum berhasil.Kemajuan yang cukup menjanjikan dalam pengembangan vaksin virus dengue dicapai oleh negara thailand. Mahidol university, bangkok, yang telah melemahkan virus dengue DEN-2. Vaksin ini diberi nama PDK-33 dan telah diujicobakan pada manusia namun belum memberikan efektifitas secara sempurna. Indonesia melakukan penelitian untuk menemukan vaksin dengue. Penelitian ini dikerjakan oelh Tim peneliti pusat Riset penyakit Tropis universitas Airlangga Surabaya. Tim peneliti telah menemukan serum baru untuk imunisasi demam berdarah. Vaksin ini telah diujicobakan secara praklinik dan memberikan hasil yang positif dengan terbentuknya antibodi terhadap virus dengue. Vaksin ini berasal dari E-protein, bagian virus yang merangsang peningkatan antibodi virus Dengue DEN-1 hingga DEN-4. Sekarang vaksin ini sedang diteliti lebih lanjut untuk mengetahui efek negatif dan efektivitasnya pada manusia.
4. Manajemen lingkungan
Selain dari faktor nyamuk, ulah manusia dapat ikut menambah subur populasi nyamuk Aedes aegypti, kebanyakan kota-kota besar di Indonesia seperti halnya kota-kota di Negara berkembang lainnya, telah berkembang pesat dengan segala implikasinya, seperti tumbuhnya daerah kumuh karena urbanisasi, terbatasnya pasokan air bersih, manajemen pengelolaan kota yang tidak sempurna, serta manajemen lingkungan yang tidak profesional. Semuanya meninmbulkan pertambahan tempat-tempat yang dapat dipakai bersarang dan berkembangnya nyamuk Aedes aegypti.
Hal ini didukung pula oleh tumbuhnya gedung-gedung bertingkat yang menjulang dan tertutup rapat, akibatnya nyamuk Aedes aegypti semakin berkembang pesat sejalan dengan pertumbuhan manusia di perkotaan yang memiliki banyak persoalan. Kurangnya informasi yang benar tentang penanggulangan demam berdarah kepada masyarakat dan disertai kehidupan sosial masyarakat kota yang semakin individualis menyebabkan semakin sulitnya komunitas yang ada untuk dapat saling bekerja sama membasmi nyamuk Aedes aegypti.
Disadari oleh para ahli bahwa pemusnahan mahluk hidup seperti Aedes aegyptimemerlukan pengetahuan tentang ilmu ekologi, populasi, serta dinamika populasinya. Pemusnahan suatu spesies mahluk hidup hanya dapat dilakukan melalui pemusnahan habitatnya, bukan pemusnahan per satuan jenis spesies tersebut. Dengan demikian, masih akan dibutuhkan waktu yang lama bagi manusia untuk hidup berdampingan dengan nyamuk Aedes aegypti.
Untuk itu diperlukan manipulasi lingkungan yang terstruktur dan berkesinambungan yang tidak merusak habitat manusia itu sendiri untuk membasmi nyamuk ini. Kondisi lingkungan yang tertata rapi, halaman yang bersih, kamar mandi yang ganya dilengkapi pancuran (Shower) jelas akan dapat membantu meminimalisir perkembangan spesies ini.
PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN
Sampai saat ini pengobatan demam berdarah dilakukan melalui pemberian obat dan pemberian vaksin. Namun, sampai saat ini belum ada vaksin yang benar-benar mampu untuk mencegah seseorang terkena dema, berdarah.Cara yang paling mudah dan efektif untuk menghindari penyakit ini adalah mencegahnya. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan diantaranya adalah:
1. Menghindari gigitan nyamuk di siang hari karena nyamuk demam berdarah adalah nyamuk yang aktif di siang hari. Cara untuk menghindari gigitan nyamuk salah satunya adalah dengan menggunakan lotion anti nyamuk, hal ini sangat efektif untuk anak-anak dan balita mengingat banyak korban demam berdarah adalah anak-anak.
2. Menjaga kerbersihan lingkungan dengan 3M yaitu menguras bak mandi seminggu sekali sekaligus menaburkan bubuk abate pada air, mengubur barang-barang bekas yang mampu menampung air, menutup tempat-tempat penampungan air. Selain itu juga jangan menggantung baju bekas pakai karena akan digunakan nyamuk untuk bersarang.
3. Memelihara ikan-ikan pemakan jentik nyamuk di kolam-kolam.
Namun apabila upaya pencegahan telah dilakukan tetapi masih terkena demam berdarah, maka cara satu-satunya adalah dengan pengobatan. Berikut adalah beberapa pengobatan yang dapat dilakukan jika ada yang terkena demam berdarah.
a. Minum banyak air.
Pada saat gejala demam berdarah tampak, langkah yang pertama yang paling baik dilakukan adalah dengan memberikan banyak cairan atau minum seperti air putih, teh, susu, sari buah, dan oraloit. Hal ini bertujuan untuk menurunkan suhu tubuh melalui ekskresi urin dan mencegah dehidrasi.
b. Kompres air dingin dan pemberian obat antipiretik
Untuk mengatasi demam perlu dilakukan pengompresan dengan air dingin dan pemperian obat antipiretik dan analgesic. Obat antipiretik berfungsi untuk menurunkan demam. Obat yang dianjurkan dan mudah didapat adalah acetaminofen atau parasetamol. Penggunaan aspirin sangat tidak dianjurkan walaupun sama-sama memiliki efek antipiretik karena adanya efek antiinflamasi yang sangat kuat. Efek antiinflamasi parasetamol sangat lemah dan hampir tidak ada. Obat-obat yang memiliki efek antiinflamasi harus dihindari karena dapat menghambat biosintesis tromboksan A2 yang pada akhirnya dapat menghambat biosintesis trombosit. Ini akan semakin meningkatkan resiko pendarahan pada penderita DBD, padahal sebisa mungkin pendarahan harus dihindari.
Adapun dosis parasetamol yang diberikan yaitu 3 x sehari selama demam. Dosis untuk satu kali pemakaian yaitu:
<1 tahun : 60 mg/ dosis
1-3 tahun : 60-120 mg/dosis
3-5 tahun :120-170 mg/dosis
6-12 tahun :170-300 mg/dosis
Dewasa :500 mg/ dosis
c. Cairan infus
Penambahan cairan secara intravena mungkin diperlukan untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi yang berlebihan. Infus diberikan jika penderita terus-menerus muntah sehingga tidak ada nutrisi yang masuk ke tubuh maka pemberian nutrisi memalui cairan intravena diperlukan . Cairan yang diberikan adalah campuran NaCl 0,9%, glukosa 10% (1:3). Jumlah tetesan adalah 20 ml/ kgBB/ jam. Bila syok mulai teratasi jumlah cairan dikurangi menjadi 10 ml/kgBB/jam.
d. Transfusi darah
Transfusi darah diperlukan jika penderita semakin buruk akibat terjadi pendarahan sehingga jumlah platelet menurun drastis. Pendarahan terutama terjadi pada organ-organ dalam. Kehilangan darah ini perlu diganti melalui transfusi darah karena tubuh terlalu lemah untuk memproduksi sel-sel darah merah baru dalam jumlah besar.
e. Jambu biji
Penelitian oleh Universitas Airlangga dan badan POM menunjukan bahwa ekstrak jambu bijidapat meningkatkan kadar trombosit darah. Kandungan senyawa tannin dan flavonoid yang ada pada ekstrak daun jambu biji diketahui dapat menghambat aktivitas pertumbuhan virus Dengue. Dalam pelaksanaannya, ekstrak daun jambu biji ini digunakan ssebagai suplemen dan penggunaanya harus mendapat ijin dari dokter yang merawat agar tidak terjadi krontraindikasi dengan pengobatan yang dilakukan oleh dokter.
f. Inhibitor enzim virus
Enzim polymerase virus berperan dalam sintesa materi genetik virus. Saat ini sedang dikembangkan inhibitor untuk enzim ini untuk pengobatan infeksi virus Dengue.
g. Terapi siRNA
Terapi dilakukan untuk menyisipkan potongan kecil RNA yang komplementer dengan mRNA virus ke dalam sel untuk mengganggu proses translasi. Diharapkan sintesis protein virus akan terganggu apabila ditemukan antisense RNA yang komplementer dengan mRNA virus. Akan tetapi asam nukleat sangat stabil dan sangat sulit diinjeksikan ke dalam tubuh tanpa terdenaturasi.
Penemuan terbaru menunjukan, siRNA adalah benang ganda yang relatif stabil dibandingkan antisense RNA sehingga lebih mudah dimasukan ke plasmid. Karena relatif stabil maka efeknya diharapkan tidak hanya pada gen dari virus tersebut tetapi juga keturunannya. Kelebihan terapi ini adalah tidak menimbulkan respon imun.
Nyamuk Aedes Aegypti Virus DBD
PENGOBATAN
Setelah didiagnosis dan telah ditetapkan bahwa penderita terinfeksi virus Dengue (demam berdarah) maka penderita harus segera dilakukan pengobatan, dengan cara :
1. Untuk mengatasi demam dapat diberikan parasetamol, selama demam mencapai 39oC paling banyak 6 dosis dalam 24 jam.
2. Untuk mengganti cairan yang hilang, untuk pertolongan pertama dapat diberi oralit atau diberi jus buah-buahan.
3. Apabila kadar hemotokrit turun sampai 40% maka harus di infus NaCl atau ringer, sesuai kebutuhan dan dapat ditambah plasma, larutan garam fisiologis, dan glukosa.
4. Antibiotik dapat diberikan apabila terjadi infeksi sekunder.
5. Oksigen dapat diberikan pada saat penderita syok atau pingsan.
6. Transfusi darah diberikan apabila penderita mengalami pendarahan yang signifikan.
Yang perlu diperhatikan pada saat pemberian cairan pengganti atau infuse, harus diawasi selama 24 jam sampai dengan 48 jam, dan dihentikan setelah penderita terrehidrasi, dengan ditandai jumlah urine cukup, denyut nadi yang kuat dan tekanan darah membaik.
Apabila pemberian cairan intravena diteruskan setelah ada tanda-tanda tersebut akan terjadi overhidrasi yaitu dapat mengakibatkan meningkatnya jumlah cairan dalam pembuluh darah, edema paru-paru dan gagal jantung.
PENCEGAHAN
Demam berdarah dapat dicegah dengan memberantas jentik-jentik nyamuk Demam Berdarah (Aedes aegypti) dengan cara melakukan PSN (Pembersihan Sarang Nyamuk). Upaya ini merupakan cara yang terbaik, ampuh, murah, mudah dan dapat dilakukan oleh masyarakat, dengan cara sebagai berikut:
1. Bersihkan (kuras) tempat penyimpanan air (seperti : bak mandi/WC, drum, dan lain-lain) sekurang-kurangnya seminggu sekali. Gantilah air di vas bunga, tempat minum burung, perangkap semut dan lain-lain sekurang-kurangnya seminggu sekali
2. Tutuplah rapat-rapat tempat penampungan air, seperti tempayan, drum, dan lain-lain agar nyamuk tidak dapat masuk dan berkembang biak di tempat itu
3. Kubur atau buanglah pada tempatnya barang-barang bekas, seperti kaleng bekas, ban bekas, botol-botol pecah, dan lain-lain yang dapat menampung air hujan, agar tidak menjadi tempat berkembang biak nyamuk. Potongan bambu, tempurung kelapa, dan lain-lain agar dibakar bersama sampah lainnya.
4. Tutuplah lubang-lubang pagar pada pagar bambu dengan tanah atau adukan semen.
5. Lipatlah pakaian/kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak hinggap disitu.
6. Untuk tempat-tempat air yang tidak mungkin atau sulit dikuras, taburkan bubuk ABATE ke dalam genangan air tersebut untuk membunuh jentik-jentik nyamuk.
Ulangi hal ini setiap 2-3 bulan sekali. Cara Memberantas Nyamuk Aedes aegypti :
Ada banyak cara untuk memberantas nyamuk Aedes aegypti, antara lain dengan cara:
1. Penyemprotan dengan menggunakan zat kimia
2. Pengasapan dengan insektisida
3. Memutus daur hidup nyamuk dengan menggunakan ovitrap dan memberi ikan cupang di tempat penampungan air.
Untuk memberantas jentik-jentik nyamuk dapat menggunakan serbuk ABATE, dengan komposisi takaran sebagai berikut: Untuk 10 liter air cukup dengan 1 gram serbuk ABATE
Bila memerlukan ABATE kurang dari 10 gram, maka dapat dilakukan sebagai berikut:
- Ambil 1 sendok makan ABATE dan tuangkan pada selembar kertas
- Lalu bagilah ABATE menjadi 2, 3, atau 4 bagian sesuai dengan takaran yang dibutuhkan
Setelah dibubuhkan ABATE maka:
a. Selama 3 bulan bubuk ABATE dalam air tersebut mampu membunuh jentik Aedes aegypti
b. Selama 3 bulan bila tempat penampungan air tersebut akan dibersihkan/diganti airnya, hendaknya jangan menyikat bagian dalam dinding tempat penampungan air tersebut
c. Air yang telah dibubuhi ABATE dengan takaran yang benar, tidak membahayakan dan tetap aman bila air tersebut diminum.
DENGUE ENCHEPHALITIS
Kebanayakan flavivirus penyebab gejala demam atau demam berdarah kadang-kadang menyebabkan gejala neurologis karena pada dasarnya semua flavivirus bersifat neurotropik, khususnya pada binatang pengerat.
Spektrum patogenesis flavivirus neurotropik dapat dibagi atas:
i. Enchephalitis fatal yang biasanya didahului oleh viremia dan replikasi virus ekstraneural yang hebat.
ii. Enchephalitis subklinis yang biasanya didahului viremia ringan dan infeksi otak lambat disertai kerusakan otak ringan.
iii. Infeksi asimptomatik yang ditandai oleh hampir tidak adanya viremia, sangat terbatasnya replikasi ekstraneural serta tidak adanya neuroinvasi.
iv. Infeksi persisten.
Infeksi flavivirus pada manusia biasanya bersifat subklinis. Infeksi oleh virus West Nile dan Kyasanur Forrest pada daerah hiperendemik, biasanya menyebabkan penyakit ringan dan terutama menyerang anak, sedangkan kelompok dewasa banyak yang kebal. Pada daerah yang tidak endemik, bentuk epidemi pada semua kelompok umur dapat terjadi. Dalam hal ini, beratnya penyakit berkolerasi dengan umur penderita. Pada usia muda, manifestasinya mirip demam dengue, sedangkan pada usia lebih tua dapat terjadi meningoenchephalitis. Sementara Enchephalitis akibat virus Japanese Enchephalitis bersifat bimodus atau prevalensi penyakit mempunyai dua puncak, yaitu pada anak-anak dan orang tua.
Selain oleh faktor umur, manifestasi sindroma klinis mungkin juga dipengaruhi faktor lain. Pada binatang percobaan, Enchephalitis oleh virus Japanese Enchephalitis dipermudah oleh adanya infeksi oleh virus herpes simplex, cacing Trichinella spiralis, larva migrans ataupun dari berbagai logam berat seperti arsen, timbal, dan kadmium. Sedangkan pada manusia, asosiasi yang jelas diperlihatkan oleh diabetes mellitus, hipertensi, alkoholisme, dan penyakit bronkopulmoner kronik.
PROGNOSIS
Penyakit Enchephalitis disebarkan oleh gigitan nyamuk. Segera setelah masuk melalui gigitan vektor, virus berkembang biak pada tempat inokulasi dan sebagian lagi masuk ke sirkulasi menimbulkan viremia pertama. Viremia pertama ini sangat ringan dan sebentar. Setelah virus berkembang biak, sebagian virus dilepaskan dan masuk ke sirkulasi menyebabkan viremia ke dua yang bersamaan dengan kejadian tersebarnya infeksi di jaringan ekstraneural.
Tempat virus terutama berkembang biak di jaringan ekstraneural tidak diketahui dengan pasti. Dari berbagai penelitian pada binatang percobaan diketahui bahwa antigen virus dapat ditemukan pada jaringan otot, tulang, retikuloendotel, dan banyak jaringan lain. Pada manusia telah dilaporkan adanya miositis pada kasus enchephalitis oleh virus West Nile dan Japanese Enchephalitis. Juga ditemukan tiroiditis pada kasus infeksi oleh Sint Louis Enchephalitis dan pankreatitis oleh virus West Nile.
Pada manusia, kronologi timbulnya kekebalan humoral dan seluler tidak diketahui secara pasti. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingginya kadar antibodi netralisasi berkorelasi dengan beratnya gejala. Antibodi dalam kasus Enchephalitis ternyata lebih tinggi daripada antibodi pada kasus subklinis. Antibodi juga dapat dideteksi pada cairan cerebospinal. Dalam hal infeksi dalam kasus Japanese Enchephalitis, beberapa data kekebalan dapat diringkas bebagai berikut:
i. Infeksi subklinis tidak ditandai oleh timbulnya antibodi dalam cairan cerebrospinal
ii. Infeksi Japanese Enchephalitis yang fatal ditandai oleh tidak adanya atau lambatnya pembentukan antibodi baik dalam serum ataupun dalam cairan cerebospinal
iii. Antibodi lebih nyata terjadi pada kasus dengan gejala Enchephalitis nyata tetapi tidak fatal
Dengan gejala yang timbul tergantung pada patologi yang terjadi pada susunan saraf pusat, ini sangat berkaitan erat dengan derjat replikasi virus dan proses imunopatologi. Data lapangan pada infeksi virus Japanese Enchephalitis menunjukkan bahwa antibodi timbul lebih lambat pada kasus fatal dibandingkan pada kasus tidak fatal.
Faktor yang mempengaruhi prognosis JE :
1. Umur
Pada anak-anak akan diperoleh gejala sisa yang lebih sering dan lebih banyak ragamnya daripada orang dewasa
2. Gejala klinik
Gejala sisa yang timbul sangat erat kaitannya dengan berat-ringannya manifestasi klinis yang muncul pada stadium akut. Demam tinggi yang berlangsung lama, kejang yang hebat dan sering, depresi pernapasan yang timbul dini akan mengakibatkan prognosis buruk. Gejala sisa dapat berupa gangguan mental, emosi yang labil, koreoatetosis, parkinson, tremor, gangguan bicara, paresis, posisi deserebrasi, skizoprenia, paralisis, dan retardasi mental.
3. Hasil pemeriksaan cairan serebro spinal
Jika terdapat kadar protein yang cukup tinggi pada CSS, prognosisnya kurang baik.
JAPANESE ENCHEPHALITIS
Japanese Enchephalitis (JE) adalah penyakit yang disebabkan oleh flavivirus dan disebarkan oleh nyamuk. Penyakit ini menyerang susunan saraf pusat otak (otak, spinalis, dan meninges) yang disebabkan oleh Japanese Enchephalitis virus (JEV) yang ditularkan dari binatang melalui gigitan nyamuk. Di Jepang, JEV pertama kali diisolasi dari jaringan otak kasus JE yang meninggal pada tahun 1935. Kemudian tahun 1938 JEV dapat diisolasi dari nyamuk Culex tritaeniorhynchus yang bertindak sebagai vektor utama dalam penularan JE.
Japanese Encephalitis Virus nyamuk Culex tritaeniorhynchus
Penyakit ini menyebar dari Jepang ke Korea, Cina, Filipina, dan terus ke negara Asia lainnya sampai Indonesia. JE baru dapat diisolasi di Indonesia tahun 1971 dari nyamuk Culex, kemudian dari nyamuk anopheles, sedangkan diagnosis JE baru dapat ditegakkan pada tahun 1981 berdasarkan kriteria WHO dan pemeriksaan IAHA (Immune Adherence Hemaglutination). Diagnosis ditegakkan berdasakan atas gejaa klinis, pemeriksaan laboratorium dari spesimen serum dan cairan cerebrospinal pada stadium akut dan konvalessens dengan pemakaian ELISA dari 49 kasus yang dicurigai menderita Enchephalitis, ternyata 40,82% yang positif menderita JE.
Nyamuk Culex bersifat zoofilik, yaitu lebih menyukai binatang sebagai mangsanya sehingga JEV pada umumnya menyerang binatang, hanya secara kebetulan dapat menyerang manusia terutama apabila dalam keadaan densitas culex yang sangat padat. Tidak semua manusia yang digigit culex infektif menunjukkan gejala klinis Enchephalitis. Dari hasil penelitian di Jepang menunjukkan gejala klinis Enchephalitis dari tiap 500-1000 anak yang menderita infeksi JEV yang asimptomatk. Data lain mendapatkan hanya 1 dari 300 orang terkena infeksi JEV berkembang menjadi Enchephalitis dan dari kasus tersbut20-40% meninggal. Jadi, cara penularannya adalah dari nyamuk pada manusia yang rentan. Hewan adalah reservoir penting bagi penyakit zoonosis sedangkan manusia hanya dapat terinfeksi secara insidental dan bukan merupakan vektor yang penting. Reservoir utama penyakit Enchephalitis adalah babi dan vektornya adalah nyamuk culex. Binatang lainnya diantaranya sapi, kuda, kerbau, kambing, tikus, burung, kera, ayam, dan kucing. Virus in jarang menyebabkan penyakit pada binatang kecuali jika langsung disuntikkan pada susunan saraf pusat, bahkan cara ini dapat menimbulkan kematian pada vertebrata seperti kera, kuda, babi, dan tikus. Arthopoda yang bertindak sebagai vektor adalah nyamuk culex, anopheles, dan aedes. Vektor yang sangat efisien menularkan penyakit adalah Culex tritaeniorhynchus, Culex gelidus, dan Culex fuschopheles. Vektor yang efisien adalah Culex pipiens pallens. Virus ini dapat berkenbangbiak dalam jaringan Arthropoda tanpa menimbulkan penyakit dan menderita seumur hidup setelah menghisap darah vertebrata yang menderita viremia.
Siklus hidup Japanese Encephalitis virus
EPIDEMIOLOGI
Japanese Enchephalitis pertama kali diketahui di Jepang secara klinis pada tahun 1871, kemudian tahun 1924 terjadi epidemik yang hebat sehingga angka kematian mencapai 65% dari 6125 kasus. Epidemic yang hebat terjadi pada tahun 1935 dan 1948. Setelah itu, dari tahun 1968 tidak lagi pernah timbul epidemik meskipun kasus sporadik masih tetap ada sepanjang tahun. Dari Jepang penyakit ini menyebar ke Korea yang ditemukan pada tahun 1926. Pada tahun 1949 terjadi epidemik tercatat 5616 kasus dengan angka kematian 48,56%. Dari tahun 1949 sampai tahun 1958 terjadi epidemik yang lebih hebat dari sebelumnya, tercatat 6897 kasus dengan angka kematian 31,56%. Setelah 10 tahun menurun dan berfluktuasi namun tahun 1982 kembali menunjukkan peningkatan kasus yang tajam. Insiden JE sangat meningkat pada tahun 1966 dengan dilaporkan kasus sebanyak 40000 orang. Negara-negara yang pernah terjadi epidemiologi JE adalah Jepang, Korea, Cina, India, Thailand, Taiwan, Indonesia, Srilanka, Bangladesh, Kamboja, Vietnam, Malaysia, Singapura, dan Filipina.
Distribusi geografis Japanese Encephalitis
ETIOLOGI
Dahulu flaviviridae digolongkan sebagai genus dalam family Togaviridae, yaitu Flavivirus. Ternyata kemudian sejak tahun 1984 dapat diidentifikasi bahwa beberapa sifat flavivirus berbeda dengan Togavirus dalam hal ukuran, morfogenesis, dan struktur genom. Oleh karena itu, flavivirus dikelompokkan sendiri sebagai famili sendiri, yaitu flaviviridae. JE disebabkan oleh JEV, termasuk dalam Arbovirus grup B, genus Flavivirus, famili flaviviridae yang mempunyai sifat sferis, diameternya 40-60 nm, inti virion terdiri atas asam ribonukleat (RNA) rantai tunggal yang bergabung dengan protein menjadi nukleoprotein. Terdapat kapsid sebagai pelindung inti virion. Kapsid terdiri dari polipetida yang tersusun simetri isokahedral, yaitu bentuk tata ruang yang dibatasi oleh 20 segi sama sisi, mempunyai aksis rotasi berganda. Di luar kapsid terdapat selubung. Virus relatif stabil terhadap demam, entan terhadap pengaruh desinfekan, deterjen, pelarut lemak dan enzim proteolitik. Infektivitasnya paling stabil pada pH 7-9, namun dapat diinaktifkan oleh radiasi gelombang elektromagnetik, eter, dan natrium deoksikolat. JEV berkembang biak dalam sel hidup yaitu nukleus dan sitoplasma. Setelah adanya infeksi alamiah pada babi dan kuda, biasanya menimbulkan viremia tetapi tidak menimbulkan gejala klinis, kemudian diikuti oleh pembentukan neutralizing dan complement fixing antibodi, tetapi hanya sedikit kuda yang mati karena Enchephalitis.
JE termasuk penyakit zoonosis yang disebabkan oleh kelompok arbovirus yang bersifat arthropod borne dan berasal dari genus Flavoviridae. Di Indonesia, JEV diisolasi tahun 1997 dari nyamuk Culex dan nyamuk Anopheles. Pada tahun 1972, JEV pernah diisolasi dari babi di Kapuk. Di Asia, kasus JE banyak ditemukan di India, Nepal, Srilanka, dan Thailand. Di rumah sakit Sanglah, Bali, dalam kurun waktu 1990-1992, ditemukan 57,7% dari semua spesimen darah dan CSS penderita encephalitis adalah golongan JE.
PATOGENESIS
Segera setelah Culex menggigit mangsa yang rentan virus menuju sistem getah bening sekitar tempat gigitan nyamuk (kelenjar regional) dan berkembang biak kemudian masuk ke peredaran darah menimbulkan viremia pertama. Viremia ini sangat ringan dan sebentar. Lewat aliran darah virus menyebar ke berbagai organ tubuh seperti susunan saraf pusat dan organ ekstraneural, di dalam organ ekstraneural inilah virus berkembang biak, tetapi organ-organ yang pasti belum diketahui. Virus lalu dilepaskan dan masuk ke peredaran darah menyebabkan viremia ke dua yang bersamaan dengan infeksi di jaringan dan menimbulkan gejala penyakit sistemik.
Cara yang pasti tentang kemampuan virus menembus daerah sawar darah otak tidak diketahui, namun diduga setelah terjadinya viremia, virus mampu berkembang biak pada sel endotel sehingga dapat menembus sawar darah otak. Setelah mencapai jaringan susunan saraf pusat, virus berkembang biak dalam sel dengan cepat. Sebagai akibat infeksi oleh virus maka permeabilitas sel neuron, glia, dan endotel meningkat yang menyebabkan cairan di luar sel mudah masuk ke dalam sel sehingga timbullah edema sitotoksik. Adanya edema dan kerusakan susunan saraf pusat ini memberikan manifestasi berupa Enchephalitis.
Di sisi lain JEV sebagai virus yang tergolong sebagai virus neurotropik mungkin dapat menimbulkan kerusakan jaringan saraf dengan jalan seperti apa yang terjadi pada virus neurotropik lainnya, yaitu setelah masuknya virus ke tubuh manusia, yaitu terutama setelah viremia ke dua, tubuh manusia mulai membentuk antibodi antivirus. Antibodi ini bereaksi dengan antigen membentuk kompleks antigen antibodi yang beredar dalam darah dan masuk ke susunan saraf pusat. Di susunan saraf pusat menimbulkan proses inflamasi dengan akibat timbulnya edema dan selanjutnya terjadi anoksia, yang pada akhirnya terjadi kematian sel susunan saraf pusat yang lebih luas.
Spektrum patogenesis JEV berupa:
• Enchephalitis fatal yang biasanya didahului oleh viremia dan berkembang biak pada ekstraneural yang hebat
• Enchephalitis subklinis yang biasanya didahului viremia ringan, infeksi otak yang lambat dan kerusakan otak yang ringan
• Infeksi asimptomatik yang ditandai oleh tidak adanya viremia, sangat terbatasnya replikasi ekstraneural serta tidak adanya neuroinvasi
• Infeksi persisten
MANIFESTASI KLINIK
Gejala klinis JE bervariasi bergantung dari berat ringannya kelainan susunan saraf pusat, umur, dan lain-lain. Spekrum penyakit dapat berupa hanya demam, nyeri kepala, meningitis aseptic, dan meningoensefaliis. Masa inkubasi 4-14 hari.
Stadium prodromal
Terjadinya penyakit ini agak cepat. Stadium prodromal berlangsung 2-4 hari dimulai dari keluhan sampai timbulnya gejala terserangnya susunan saraf pusat. Gejala yang sangan dominan adalah demam, nyeri kepala, dan menggigil. Gejala lain berupa malaise, anoreksia, keluhan dari traktus respiratorius seperti batuk, piek, dan keluhan dari gastrointestinal seperti mual, muntah, dan nyeri di bagan epigastrium. Nyeri kepala dirasakan di dahi atau di seluruh kepala, biasanya nyeri yang hebat da tidak bias dihilangkan dengan pemberian analgesik. Demam selalu ada dan tidak bisa diturunkan dengan pemberian obat antipiretik
Stadium akut
Gejala tekanan intrakranial meninggi berupa nyeri kepala, mual, muntah, kejang, penurunan kesadaran dariapatis sampai koma. Infeksi meninges berupa kuduk kaku, biasanya 1-3 hari setelah sakit. Demam tetap tinggi, kontinu dan lamanya demam dari permulaan mulai penyakit berlangsung 7-8 hari. Otot kaku dan ada juga kelemahan otot. Kelemahan otot yang menyeluruh timbul pada minggu ke-2 dan minggu ke-3. Kelemahan otot yang luas dan hebat memerlukan istirahat yang lama sampai kebanyakan gejala yang lain reda. Muka seperti topeng, tanpa ekspresi muka, ataksia, tremor kasar, gerakan-gerakan tidak sadar, kelainan saraf sentral, paresis, reflex deep tendon meningkat atau menurun, dan refleks patologis babinsky positif. Berat badan menurun disertai dehidrasi. Pada kasus ringan permulaan penyakit perlahan-lahan, demam tidak tinggi, nyeri kepala ringan. Demam akan hilang pada hari ke-6 atau hari ke-7 dan kelainan neurologik sembuh pada akhir minggu ke dua setelah mulainya penyakit. Pada kasus yang berat gejala penyakit sangat akut, kejang menyerupai epilepsi, hiperpireksia, kelainan neurologik yang progresif, penyulit kardiorespirasi dan koma diakhiri kematian pada hari ke-7 dan ke-10, atau pasien hidup dan membaik dalam jangk waktu yang lama, kadang-kadang terkena penyulit infeksi bakteri dan meninggalkan gejala sisa yang permanen.
Stadium Konvalessens
Stadium ini dimulai pada saat menghilangnya inflamasi yaitu pada suhu mulai kembali normal. Gejala neurologik bisa menetap dan cenderung membaik. Apabila penyakit JE berat dan berlangsung lama maka penyembuhan berlangsung lambat, tidak jarang sisa gangguan neurologik berlangsung lama. Pasien menjadi kurus dan kurang gizi. Gejala sisa yang sering dijumpai adalah gangguan mental berupa emosi yang tidak stabil, paralisis upper, dan lower motor neuon afasia dan psikosis organik jarang dijumpai
DIAGNOSIS
Seperti pada diagnosis penyakit lain, diagnosis penyakit Japanese Encephalitis (JE) ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, dan hasil pemeriksaan laboratorium.
1. Anamnesis yang mendukung kemungkinan adanya infeksi oleh JE virus (JEV) :
- Penderita (khususnya anak-anak) tinggal di daerah yang memungkinkan siklus JEV berlangsung dengan baik, seperti daerah dengan kepadatan nyamuk Culex yang tinggi, peternakan babi, kerbau, dan sapi
- Penderita tinggal di daerah endemis JE
- Pada penderita muncul gejala-gejala sebagai berikut : demam tinggi, nyeri kepala hebat, disertai kejang
2. Gejala klinis yang mendukung diagnosis JE :
- Keluhan dini berupa demam, sakit kepala, mual, muntah, lemas, kesadaran menurun, dan gerakan abnormal (tremor hingga kejang).
- Gejala yang timbul 3-5 hari kemudian berupa kekakuan otot, koma, pernapasan yang abnormal, dehidrasi, dan penurunan berat badan.
- Gejala lain yang menyertai : refleks tendon meningkat, paresis, suara pelan dan parau.
3. Berdasarkan kriteria WHO (1979) yang dikutip dari Lubis, seleksi kasus JE meliputi :
- Demam lebih dari 380C
- Gejala rangsang korteks
- Gejala kesadaran
- Gangguan saraf otak
- Gejala piramidal dan ekstra piramidal
- Cairan otak jernih, protein positif, glukosa < 100 mg/dl
4. Pemeriksaan Laboratorium
Spesimen yang diperiksa terutama adalah darah, cairan serebrospinal (CSS), dan jaringan otak. Dari hasil pemeriksaan darah akan didapat hasil berupa laju endap darah meningkat dan leukositosis ringan, rata-rata 13.000/ml, polimorfnuklear lebih banyak dari mononuklear. Pada pemeriksaan cairan serebrospinal, CSS tampak lebih jernih sampai opalesens, tergantung dari jumlah leukosit, pleositosis bervariasi antara 20-5.000/ml. Pada beberapa hari pertama tampak neutrofil dan limfosit, tetapi setelah itu, limfosit akan lebih dominan, kadar glukosa normal atau meningkat, sedangkan kadar protein 50-100 mg/dl.
5. Isolasi Virus
Isolasi JEV jarang didapat dari darah dan cairan serebrospinal, tetapi lebih sering diambil dari jaringan otak. Dari darah, JEV dapat diisolasi selama stadium akut, sedangkan dari CSS virus dapat diisolasi pada permulaan encephalitis. Pada kasus penderita JE yang meninggal pada minggu pertama setelah terinfeksi JEV, saat otopsi didapatkan jaringan otak yang masih segar karena JEV belum menyebar sampai ke jaringan otak melainkan masih beredar dalam darah. Spesimen jaringan otak diinokulasikan intraserebral pada mencit yang baru lahir dan kemudian harus diidentifikasikan dengan uji serologis dengan anti serum yang telah diketahui. Isolasi JEV untuk kepentingan diagnosis kurang praktis dan biasanya dikerjakan untuk kepentingan penelitian.
6. Pemeriksaan Serologis
- Immune Adherence Hemaglutination (IAHA)
Spesimen serum akut dan konvalesens dapat dikerjakan untuk uji IAHA. Uji IAHA dikatakan positif jika terdapat peningkatan titer antibodi 4 kali atau lebih.
- Uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI) merupakan uji spesimen serum akut dan konvalesens. Uji HI dikatakan positif jika titer antibodi serum akut 1/20 atau lebih sedangkan pada spesimen konvalesens meningkat 4 kali atau lebih.
Teknik konvensional lainnya seperti immunofluorecent antibody (IFA) dan complement fixation (CF) juga memakai kriteria penilaian seperti di atas. Uji-uji serologis tersebut dapat digunakan untuk membuat diagnosis penyakit JE di daerah endemik, tetapi prosedur pelaksanaan metode-metode tersebut harus dilakukan dengan hati-hati karena infeksi dengue atau Flavivirus lainnya dapat menimbulkan respon serologis reaksi silang terhadap antigen JEV.
Untuk menegakkan diagnosis JE di daerah endemis infeksi dengue, Innis melakukan uji serologis terhadap serum dan CSS dengan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Spesimen serum dan CSS baik yang akut maupun kronik diperiksa kadar IgM anti dengue, IgG anti dengue, IgM anti JE, dan IgG anti JE. Hasil dikatakan positif jika lebih besar dari 40 unit. Hasil dari 4 uji serologis tersebut kemudian dibandingkan. Hasil rata-rata IgM anti dengue dibandingkan dengan IgM anti JE, jika hasilnya lebih besar atau sama dengan satu, berarti positif terserang infeksi dengue, sedangkan jika hasilnya lebih kecil atau sama dengan satu, berarti positif terhadap infeksi JE.
Cairan Serebrospinal yang terinfeksi JEV
7. Diagnosis Banding
Manifestasi klinik JE dapat pula ditemukan pada penyakit lain, terutama yang berkaitan dengan kelainan susunan saraf pusat, yaitu malaria serebral, meningitis bakteri, meningitis aseptic, kejang, demam, encephalitis oleh Flavivirus lain, rabies, sindrom Reye, dan ensefalopati toksik.
PENGOBATAN
1. Pengobatan Simtompmatik
a. Menghentikan kejang
Pada saat terjadi kejang, secepatnya diatasi dengan pemberian diazepam intravena, dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan dosis maksimal :
- Anak yang berumur kurang dari 5 tahun diberikan 5 mg
- Anak 5-10 tahun diberikan 7,5 mg
- Anak berusia lebih dari 10 tahun diberikan 10 mg
Kecepatan pemberian :1 mg/menit. Bila kejang tetap berlanjut, dosis di atas dapat diulangi sekali lagi setelah 15 menit. Bila tidak tersedia diazepam intravena atau kesulitan untuk menginjeksikan diazepam secara intravena, dapat diberikan diazepam per rektal berupa rektiol dalam kemasan 5 mg dan 10 mg dengan ketentuan dosis sama seperti diazepam intravena.
Bila kejang sudah berhenti, pengobatan dilanjutkan dengan pemberian fenobarbital per oral 5 mg/kgBB/kali dibagi dalam 2 dosis. Bila sebelumnya pasien menunjukkan kejang lama atau status konvulsi, setelah berhasil menghentikan kejang, secepatnya diberikan bolus fenobarbital intramuskular. Sebagai dosis awal : 50 mg untuk anak berumur 1 b
Tidak ada komentar:
Posting Komentar