I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam perkembangan embrio ayam mengalami perubahan secara bertahap menuju kemajuan dalam fungsi tubuh. Walaupun pada hakikatnya, perkembangan tampak tidak teratur, dalam rentang waktu yang tidak sama, namun pada dasarnya embrio ayam mengalami suatu perubahan-perubahan dalam waktu tertentu yang sering diartikan sebagai fase-fase perkembangan.
Masa pengeraman selama 21 hari merupakan masa yang sangat kritis untuk menentukan kelahiran seekor anak ayam. Embrio di dalam telur ini tumbuh secara luar biasa setiap harinya sampai akhirnya menetas menjadi anak ayam.
Salah satu adaptasi yang terjadi di dalam evolusi yang sangat penting bagi kehidupan vertebrata di darat adalah terbentuknya satu cara agar embrio selalu berada dalam keadaan basah. Hal ini mulai terjadi ketia reptilian pertama meletakkan telurnya di darat dan telur-telur dapat berkembang dengan baik. Keberhasilan ini dapat terjadi karena telur diselubungi oleh cangkang dan berbagai selaput yang menyelubungi tubuh embrio. Selaput-selaput ini awalnya berasal dari tubuh embrio itu sendiri dan meletakkan fungsi yang vital seperti dalam nutrisi, pertukaran gas dan pembuangan.
Setelah melalui proses kawin dan bertelur. Telur ayam tersebut diinkubasi selama 96 jam dengan perbedaan besar watt lampu.
Untuk membuktikan percobaan yang telah dilakukan. Maka kami menulis karya ilmiah ini yang berjudul “Pengaruh Suhu Terhadap Perkembangan Embrio Ayam Selama 96 Jam”.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam pembuatan karya ilmiah ini, penulis hanya membahas perkembangan embrio ayam selama 96 jam yang diberi perlakuan berbeda yaitu perbedaan besar watt lampu.
1.3 Hipotesis Penelitian
Perbedaan besar watt lampu yaitu pada perlakuan untuk kardus pertama telur diberi lampu pijar 5 watt dan Pada kardus kedua diberi lampu pijar 10 watt.
1.4 Tujuan Hasil Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap perkembangan embrio ayam.
1.5 Manfaat Hasil Penelitian
Adapun manfaat dari pembuatan karya ilmiah ini adalah memberikan informasi atau pengetahuan kepada pembaca, tentang perbedaan perkembangan embrio ayam dengan perlakuan yang berbeda.
II. KAJIAN PUSTAKA
Telur merupakan kumpulan makanan yang disediakan induk unggas untuk perkembangan embrio menjadi anak ayam didalam suatu wadah. Isi dari telur akan semakin habis begitu telur telah menetas. Telur tersusun oleh tiga bagian utama : kulit telur, bagian cairan bening, dan bagian cairan yang berwarna kuning (Rasyaf, 1990).
Telur merupakan salah satu produk peternakan unggas yang memiliki kandungan gizi lengkap dan mudah dicerna. Telur merupakan salah satu sumber protein hewani disamping daging, ikan dan susu. Secara umum terdiri atas tiga komponen pokok, yaitu kulit telur atau cangkang (11 % dari bobot tubuh), putih telur (57 % dari bobot tubuh) dan kuning telur (32 % dari bobot tubuh) (Suprapti ,2002).
Tepung telur pada dasarnya masih merupakan telur mentah juga, namun
sudah dikeringkan sebagian besar kandungan airnya, hingga hanya tersisa kurang
lebih 10 % saja. Bahan yang diperlukan dalam pembuatan tepung telur ini adalah
telur-telur yang mengalami retak atau pecah telur, serta telur-telur yang telah
mendekati batas akhir umur penyegarannya (Suprapti, 2002).
Telur merupakan kumpulan makanan yang disediakan induk unggas untuk
perkembangan embrio menjadi anak ayam didalam suatu wadah. Isi dari telur akan semakin habis begitu telur telah menetas. Telur tersusun oleh tiga bagian utama : kulit telur, bagian cairan bening, dan bagian cairan yang berwarna kuning (Rasyaf, 1990).
Ciri-ciri telur yang baik antara lain : kerabang bersih, halus, rongga udara kecil, kuning telurnya terletak ditengah dan tidak bergerak, putih telur bagian dalam kental dan tinggi pada bagian putih telur maupun kuning telur tidak terdapat noda darah maupun daging. Bentuk telur serta besarnya juga proporsional dan nofrmal (Sudaryani dan Samosir, 1997).
Oleh karena telur mempunyai pelindung yang keras dalam bentuk kulit
telur/kerabang, maka yang terpenting untuk kualitas telur ditentukan dari sudut
internal, yaitu dari komposisi gizinya. Komposisi gizi ini tentu saja dipengaruhi oleh makanan yang diberikan pada unggas. Faktor eksternalnya berupa bakteri perusak yang berusaha untuk masuk ke dalam telur melalui pori-pori pada kerabang telur.
Secara interbal memang kualitas telur ditentukan oleh kandungan gizinya dan struktur fisik isi telur itu. Telur yang baik dilihat dari struktur fisik adalah telur dengan putih telur yang masih kental dan bening. Biasanya putih telur ini masih terbagi atas 2 lapisan yaitu lapisan yang kental didekat kuning telur dan lapisan yang encer dibagian terluar kuning telur. Bila semua lapisan telurnya sudah encer maka kualitas telur itu mulai merosot (Rasyaf, 1996).
Telur sangat tahan terhadap kehilangan isi karena ketahanan kerabang
terhadap penyusupan zat cair atau perbanyakan jasad renik. Telur utuh terdiri atas
beberapa komponen, yaitu air 66 % dan bahan kering 34 % yang tersusun atas
protein 12 %, lemak 10 %, karbohidrat 1 % dan abu 11 %. Kuning telur adalah salah satu komponen yang mengandung nutrisi terbanyak dalam telur. Kuning telur mengandung air sekitar 48 % dan lemak 33 %. Kuning telur juga mengandung vitamin, mineral, pigmen dan kolesterol. Putih telur terdiri atas protein, terutama lisosin yang memiliki kemampuan anti bakteri untuk membantu mengurangi kerusakan telur (Akoso, 1993).
Kerabang telur atau egg shell mempunyai dua lapisan yaitu spongy layer dan mamillary layer yang terbungkus oleh lapisan lendir berupa kutikula. Lapisan luar terbentuk dari kalsium, phosphor dan vitamin D yang merupakan lapisan paling keras yang berfungsi melindungi semua bagian telur. Tebal tipisnya kerabang telur tergantung pada jumlah kalsium yang terdapat pada pakan. (Stadellman et al., 1995).
Putih telur atau albumen mempunyai proporsi yang tinggi dalam komposisi telur mencapai 60 % dari total berat telur. Persentasi putih telur pada ayam petelur bervariasi secara keseluruhan tergantung dari strain, umur ayam dan umur dari telur (Stadellman, 1995).
Kuning telur merupakan bagian yang paling penting bagi isi telur,sebab pada bagian inilah terdapat dan tempat tumbuh embrio hewan, khususnya pada telur yang telah dibuahi. Bagian kuning telur ini terbungkus semacam selaput tipis yang sangat kuat dan elastis yang disebut membrane vetelina. Kuning telur memiliki komposisi gizi yang lebih lengkap daripada putih telur dan terdiri dari air, lemak, karbohidrat, mineral dan vitamin .(Stadellman, 1995).
Kualitas fisik telur juga ditentukan oleh kuning telur, warna kuning telur
tersebut disebabkan karena adanya kandungan xantofil pakan yang diabsorpsi dan
disimpan dalan kuning telur (Stadellman et al., 1995). Lebih lanjut dikemukakan oleh Nesheim et al. (1979), bahwa kuning telur merupakan bagian telur terpenting karena didalamnya terdapat sel benih. Kuning telur tersusun oleh lapisan konsentris terang dan gelap yang disebabkan karena perbedaan xantofil pakan dan periode siang dan malam.
Kualitas telur ditentukan oleh dua faktor, yakni kualitas luarnya berupa kulitcangkang dan isi telur. Kualitas luar ini bisa berupa bentuk, warna, tekstur, keutuhan, dan kebersihan kulit cangkang. Sedangkan yang berkaitan dengan isi telur meliputi kekentalan putih telur, warna dan posisi telur, serta ada tidaknya noda-noda pada putih dan kuning telur. Dalam kondisi baru, kualitas telur tidak banyak mempengaruhi kualitas bagian dalamnya. Jika telur tersebut dikonsumsi langsung, kualitas telur bagian luar tidak menjadi masalah. Tetapi jika telur tersebut akan disimpan atau diawetkan, maka kualitas kulit telur yang rendah sangat berpengaruh terhadap awetnya telur. Kualitas isi telur tanpa perlakuan khusus tidak dapat dipertahankan dalam waktu yang lama. Dalam suhu yang tidak sesuai, telur akan mengalami kerusakan setelah disimpan lebih dari dua minggu. Kerusakan ini biasanya ditandai dengan kocaknya isi telur dan bila dipecah isinya tidak mengumpul lagi (Anonima,2009)
Dari beberapa penelitian yang dilakukan para ahli, misalnya Haryoto (1996), Muhammad Rasyaf (1991), dan Antonius Riyanto (2001), menyatakan bahwa kerusakan isi telur disebabkan adanya CO2 yang terkandung di dalamnya sudah banyak yang keluar, sehingga derajat keasaman meningkat. Penguapan yang terjadi juga membuat bobot telur menyusut, dan putih telur menjadi lebih encer. Masuknya mikroba ke dalam telur melalui pori-pori kulit telur juga akan merusak isi telur. Telur segar yang baik ditandai oleh bentuk kulitnya yang bagus, cukup tebal, tidak cacat (retak), warnanya bersih, rongga udara dalam telur kecil, posisi kuning telur di tengah-tengah, dan tidak terdapat bercak atau noda darah.(Anonimb,2009)
Pemindangan merupakan salah satu bentuk pengolahan dengan kombinasi
penggaraman dan perebusan.Pemindangan dapat di lakukan dari bahan baku ikan atau telur. Pemindangan ikan hanya umum di lakukan di daerah pantai sedangkan
pemindangan telur dapat di lakukan di berbagai tempat.Telur pindang merupakan
produk olahan telur tradisional yang menggunakan bahan penyamak protein.Protein akan terdenaturasi jika kontak dengan bahan penyamak,misalnya tanin.Bahan-bahan yang dapat di gunakan untuk menyamak telur antara lain kulit bawang merah,daun jambu biji dan air teh.Pemindangan telur dapat menyebabkan telur rebus tersebut sedikit lebih awet dari pada perebusan telur dalam air biasa.Pada proses pemindangan telur di gunakan daun jambu biji atau kulit bawang merah yang menyebabkan warna kulit telur menjadi kecoklatan dan akan memberikan cita rasa yang khas.selain itu jambu biji di duga mengandung tanin yang bersifat menyamak kulit telur sehingga memperpanjang umur simpan telur.Tanin tersebut akan menyebabkan protein yang ada di permukaan kulit telur menggumpal dan menutupi pori-pori telur,sehingga telur menjadi lebih awet karena kerusakan telur dapat di hambat. (Teknologi pangan dan
Gizi IPB).
Secara alamiah bangsa unggas yang salah satunya adalah ayam, akan mengerami telur telurnya bila sudah dirasa cukup baginya sebagai bagian dari memperbanyak keturunannya (species nya). Mesin tetas tentunya memang diciptakan untuk mengambil alih tugas mengerami dari se-ekor induk ayam (atau bangsa unggas lainnya) dalam mengerami telur telur yang dibuahi dari hasil persilangan atau perkawinan dengan pejantan. Mesin tetas tentunya memang diciptakan untuk mengambil alih tugas mengerami dari se-ekor induk ayam (atau bangsa unggas lainnya) dalam mengerami telur telur yang dibuahi dari hasil persilangan atau perkawinan dengan pejantan (Anonym, 2010).
(Anonym, 2010). Adapun macam-macam dari mesin tetas adalah sebagai berikut :
1. Alat tetas dengan teknologi sekam dan sumber panas matahari
2. Mesin tetas Listrik dengan lampu bohlam sebagai alat pemanasnya
3. Mesin tetas dengan menggunakan lampu minyak
4.Mesin tetas dengan kawat nekelin
5. Mesin tetas dengan kombinasi beberapa hal diatas
6. Mesin tetas otomatis
Anonym (2010). mengatakan Untuk mendapatkan telur telur yang bagus untuk di tetaskan harus di yakini bahwa telur- telur tersebut berasal dari induk induk ayam yang memenuhi syarat sebagai induk yang baik seperti:
1. Telah di Vaksinasi secara lengkap
2. Sehat
3. Mempunyai postur dan bentuk badan yang baik
4. Berasal dari galur murni
Secara garis besar incubator hanya dikelompokkan menjadi 2 tipe dasar yaitu tipe forced air (dengan sirkulasi udara) dan still air (tanpa sirkulasi udara). Di Indonesia (Jakarta) di temukan tipe still air yang banyak dijual di dengan kapasitas mulai dengan 40, 100, 200 butir telur, walau pada prakteknya yang berkemampuan 100 butir hanya bisa dipakai untuk menetaskan 70 butir agar ada cukup ruang, tidak terlalu padat dan baik daya tetasnya. Jenis ini membutuhkan banyak penanganan dalam pemutaran telur yang biasanya dilakukan sedikitnya 3 kali sehari secara satu persatu dan dengan cara membuka tutup incubatornya. Suhu penetasannya selalu dibuat 2° sampai 3°F lebih tinggi dari type forced air atau sekitar 102° sampai 103°F. Hal ini karena panas untuk penetasan dirambatkan melalui udara dari bohlam lampu diatasnya (Anonym, 2010).
Ventilasi yang cukup adalah penting untuk diperhatikan mengingat didalam telur ada embrio yang juga bernafas dalam perkembangannya dan memerlukan O2 dan membuang CO2. Dalam operasi mesin penetas, lebar lubang bukaan ventilasi harus diatur agar cukup ada sirkulasi udara dan dengan memperhatikan penurunan tingkat kelembaban udaranya.
Pada incubator tipe still-air, buatan Cemani maka bukaan ventilasi ada di bagian atasnya yang dapat diatur untuk mengeluarkan udara bersamaan degan pergerakan udara panas yang ada didalamnya sedangkan sirkulasi udara masuk sudah cukup dari lubang lubang yang ada dibagian bawah dan samping incubator tersebut.
Pada incubator jenis forced-air incubator, jika terjadi lampu mati atau PLN off maka ventilasi harus dibuka lebih lebar dan bila perlu sesekali di buka pintunya agar terjadi pertukaran udara segar dan tetap diusahakan suhu ruangan berada pada kisaran 75°F atau lebih. Sedangkan pada incubator tipe still-air ventilasi dibiarkan terbuka ¼ atau ½ (tidak berubah atau lebih ditutup) agar panas dan kelembaban tidak terlalu terpengaruh (Anonym, 2010).
Standart untuk suhu dalam incubator “penetasan” tipe forced air adalah 100°F. untuk jenis forced-air incubators dan 102°F. untuk type still-air incubators. Suhu pada incubator penetas (hatching) di set 1°F lebih rendah dibandingkan dengan incubator “pengeram” selama 3 hari sebelum penetasan. Sedangkan untuk tipe still air, posisi termometer adalah sejajar atau rata dengan tinggi bagian atas telur atau sekitar 5 cm dari dasar telur. Termometer haruslah tidak diletakkan diatas telur atau diluar bidang penetasan tetapi bersebelahan dengannya. Selain itu, mesin incubator juga harus tertutup rapat untuk menghindari hilang panas atau kelembaban udaranya.
Fluktuasi temperatur sebanyak 1 derajat atau kurang tidak menjadi masalah tetapi pengontrolan Temperature secara berkala amat diperlukan untuk menjaga agar suhu tidak ketinggian atau kerendahan dari standart tersebut. Sebagai catatan : suhu sekitar 105°F. untuk 30 menit dapat mematikan embrio didalam telur sedangkan suhu penetasan pada 90°F untuk 3 sampai 4 jam akan memperlambat perkembangan embrio didalam telur (Anonym, 2010).
Pengontrolan kelembaban udara harus dilakukan dengan hati hati. Hal ini diperlukan untuk menjaga hilangnya air dari dalam telur secara berlebihan. Pengukuran dapat dilakukan dengan hygrometer atau psychrometer. Psychrometer atau termometer bola basah (wet bulb) menunjukkan derajat kelembaban udara.
Kelembaban relatif (relatif humidity) untuk mesin incubator “penetas” atau periode 18 hari pertama harus dijaga pada 50 – 55 % atau 83.3°F – 85.3°F dengan wet bulb. Dan 3 hari setelahnya (21 hari dikurangi 3 hari) atau pada hari ke 19 – 21 sebelum penetasan, kelembaban udara harus dinaikkan menjadi 60°F - 65°F atau 87.3°F - 89°F.
Pada saat 3 hari menjelang penetasan dapat dikatakan kita harus lepas tangan “hand-off” karena pada saat ini tidak diperlukan campur tangan manusia sama sekali selain menunggu proses penetasan berjalan sampai selesai dengan sendirinya. Incubator tidak boleh dibuka karena dapat menyebabkan kehilangan kelembaban udara yang amat diperlukan dalam penetasan. Kehilangan kelembaban dapat mencegah keringnya membran pada kulit telur pada saat penetasan (hatching).
Kelembaban yang rendah menyebkan anak ayam sulit memecah kulit telur karena lapisannya menjadi keras dan berakibat anak ayam melekat / lengket di selaput bagian dalam telur dan mati. Akan tetapi kelembaban yang terlalu tinggi dapat menyebabkan anak ayam didalam telur juga sulit untuk memecah kulit telur atau kalaupun kulit telur dapat dipecahkan maka anak ayam tetap berada didalam telur dan dapat mati tenggelam dalam cairan dalam telur itu sendiri.
Pada incubator penetas “hatching”, kelembaban udara bisa diatur dengan memberikan nampan berisi air dan bila perlu ditambahkan busa / sponse untuk meningkatkan kelembaban udara. Sedangkan pada tipe still-air maka menaikkan kelembaban dengan cara menambah nampan air dibawah tempat penetasan atau pada prinsipnya, menaikkan kelembaban dapat dicapai dengan menambah penampang permukaan airnya.
Adapun cara yang sempurna untuk menentukan kelembaban udara adalah dengan memperhatikan ukuran kantong udara didalam telur bagian atas atau bagian tumpulnya seperti gambar dibawah ini dengan menggunakan teropong telur. Kelembaban dapat diatur setelah peneropongan telur pada hari ke 7, 14, dan 18 pada masa penetasan (Anonym, 2010).
Pemeriksaan fertilitas telur adalah suatu hal yang perlu dilakukan. Hal ini terutama diperlukan untuk menentukan jumlah telur yang fertile untuk terus ditetaskan sedangkan yang tidak fertile atau tidak bertunas harus disingkirkan karena tidak berguna dalam proses penetasan dan bahkan Cuma buang buang tenaga dan tempat saja. Padahal tempat yang ada dapat dimanfaatkan untuk telur telur fertile yang lain atau yang baru akan ditetaskan.
Tes fertilitas semacam ini tidak akan mempengaruhi perkembangan embrio telur, malah sebaliknya kita akan tahu seberapa normal perkembangan embrio didalam telur tersebut telah berkembang atau bertunas. Tatapi tetap sebagai hal yang terpenting dalam proses ini adalah mengetahui seberapa banyak telur yang fertile dan dapat menentukan langkah langkah yang diperlukan untuk telur yang tidak fertile terutama jika telur telur tersebut diberikan coretan / tulisan mengenai asal telur dan tanggal di telurkan oleh sang ayam maupun informasi asal kandangnya.
Ada beberapa istilah untuk alat melihat fertilitas telur disebut teropong telur atau tester atau candler. Alat ini mudah dibuat dengan cara menempatkan bohlam lampu dalam sebuah kotak atau silender yang dapat terbuat dari segala macam jenis baik kayu ataupun pralon 3 inch seperti pada gambar.
Cara membuatnya adalah dengan memotong pralon 3 inch sepanjang 20 cm dan menutup kedua ujungnya dengan kayu yang dibuat melingkar mengikuti pralon dan kemudian di mur. Bagian dalam diberikan fitting lampu dan sebuah bohlam lampu yang cukup terang (missal : 40 watt) dan satu ujung bagian atasnya pada bagian tengahnya diberikan lubang sebesar 2/5 besar diameter telur rata rata atau sekitar 2 cm.
Penggunaannya adalah dengan menyalakan bohlam lampu dan melalui lubang yang ada (pada bagian atasnya) diletakkan telur yang akan dilihat dengan cara menempelkan bagian bawah telur (bagian yang lebih tajam dari telur) ke lubang dan melihat perkembangan yang ada di dalam telur. Cara yang paling baik adalah dengan menggunakan alat ini pada ruangan yang gelap sehingga bagian dalam telur yang terkena bias cahaya lampu dapat lebih jelas terlihat.
Telur biasanya di test setelah 5 – 7 hari setelah di tempatkan dalam incubator. Telur dengan kulit yang putih seperti telur ayam kampung akan lebih mudah dilihat daripada telur negri atau yang warna kulitnya cokalat atau warna lainnya.
Pada saat test fertilitas, maka hanya telur yang ada bintik hitam dan jalur jalur darah yang halus yang akan terus di tetaskan. Tetapi singkirkan telur telur yang ada pita darahnya, tidak ada perubahan (tetap tidak ada perkembangan), ada blok kehitaman karena mati atau seperti contoh pada gambar berikut:
Apabila karena kurang pengalaman atau karena ragu ragu seperti missal menurut pengalaman kami perkembangan embrio kadang tidak terlihat jelas di bagian pinggir telur karena perkembangannya ada di tengah telur. Keadaan ini akan tampak seakan akan telur tidak berkembang tetpi nyatanya berkembang dengan baik.
Dalam kasus tersebut maka hal yang bijaksana adalah dengan mengembalikan telur telur tersebut kedalam incubator dan test kembali pada hari ke 10 atau 14 misalnya. Jika ternyata berkembang maka telur terus di tetaskan tetapi bila tidak maka harus dibuang.
Sanitasi atau pembersihan terhadap telur dan peralatan penetasan dapat menggunakan sistim fumigasi. Fumigasi dngan tingkat yang rendah tidak akan membunuh bakteri dan bibit penyakit tetapi fumigasi yang terlalu tinggi dapat mebunuh embrio didalam telur. Maka amatlah di haruskan untuk memakai ukuran yang tepat terhadap bahan kimia yang akan digunakan dalam melakukan fumigasi.
Dalam melakukan fumigasi, sebuah ruangan yang cukup atau lemari yang besar diperlukan untuk menampung semua telur telur yang akan di tetaskan dan ruangan atau tempat tersebut juga dilengkapi dengan kipas angin untuk sirkulasi udara didalamnya.
Susun telur telur yang ada didalam ruangan atau lemari dengan rak rak dari bahan berlubang lubang (seperti kawat nyamuk atau kasa) sehingga udara dapat bergerak bebas diantaranya. Bahan kimia yang biasa dipakai untuk fumigasi adalah gas Formaldehyde yang di hasilkan dari campuran 0.6 gram potassium permanganate (KmnO4) dengan 1.2 cc formalin (37.5 percent formaldehyde) untuk setiap kaki kubik ruangan yang dipakai. Buat campuran bahan bahan tersebut pada tempat terpisah sebanyak setidaknya 10 kali dari volume total ruangan atau lemari.
Sirkulasikan gas tersebut di dalam ruangan atau lemari selama 20 menit dan kemudian keluarkan / buang gas nya. Suhu yang diperlukan selama fumigasi adalah diatas 70°F. Selanjutnya biarkan telur telur tersebut di udara terbuka selama beberapa jam sebelum menempatkannya di dalam mesin incubator (Anonym, 2010).
Awal perkembangan embrio ayam menunjukkan bahwa splanknopleura dan somatopleura meluap keluar dari tubuh embrio hingga di atas yolk. Daerah luar tubuh embrio dinamakan daerah ekstra embrio. Mula-mula tubuh embrio tidak mempunyai batas sehingga lapisan-lapisan ekstra embrio dan intra embrio saling berkelanjutan. Dengan terbentuknya tubuh embrio, secara berurutan terbentuk lipatan-lipatan tubuh sehingga tubuh embriohampir terpisah dari yolk. Adanya lipatan-lipatan tubuh, maka batas antara daerah intra dan ekstra embrio menjadi semakin jelas. Daerah kepala embrio mengalami pelipatan yang disebut dengan lipatan kepala dan meisahkan antara bagian intra dan ekstra embrio. Lipatan kepala membentuk sub sephal. Pada bagian lateral tubuh juga terbentuk lipatan tubuh lateral dan memisahkan bagian ekstra dan intra embrio. Bagian posterior mengalami pelipatan dan dukenal dengan nama lipatan ekor membentuk kantung sub kaudal. Lipatan-lipatan tersebut embentuk dinding saluran percernaan primitive. Bagian tengah usus tengah yang menghadap yolk tetap terbuka dan pada daerah ini, dinding kantung yolk berhubungan dengan dinding usus pada kantung yol. Walaupun kantung yolk berhubungan dengan usus melalui tangkai yolk, namun makanan tidak diambil embrio melalui tangkai yolk (Adnan, 2008).
Pembelahan lebih sukar dan terbatas pada suatu keeping pada kutup anima, disini berlangsung pembelahan partial atau meroblastis. Sel-sel yang membelah itu membentuk cangkang bentuk cakram yang disebut sebagai blastodis yang merupakan blastomer sentral yang melepasan diri dari detoplasma di bawahnya dan terbentuk rongga sempit yang merupakan bagian pinggir, blastomer tidak jelas terpisah dari detoplasma dan ia terus menerus e dalam detoplasma (Yatim, 1994).
Proses morfogenetik yang disebut sebagai gastrulasi adalah pengaturan kembali sel-sel blastula secara dramatis. Gastrula berbeda rinciannya dari satu kelompok hewan dengan kelompok hewan yang lainnya, tetapi suatu kumpulan
perubahan seluler yang sama menggerakkan pengaturan spasial embrio ini. Mekanisme seluler yang umum tersebut adalah perubahan-perubahan motilitas sel, perubahan dalam bentuk sel dan perubahan dalam adhesi (penempelan) seluler ke sel lain dan ke molekuler matriks ekstraseluler. Hasil penting dari gastrulasi adalah beberapa sel dekat permukaa blastula berpindah ke lokasi baru yang lebih dalam. Hal ini akan mentransformasi blastula menjadi embrio berlapis tiga yang disebut gastrula (Campbell, 1987).
Menurut anonim (2008), berdasarkan jumlah lapisan embrional, hewan dikelompokkan menjadi:
1. Hewan diploblastik : Memilki 2 lapisan embrional, ectoderm dan endoderm.
2. Hewan triploblastik : Memilki tiga lapisan embrional yakni:
a. Triploblastik aselomata : tak memilki rongga tubuh
b. Triploblastik pseudoselomata : memilki rongga tubuh yang semu.
c. Triploblastik selomata : memiliki rongga tubuh yang sesungguhnya, yaitu basil pelipatan mesoderm.
Blastulasi pada ayam termasuk blastula yang berbentuk pipih atau cakram (diskoblastik) yang mempunyai bagian-bagian sebagai berikut: periblas hipoblas dan juga sentoblas. Gastrulasi pada ayam merupaan proses dari pembentukan stria primitif yang terdiri dari alur dan pematang primitif berupa garis dilinea mediana, Stria primitif berbentuk sempurna pada inkubasi telur 18 jam (Sugiyanto, 1996).
Tahap neurula ayam mirip dengan embrio katak yaitu melalui tahap keeping neural, lipatan neural, dan bumbung neural. Organogenesis merupakan proses lanjut setelah terbentuk neurula. Proses ini meliputi pembentukan bakal organ dari lapisan ectoderm, mesoderm dan endoderm. Perkembangan embio ayam pada berbagai umur inkubasi merupakan media yang jelas untuk memperlihatkan organogemesis (Tim Dosen, 2008).
III. METODE PENELITIAN
3.1 Alat dan Bahan
Alat :
1. Sekam
2. Lampu pijar 5 watt
3. Lampu pijar 10 watt
4. Kardus 2 buah
5. Mangkok
Bahan :
1. 12 butir telur ayam kampung yang sudah dibuahi induknya
3.2 Prosedur
1. Dirakit lampu 5 watt dan 10 watt secara terpisah dengan menggunakan kabel dan alat penyambung listrik.
2. Dimasukkan masing-masing lampu pada satu kotak berbeda.
3. Diletakkan 6 butir telur ayam pada masing-masing kotak yang telah diberi lampu dengan besar watt berbeda pada kotak tersebut.
4. Diamati perkembangan embrio ayam dan perbedaannya dengan telur ayam yang lain dengan beda besar watt lampu;
5. Dicatat perbedaan perkembangan embrio ayam tersebut.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Table 1. perbedaan embrio ayam
No Jam ke Perbedaan yang tampak
Lampu 5 watt Lampu 10 watt
1
24 mulai terbentuk sel permulaan untuk jaringan otak, sel permulaan untuk jaringan tulang belakang, formasi hubungan antara jaringan otak dan jaringan syaraf, formasi bagian kepala, sel permulaan untuk darah, dan formasi awal syarafmata. Daerah kepala mengalami perkembangan lebih cepat, terbentuk kantung buntuh,
2
33 embrio mulai bergeser ke sisi kiri, dan saluran darah mulai terlihat pada bagian kuning telur. terjadi penutupan neural fold dan akan terbentuk tabng otak.
3
48 pembentukan formasi pembuluh darah halus danjantung, seluruh jaringan otak mulai terbentuk, selaput cairan mulai terlihat,dan mulai juga terbentuk formasi tenggorokan. embrio mengalami mesenchepalon Badan embrio memutar sepanjang sumbuhnya sehingga bagian kiri nampak diatas kunir.
4
72 dimulainya pembentukan formasi hidung, sayap, kaki, dan jaringanpernafasan. Pada masa ini, selaput cairan juga sudah menutup seluruh bagianembrio. Embrio mengalami pelekukan. Lipatan kepala makin kea rah posterior. ervikal
5
96 sel permulaan untuk lidah mulai terbentuk. Pada masa ini, embrio terpisahseluruhnya dari kuning telur dan berputar ke kiri. Sementara itu, jaringansaluran pernafasan terlihat mulai menembus selaput cairan. Embrio mengalami pelekukan servikal sehingga rhobenchepalon berada disebelah dorsal dan telenchepalon mendekati perkembangan jantung.
4.2 Pembahasan Hasil Penelitian
Pada jam ke-24, mulai terbentuk sel permulaan untuk jaringan otak, sel permulaan untuk jaringan tulang belakang, formasi hubungan antara jaringan otak dan jaringan syaraf, formasi bagian kepala, sel permulaan untuk darah, dan formasi awal syaraf mata.
Pada jam 33, embrio mulai bergeser ke sisi kiri, dan saluran darah mulai terlihat pada bagian kuning telur.
Perkembangan sel dari jam ke-25 sampai jam ke-48 secara berurutan adalah pembentukan formasi pembuluh darah halus dan jantung, seluruh jaringan otak mulai terbentuk, selaput cairan mulai terlihat,dan mulai juga terbentuk formasi tenggorokan.
Lalu pada hari ke-3 dimulainya pembentukan formasi hidung, sayap, kaki, dan jaringanpernafasan. Pada masa ini, selaput cairan juga sudah menutup seluruh bagianembrio.
Selanjutnya pada jam ke-96 sel permulaan untuk lidah mulai terbentuk. Pada masa ini, embrio terpisah seluruhnya dari kuning telur dan berputar ke kiri. Sementara itu, jaringan saluran pernafasan terlihat mulai menembus selaput cairan.
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
Penulis berharap bahwa para pembaca, khususnya para mahasiswa dapat melakukan penelitian untuk membuktikan segala suatu yang belum diketahui untuk menambah ilmu dan wawasan.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan. 2008. Perkembangan Hewan. Makassar: Jurusan Biologi FMIPA UNM.
Anonim. 2008. Pertumbuhan pada Hewan. http://www. Praweda.co.id. Diakses pada tanggal 20 Desember 2010.
Campbell. 1987. Biologi Edisi kelima Jilid 3. Jakarta: Erlangga.
Sugiyanto. 1996. Perkembangan Hewan. Yokyakarta : Fakulatas Biologi UGM.
Tim Dosen UNM. 2008. Penuntun Praktikum Perkembangan Hewan. Makasar : Universitas Negeri Makassar.
Yatim. 1990. Reproduksi dan Embriologi. Bandung : Tarsito .
Anggorodi R., 1984. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta : Gramedia.
Anonim, 2003. Beternak Ayam Petelur. Jakarta : Penebar Swadaya.
Anonim, 2009 Http://smp2talun.wordpress.com/2008/04/25/Pengaruh pemberian minyak terhadap kualitas telur. Diakses pada pada tanggal 20 desember 2010.
Anonym, 2010. penetasan telur dengan mesin tetas. http://www.glory-farm.com/ptetas_mesin/mesin_tetas.htm diakses pada tanggal 20 Desember 2010.
Anonym, 2010. Tips menetaskan telur. http://www.glory-farm.com/ptetas_mesin/tips_tetas. htm di akses pada tanggal 20 Desember 2010.
Bell D.J. and Freeman B.M., 1971. Physiology and Biochemistry of the Domestic Fowl. Volume 3. London New York : Academic Press.
Haryoto. 1996. Pengawetan Telur Segar. Yogyakarta: Kanisius.
James Blakely and David H. Bade, 1985. Ilmu Peternakan. Edisi keempat. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Nalbandov A.V., 1990. Fisiologi Reproduksi pada Mamalia dan Unggas. Edisi ketiga. Jakarta : Universitas Indonesia.
Rasyaf, M., 1990. Pengelolaan Penetasan. Yogyakarta : Kanisius.
Rasyaf, M., 1991. Pengelolaan Produksi Telur. Yogyakarta : Kanisius.
Rasyaf M., 1992. Pengelolaan Peternakan Unggas Pedaging. Yogyakarta : Kanisius.
Riyanto, Antonius. 2001. Sukseskan Menetaskan Telur Ayam. Jakarta : Andromedia Pustaka.
Stadellman, W.J. dan O.J. Cotteril, 1995. Egg Science and Technology. 4th ed. teh Avi Publishing Co. Inc: New York.
Sudaryani dan Samosir, 1997. Mengatasi Permasalahan Beternak Ayam.
Jakarta : Penebar Swadaya.
Suprapti, L., 2002. Pengawetan Telur, Telur Asin, Tepung Telur, dan Telur
Beku. Yogyakarta : kanisius.
LAMPIRAN
Blog ini, dibuat sebagai file draf tugas2 kuliah, skripsi2 teman maupun karangan, hayalan dan tulisanku sendiri...
Senin, 14 Februari 2011
Fragmentasi
I. PEDAHULUAN
A. Latar Belakang
Organisme yang memiliki bentuk tubuh “stream line” adalah cacing pipih air tawar, lazim disebut planaria. Planaria dapat bergerak sangat cepat. Bila melekat pada suatu permukaan di bawah air, planaria mengeluarkan lapisan lendir yang licin di bawah tubuhnya, kemudian menggerakkan tubuhnya dengan cepat ke depan di atas lendir tersebut dengan cara menggerak-gerakkan sejumlah silia yang ada dipermukaan ventral. Bila terapung bebas dalam air, planaria berenang dengan gerakan tubuh yang mengombak. Lokomosi planaria yang efisien ini memungkinkan mereka untuk mencari makan secara aktif.
Suatu organisme dapat hidup, tumbuh dan berkembang biak serta menjaga kelangsungan hidupnya hanya dalam batas-batas kisaran toleransi, dengan kondisi faktor-faktor abiotik dan ketersediaan sumberdaya tertentu saja. Kemampuan berkembangbiak menghasilkan individu baru yang hidup adalah merupakan ciri dasar dari semua tanaman dan hewan-hewan. Planaria berkembang biak dengan cara seksual dan aseksual. Planaria yang sudah dewasa mempunyai sistem reproduksi jantan dan betina, jadi bersifat monoecious (hermafrodit). Testis dan ovarium berkembang dari sel-sel formatif. Reproduksi seksual planaria dilakukan dengan cara dua planaria saling melekat pada sisi ventral-posterior tubuhnya dan terjadi kopulasi (cross fertilisasi), saling pertukaran produk seks antara dua planaria yang berbeda. Planaria melakukan reproduksi seksual setiap tahun di bulan Februari-Maret. Setelah masa reproduksi seksual, alat reproduksi mengalami degenerasi dan planaria kemudian mengalami masa reproduksi aseksual.
Fragmentasi merupakan proses reproduksi aseksual pada planaria, dengan membelah diri secara transversal, masing-masing belahan mengembangkan bagian-bagian yang hilang dan berkembang menjadi satu organisme utuh. Meskipun jumlah individu yang dihasilkan dengan reproduksi aseksual itu sangat besar, tetapi proses ini mempunyai batasan yang serius, yaitu bahwa tiap turunan identik dengan induknya. Sungai merupakan salah satu tempat dimana planaria dapat dijumpai. Planaria umumnya ditemukan dibeberapa tempat di Sungai, khususnya di daerah aliran sungai yang tidak begitu deras, berbatu dan tidak mendapat cahaya matahari langsung serta terlindung oleh tanaman tepi sungai, walaupun tidak di semua tempat terlindung dapat ditemukan planaria. Kemampuan planaria mengembangkan bagian-bagian tubuh yang hilang, hingga terbentuk planaria baru yang lengkap pada reproduksi aseksual, menyebabkan planaria dikatakan mempunyai daya regenerasi yang tinggi. Apabila tubuhnya disayat (dipotong), planaria akan segera memperbaiki bagian tubuhnya yang dipotong dengan proses epimorfis yaitu perbaikan yang dilakukan dengan cara proliferasi jaringan baru (blastema), di atas jaringan lama sehingga akan terbentuk planaria baru yang sempurna. Fenomena ini menarik untuk diteliti, khususnya mengenai pertumbuhan dan perkembangan planaria setelah dilakukan regenerasi secara buatan, yaitu dengan sayatan melintang, memanjang dan miring planaria. Pengamatan terhadap planaria yang dipotong ini dilakukan hingga tumbuh kuncup pada bagian yang hilang dan berkembang menjadi planaria baru yang lengkap.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
Apa yang dimaksud dengan regenerasi ?
Bagaimanakah pertumbuhan dan perkembangan planaria yang diperlakukan dengan regenerasi dengan dipotongnya ekor cacing planaria ?
Tuliskan proses dan tahap perkembangan/pertumbuhan planaria ?
1.3 Hipotesis Penelitian
Untuk memudahkan pengertian dan pemahaman mengenai kajian yang diteliti, maka dijelaskan batasan-batasan istilah sebagai berikut.
Pertumbuhan dan Perkembangan Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, tumbuh berarti timbul (hidup) dan bertambah sempurna dan pertumbuhan adalah keadaan tumbuh. Perkembangan adalah perihal berkembang, menjadi bertambah sempurna.
Pertumbuhan dan perkembangan setiap makhluk hidup tergantung dari pertumbuhan sel dan perbanyakan sel. Pada makhluk hidup multiseluler pembelahan sel sangat penting untuk pertumbuhan makhluk hidup dari muda sampai dewasa. Dalam penelitian ini yang dimaksud pertumbuhan dan perkembangan adalah adanya pembentukan kuncup pada bagian yang hilang dan kuncup kemudian berkembang sempurna hingga terbentuk planaria baru yang lengkap, setelah planaria dipotong secara melintang (anterior), memanjang ( posterior) dan miring (anterior).
Planaria Planaria merupakan organisme dengan tubuh pipih memanjang dan lunak, hidup bebas di perairan tawar yang dingin dan jernih, termasuk Phylum Platyhelminthes, Kelas Turbellaria.
Regenerasi Buatan Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, regenerasi adalah penggantian alat yang rusak atau hilang dengan pembentukan jaringan sel yang baru. Regenerasi dimaksudkan untuk mengganti generasi tua kepada generasi muda atau peremajaan. Kemampuan untuk mengadakan regenerasi bagian-bagian tubuh yang hilang, akibat luka atau yang lainnya, sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan setelah fragmentasi. Regenerasi buatan yang dilakukan terhadap planaria dalam penelitian ini adalah dengan memotong planaria secara melintang (anterior), memanjang (posterior) dan miring (anterior).
1.4 Tujuan Hasil Penelitian
untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan planaria yang diperlakukan regenerasi dipotongnya kuncup planaria.
membuktikan bahwa pada hewan-hewan tertentu, organ baru masih dapat terjadi setelah melewati periode organogenesis, bahkan pada periode-periode dewasa.
Mengamati pembentukan regenerat pada tempat sayatan dan mengikuti perkembangannya hingga mencapai bentuk yang serupa dengan keadaan yang semula.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang proses pertumbuhan dan perkembangan pada bagian yang hilang setelah planaria dipotong melintang, miring dan memanjang.
Menambah pengetahuan mengenai waktu yang dibutuhkan pada proses pertumbuhan dan perkembangan, hingga terbentuk planaria baru yang lengkap.
Sebagai tambahan pengetahuan dan informasi bagi mahasiswa ataupun pihak lain yang berkepentingan.
II TINJAUAN PUSTAKA
A. Biologi Planaria
1. Klasifikasi dan ciri morfologi Menurut Jordan dan Verma (1979) klasifikasi planaria adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Platyhelminthes Class : Turbellaria
Ordo : Tricladida
Sub Ordo : Paludicola
Famili : Planariidae
Genus : Euplanaria
Species : Euplanaria, sp
Planaria tubuhnya pipih, lonjong dan lunak dengan panjang tubuh kira-kira antara 5-25 mm. Bagian anterior (kepala) berbentuk segitiga tumpul, berpigmen gelap kearah belakang, mempunyai 2 titik mata di mid dorsal. Titik mata hanya berfungsi untuk membedakan intensitas cahaya dan belum merupakan alat penglihat yang dapat menghasilkan bayangan (Soemadji, 1994/1995). Lubang mulut berada di ventral tubuh agak kearah ekor, berhubungan dengan pharink (proboscis) berbentuk tubuler dengan dinding berotot, dapat ditarik dan dijulurkan untuk menangkap makanan. Di bagian kepala, yaitu bagian samping kanan dan kiri terdapat tonjolan menyerupai telinga disebut aurikel. Tepat di bawah bagian kepala terdapat tubuh menyempit, menghubungkan bagian badan dan bagian kepala, disebut bagian leher. Di sepanjang tubuh bagian ventral diketemukan zona adesif. Zona adesif menghasilkan lendir liat yang berfungsi untuk melekatkan tubuh planaria ke permukaan benda yang ditempelinya. Di permukaan ventral tubuh planaria ditutupi oleh rambut-rambut getar halus, berfungsi dalam pergerakan (Jasin, 1984).
Morfologi planaria dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 Morfologi planaria (Radiopoetro, 1990).
Gambar 1
Keterangan:
A = anterior 1. titik mata
P = posterior 2. auricula
D = dorsal 3. lubang mulut
V = ventral 4. pharynx
C = caput 5. porus genitalis
2. Sifat-sifat (habitat) Dalam Jasin (1984), planaria biasa disebut dengan istilah Euplanaria atau Dugesia. Planaria hidup bebas di perairan tawar yang jernih, lebih suka pada air yang tidak mengalir. Planaria mempunyai kebiasaan berlindung di tempat-tempat yang teduh, misalnya dibalik batu- batuan, dibawah daun yang jatuh ke air dan lain-lain.
Menurut Radiopoetro (1990) planaria hidup di air tawar dalam danau, sungai dan rawa. Mereka menghindari sinar matahari dengan melekat di bawah permukaan batu atau sepotong kayu. Cacing ini mudah diperoleh dengan cara memasukkan sekerat daging hati ke dalam air sungai atau genangan air selama beberapa saat. Jika di dalam air tersebut ada planaria, maka bila daging itu kemudian diambil akan terbawa juga planaria melekat pada daging hati tersebut. 3. Sistem gerak Dalam Kastawi dkk (2001) dijelaskan, meskipun hidup di air planaria tidak berenang, tetapi bergerak dengan cara meluncur dan merayap. Gerakan meluncur terjadi dengan bantuan silia yang ada pada bagian ventral tubuhnya dan zat lendir yang dihasilkan oleh kelenjar lendir dari bagian tepi tubuh. Zat lendir itu merupakan “jalur” yang akan dilalui. Gerakan silia yang menyentuh jalur lendir menyebabkan hewan bergerak. Selama berjalan meluncur, gelombang yang bersifat teratur tampak bergerak dari kepala ke arah belakang. Pada gerak merayap, tubuh planaria memanjang sebagai akibat dari kontraksi otot sirkular dan dorsoventral. Kemudian bagian depan tubuh mencengkeram pada substrat dengan mukosa atau alat perekat khusus.
4. Nutrisi Makanan planaria adalah hewan-hewan kecil atau zat-zat organik lainnya. Bila planaria dalam keadaan lapar ia akan bergerak secara aktif di 10 dalam air. Makanan tersebut akan ditangkap oleh faringnya untuk selanjutnya dibawa masuk ke dalam mulutnya. Dari bagian mulut makanan akan diteruskan ke bagian usus yang bercabang tiga, satu ke bagian anterior dan dua ke bagian posterior. Disini makanan akan dicerna secara ekstra seluler. Pencernaan selanjutnya dilakukan di dalam sel (intraseluler) dalam vakuola makanan. Hasil pencernaan makanan akan diteruskan pada sel-sel atau jaringan lainnya secara difusi. Sisa-sisa pencernaan makanan akan dikeluarkan kembali melalui mulut (Soemadji. 1994/1995).
5. Respirasi dan ekskresi Menurut Jasin (1984), seperti halnya hewan tingkat rendah lainnya, planaria juga belum mempunyai alat pernafasan khusus. Pengambilan O2 dari lingkungan ekstern berjalan secara osmosis langsung melalui seluruh permukaan tubuh. Dengan adanya kondisi tubuh yang pipih atau tipis semakin memberi kelancaran pertukaran gas tersebut. Sistem ekskresi pada planaria sudah mempunyai alat khusus. Sistem tersebut terdiri dari pembuluh-pembuluh yang bercabang-cabang yang mengadakan anyam-anyaman dan sel-sel yang berbentuk seperti kantung yang disebut sel-api atau “flame-cell”. Pada masing-masing sisi tubuh biasanya terdapat 1 hingga 4 buah pembuluh pengumpul yang membentang longitudinal.
Sistem syaraf Sistem syaraf terdiri dari 2 batang syaraf yang membujur memanjang, di bagian anteriornya berhubungan silang dan 2 ganglia anterior terletak dekat di bawah mata (Brotowidjoyo, 1994).
B. Regenerasi pada Planaria
Menurut Hadikastowo (1982) regenerasi adalah suatu proses pemotongan atau perusakkan bagian tubuh dan kemudian tumbuh lagi mengadakan fragmentasi atau penyembuhan kembali. Regenerasi merupakan proses perkembangbiakan suatu individu dari bagian tubuhnya yang terlepas. Hewan tingkat rendah biasanya mempunyai daya fragmentasi yang tinggi, misal: geranium, hydra, crustaceae, salamander dan planaria
Dalam Newmark & Alvarado (2005), planaria mempunyai kemampuan untuk melakukan regenerasi dengan cara memotong-motong tubuhnya atau dengan pembelahan secara alami. Proses regenerasi tersebut dengan cara menyambung potongan-potongan tubuh dan juga pemisahan pada bagian-bagian tertentu yang disebut sebagai regenerasi blastema. Planaria bila mengalami luka baik secara alami maupun buatan, bagian tubuh manapun yang rusak akan diganti dengan yang baru. Jika tubuh planaria dipotong-potong maka tiap potongan akan dapat tumbuh kembali (regenerasi) menjadi individu baru yang lengkap seperti induknya (Kastawi, dkk. 2003).
Child dalam Radiopoetro (1990) melakukan percobaan dengan planaria, bagian tengah tubuh planaria dipotong dan diperoleh hasil bahwa pada bagian ujung anterior akan terbentuk kepala dan pada bagian posterior akan terbentuk caudanya. Berdasarkan hasil percobaan menunjukkan bahwa potongan bagian anterior regenerasinya lebih cepat dari pada bagian posterior. Planaria yang dipotong melintang menjadi 3 bagian (anterior, tengah dan posterior) dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.
Gambar 2.
Planaria dipotong melintang menjadi 3 bagian yaitu anterior, tengah dan posterior (Jordan & Verma. 1979).
Planaria berkembang biak dengan cara aseksual dan seksual Perkembangbiakkan aseksual terjadi dengan pembelahan secara transversal. Pembelahan terjadi ketika planaria telah mencapai ukuran tubuh maksimum. Saat membelah, bagian posterior tubuh dilekatkan pada substrat secara kuat, kemudian bagian depan tubuh ditarik kearah depan sehingga tubuhnya putus menjadi dua dibelakang pharynx. Sisa tubuh bagian depan akan membentuk bagian ekor yang hilang dan bagian posterior tubuh yang terputus akan membentuk kepala baru (Kastawi, dkk. 2001).
Menurut Radiopoetro (1990) planaria akan membelah diri, jika mendapat cukup makanan. Badan memanjang, kemudian didekat bagian posterior pharynx terjadi penyempitan dan meregang, sehingga akhirnya putus. Potongan bagian anterior bergerak atau pindah dan sesudah kira-kira satu hari terbentuk lagi bagian posteriornya (cauda) dan terbentuklah individu baru. Potongan bagian posterior melingkar dan tidak bergerak. Sesudah beberapa hari akan terbentuk lagi kepala dan pharynx, pada permulaannya sangat kecil tetapi dengan pemberian makan yang cukup akan segera tumbuh sempurna.
Reproduksi aseksual planaria, dengan melakukan kontriksi (penyempitan) bagian posterior dapat dilihat pada Gambar 3. Reproduksi aseksual planaria (Kastawi, dkk. 2001).
Gambar .3
Keterangan :
a. induk;
b. pemanjangan;
c. hewan muda hasil pembelahan Pada perkembangbiakan seksual keberadaan alat reproduksi bersifat sementara.
Alat reproduksi terbentuk selama musim kawin. Sesudah itu alat reproduksi mengalami degenerasi dan planaria menjadi bersifat aseksual dan berkembang biak secara membelah. Reproduksi seksual mengembangkan organ kelamin yang bersifat hermaprodit dan berkembang biak secara seksual setiap tahun sekali pada awal musim panas (Kastawi, dkk. 2003).
Menurut Anonim (2005) musim kawin planaria terjadi pada bulan Februari-Maret.
Menurut Soemadji (1994/1995) bila planaria akan melakukan perkawinan maka dua planaria akan saling menempelkan bagian ujung posteriornya di bagian ventral. Penis dari masing-masing planaria tersebut akan masuk ke dalam genital atrium masing-masing planaria pasangannya dan sperma dari vesikula seminalis pada alat reproduksi jantan akan ditransfer ke dalam reseptakula seminalis pada reproduksi betina. Dengan demikian terjadilah pembuahan internal secara silang. Setelah terjadi pertukaran sperma planaria akan memisah dan sperma pada masing-masing tubuh planaria akan bergerak ke oviduk untuk membuahi telur.
C. Faktor yang Berpengaruh terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Planaria Untuk menghasilkan suatu organisme lengkap, perkembangan normalnya mencakup tumbuh dan diferensiasi yang berlangsung di bawah suatu koordinasi ketat dengan urutan yang tepat. Bila suatu bagian hilang, karena suatu kecelakaan atau karena perlakuan dalam eksperimen, kehilangan akan dikenal dan terjadilah proses-proses perbaikan. Jika hal ini terjadi 15sebelum struktur itu terdiferensiasi, maka akan terjadi pembentukan kembali dari bagian-bagian yang hilang dan disebut regulasi. Diferensiasi adalah proses perubahan yang terjadi pada sel atau jaringan selama perkembangan sehingga dicapai ciri struktural dan fungsional yang khusus (Sudarwati & Sutasurya, 1990).
Setiap hewan hanya dapat hidup, tumbuh dan berkembangbiak dalam suatu lingkungan yang menyediakan kondisi yang cocok baginya. Keberhasilan hidup hewan sangat ditentukan oleh sumberdaya lingkungan dan kondisi lingkungan (Kramadibrata, 1996).
Dalam Anonim (2005) disebutkan bahwa pemberian makanan pada planaria bisa berupa bits kecil dari yolk kuning telur yang masak, hati dan cacing tubifex yang segar dan berbau khas, diberikan beberapa hari sampai satu minggu. Setelah diberi makan, planaria dibiarkan selama 30 menit sampai 1 jam dan selama beregenerasi tidak memberi makan pada planaria. Turbellaria pada umumnya merupakan hewan karnivor, makanannya berupa hewan-hewan kecil (cacing, crustacea, siput dan potongan-potongan hewan mati) (Kastawi, dkk. 2001). Planaria yang diaklimasi untuk merespon rangsangannya, hanya bisa ditempatkan pada mata air atau kolam, bukan air suling atau air leding. Air suling tidak mengandung mineral dan nutrisi yang dibutuhkan planaria, sedang air leding didalamnya mengandung klorin dan florida yang bisa menyebabkan kematian pada planaria (Anonim, 2005).
Menurut Sudarwati & Sutasurya (1990) regenerasi dapat terjadi lewat adanya kumpulan sel-sel yang belum terdiferensiasi pada suatu luka, disebut blastema yang kemudian akan berproliferasi dan secara progresif berdiferensiasi membentuk bagian-bagian yang hilang. Blastema dapat berasal dari sel-sel pada permukaan luka atau dapat pula berasal dari sel-sel cadangan khusus, misalnya neoblast yang bermigrasi ke tempat luka. Bila planaria dipotong, neoblast akan tampak terhimpun pada permukaan luka sehingga terbentuk suatu blastema yang kemudian akan berproliferasi dan berdiferensiasi membentuk bagian-bagian yang hilang. Setelah mendapat perlakuan dengan sinar X, regenerasi tidak berlangsung, tetapi daya regenerasi dapat pulih kembali jika dicangkokkan sedikit jaringan yang mengandung neoblast dari planaria yang tidak diradiasi. Selama beregenerasi planaria dapat dipelihara pada temperatur 68-72oF (20-22,2oC), dengan tidak menurunkan suhunya serta tidak menempatkannya pada cahaya yang kuat dan sebaiknya memelihara planaria pada tempat gelap. Planaria sensitif terhadap cahaya kuat, temperatur dan pH, jika kondisi lingkungan diubah ukuran tubuh planaria menjadi lebih kecil dari ukuran semula (Anonim, 2005).
Jenis hewan dari kelas Turbellaria yaitu planaria, merupakan organisme yang hidupnya menempel pada substrat didasar perairan. Organisme lain yang ditemukan di Sungai Semirang antara lain dari kelas Gastropoda, Insecta dan Crustaceae.
III METODE PENELITIAN
3.1 Alat Dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam pnelitian ini adalah buku tulis, label, gelas air mineral/toples, silet dan penggaris. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tiga ekor cacing planaria yang masih utuh anggota tubuhnya.
3.2 Prosedur Kerja
• Di ukur masing-masing cacing planaria yang masih utuh menggunakan penggaris.
• Dibuatlah beberapa macam sayatan pada ekor cacing planaria melintang, tegak lurus dan miring, tempat sayatan kira-kira di tengah ekor (di ukur dari pangkal ekor)
• Cacing tersebut di taruh dalam toples yang telah disiapkan.
• Ukurlah panjang ekor sebelum di sayat ( dari pangkal sampai ujung ekor ).
• Diamati pertumbuhannya selama tujuh hari, dan ukurlah panjang regenerat, setiap hari sampai bentuk/ ukuran ekor lengkap dicapai seperti semula.
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Tabel 1. Data Pengamatan Pertumbuhan dan Perkembangan Planaria Hasil Regenerasi Buatan.
A. Hasil Sayatan Miring (anterior)
No Hari / tanggal Sebelum dan sesudah dipotong
Sebelum 4cm-2cm=2cm
1 Rabu 15-12-2010 2,0 cm
2 Kamis 16-12-2010 2,2 cm
3 Jum’at 17-12-2010 2,8 cm
4 Sabtu 18-12-2010 3,0 cm
5 Minggu 19-12-2010 3,6 cm
6 Senin 20-12-2010 4,0 cm
7 Selasa 21-12=2010 4,5 cm
Tabel 2. B. Hasil Sayatan Melintang (Posterior)
No Hari / tanggal Sebelum dan sesudah dipotong
Sebelum 4,5cm-2cm=2,5cm
1 Rabu 15-12-2010 2,5 cm
2 Kamis 16-12-2010 3,0 cm
3 Jum’át 17-12-2010 4,0 cm
4 Sabtu 18-12-2010 4,5 cm
5 Minggu 19-12-2010 5,0 cm
6 Senin 20-12-2010 Mati
7 Selasa 21-12-2010 Mati
Tabel 3.
C. Hasil Sayatan Memanjang (anterior)
No Hari / tanggal Sebelum dan sesudah disayat
Sebelum 5,5cm-2cm=3,5cm
1 Rabu 15-12-2010 3,5 cm
2 Kamis 16-12-2010 4,2 cm
3 Jum’at 17-12-2010 4,5 cm
4 Sabtu 18-12-2010 5,1 cm
5 Minggu 19-12-2010 5,4 cm
6 Senin 20-12-2010 6,2 cm
7 Selasa 21-12-2010 6,6 cm
4.2 Pembahasan
Regenerasi buatan yang dilakukan terhadap planaria pada penelitian ini adalah memotong melintang planaria (anterior) memotong miring (anterior) memanjang (posterior). Berdasarkan Tabel diatas, pada potongan melintang. Pada potongan melintang , baik anterior, dan posterior mempunyai nilai yang berbeda.
Dalam percobaan ini dengan berbagai variasi potongan, diantaranya jika potongan yang berbentuk segitiga dipotong atau diambil dari bagian lateral badan, umumnya regenerasi kepala pada ujung dalam sedang pembentukan ekor pada tepi lateral. Sepotong potongan membujur dari bagian samping akan regenerasi dengan normal, jika potongan itu tetap lurus. Jika potongan membengkok atau melengkung, maka kepala akan tumbuh pada bagian samping dalam. Jika kepala planaria dibelah akan dapat terbentuk seekor planaria berkepala dua, kemudian jika pembelahan dilanjutkan ke posterior sampai terjadi dua buah belahan, maka tiap belahan akan dapat tumbuh menjadi seekor cacing yang lengkap. Berdasarkan percobaan tersebut, variasi potongan pada planaria dalam bentuk apapun, termasuk dalam penelitian ini yaitu memotong planaria secara melintang, miring dam memanjang, planaria tetap mampu beregenerasi menjadi planaria baru yang lengkap. Pada pemotongan melintang baik anterior maupun posterior mempunyai kemampuan regenerasi yang sama, dalam kategori sedang. Namun, pada potongan melintang, posterior mempunyai kemampuan regenerasi dalam kategori tinggi dengan nilai S = 80%, tetapi anterior (miring/memanjang) kategori sedang dengan nilai S = 60%. Hal ini diduga karena bagian anterior lebih banyak membutuhkan energi untuk aktifitas pergerakan dibanding energi yang tersimpan untuk pertumbuhan dan perkembangan kuncup. Sementara bagian posterior lebih sedikit energi yang dibutuhkan untuk pergerakan dan lebih banyak energi yang tersimpan untuk pertumbuhan dan perkembangan kuncup. Setelah planaria dipotong bagian anterior lebih banyak dan lebih cepat bergerak normal kembali, sedang pada bagian posterior akan melingkar dan tidak bergerak, setelah beberapa saat barulah bergerak normal kembali.
Metabolisme tubuh bagian anterior lebih tinggi dari metabolisme tubuh bagian posterior. Pada pengamatan tiga hari setelah diregenerasi, potongan-potongan tubuh planaria telah mulai membentuk kuncup pada bagian yang hilang dengan panjang sekitar 2,0cm, 2,2cm, 2,8cm, 3,0cm, 3,6cm, 4,0cm, dan hari selanjutnya 4,5cm, Hal ini diduga karena kebutuhan makanannya hanya mengandalkan pada mineral ataupun nutrisi yang terkandung di dalam air pemeliharaan yang bersumber dari aliran air Sungai. Selama planaria beregenerasi, planaria tidak diberi makan, karena makanan tersebut akan menyisakan kotoran dan mengubah kondisi lingkungan, sedangkan tempat hidup planaria di air yang dingin, segar dan jernih, sehingga dalam penelitian ini planaria dibiarkan beregenerasi tanpa pemberian makanan.
Peningkatan kemampuan regenerasi planaria ditunjukkan dengan kemampuannya untuk tumbuh dan berkembang, ini pun tergantung pada ketersediaan makanan. Binatang yang ketersediaan makanannya cukup akan terus tumbuh sampai ukuran maksimum yang bisa dicapai, sedangkan binatang yang kelaparan akan punah atau mati dalam waktu beberapa bulan karena mereka tidak dapat tumbuh dan berkembang. Namun planaria dapat hidup tanpa makanan dalam waktu yang panjang, dengan cara melarutkan organ reproduksi, parenkim dan ototnya sendiri, sehingga tubuh planaria menyusut. Tubuh yang menyusut akan mengalami regenerasi jika planaria makan kembali. Seperti disajikan pada Tabel 1 pertumbuhan dan perkembangan planaria setelah diregenerasi, untuk melengkapi bagian tubuhnya yang hilang membutuhkan waktu berkisar antara 7-14 hari, waktu rata-rata yang dibutuhkan 9 hari. Terbentuknya bagian anterior dan posterior yang baru membutuhkan 31waktu maksimal 192 jam (8 hari), planaria melengkapi bagian tubuhnya yang hilang menjadi individu yang lengkap, dalam waktu 10 hari setelah pemotongan. Setelah planaria terpisah (diregenerasi) daerah luka secara cepat tertutup oleh suatu lapisan tipis dari sel epidermis, disebut neoblast yang merupakan serabut totipotent yang mengganda dan berfungsi untuk mengobati luka.
Proses penyembuhan luka oleh neoblast pada regenerasi planaria terjadi cukup cepat yaitu kurang dari 15 menit setelah pemotongan.
Proses regenerasi planaria dipaparkan dengan menarik, bagian dewasa yang terpisah dapat berubah dan menjadi satu karakter baru, menjadi organisme yang lengkap / sempurna dan disebut proses embriogenesis.
V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang pertumbuhan dan perkembangan planaria yang diperlakukan dengan regenerasi buatan dapat disimpulkan sebagai berikut.
Pertumbuhan dan perkembangan planaria yang dipotong menjadi 3 bagian, termasuk dalam kategori sedang. Namun pertumbuhan dan perkembangan planaria yang dipotong menjadi 3 bagian, pada bagian anterior termasuk kategori sedang, dan pada bagian posterior termasuk kategori tinggi.
Panjang planaria hasil regenerasi buatan lebih pendek dari panjang semula.
Pertumbuhan dan perkembangan planaria yang diperlakukan dengan regenerasi buatan membutuhkan waktu berkisar antara 7-14 hari.
5.2 Saran
Setelah melakukan penelitian disarankan:
Bagi peneliti lain, mengadakan penelitian lebih lanjut untuk bisa mengetahui dan mengkondisikan planaria beregenerasi optimal, terkait dengan semua faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangannya, setelah diregenerasi secara buatan.
Bagi pihak lain, mengadakan studi yang lebih mendalam tentang planaria untuk menggali segala keunikan organisme ini dan menjadikannya sebagai salah satu media pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Jordan & Verma. 1979. Invertebrata Zoology. New Delhi: Ram Nagar.
Soemadji. 1994/1995. Zoologi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan
Direktorat Jenderal pendidikan Dasar dan Menengah Proyek Peningkatan
Mutu Guru SLTP Setara D-III.
Jasin, M. 1984. Sistematika Hewan (Invertebrata dan vertebrata). Surabaya: Sinar
Wijaya.
Radiopoetra. 1990. Zoologi. Jakarta: Erlangga.
Jasin, M. 1984. Sistematika Hewan (Invertebrata dan vertebrata). Surabaya: Sinar
Wijaya.
Radiopoetra. 1990. Zoologi. Jakarta: Erlangga.
Kastawi, Y; S. E. Indriwati; Ibrohim; Masjhudi & S. E. Rahayu. 2001. Zoologi
Avertebrata. Malang: Jurusan Biologi FMIPA UNM.
Soemadji. 1994/1995. Zoologi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan
Direktorat Jenderal pendidikan Dasar dan Menengah Proyek Peningkatan
Mutu Guru SLTP Setara D-III.
Jasin, M. 1984. Sistematika Hewan (Invertebrata dan vertebrata). Surabaya: Sinar
Wijaya.
Brotowidjoyo, M. D. 1994. Zoologi Dasar. Jakarta: Erlangga.
Hadikastowo. 1982. Zoologi Umum. Bandung: Penerbit Alumni Press.
Newmark, P. A & A. S. Alvarado. 2005. Regeneration in Planaria. Semarang.
http: // rudyct. tripod. com. / sem 2-on / hera-maheswari. htm.
Kastawi dkk .2003. Zoologi Invertebrata. Malang: Jurusan Biologi FMIPA UNM.
Radiopoetra. 1990. Zoologi. Jakarta: Erlangga.
Jordan & Verma. 1979. Invertebrata Zoology. New Delhi: Ram Nagar.
Kastawi, Y; S. E. Indriwati; Ibrohim; Masjhudi & S. E. Rahayu. 2001. Zoologi
Avertebrata. Malang: Jurusan Biologi FMIPA UNM.
Kastawi dkk .2003. Zoologi Invertebrata. Malang: Jurusan Biologi FMIPA UNM.
Anonim. 2005. Invertebrata. Semarang. http: // www. Iptek. Net id / Ind / Cakra-
Invert / invert rdt. Php? Id= 6. 20 April 2005.
Soemadji. 1994/1995. Zoologi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan
Direktorat Jenderal pendidikan Dasar dan Menengah Proyek Peningkatan
Mutu Guru SLTP Setara D-III.
Sudarwati, S & L. A. Sutasurya. 1990. Dasar-Dasar Struktur dan Perkembangan
Hewan.Bandung: Jurusan Biologi FMIPA ITB
Kramadibrata, I. 1996. Ekologi Hewan. Bandung: Jurusan Biologi FMIPA ITB.
Anonim. 2005. Invertebrata. Semarang. http: // www. Iptek. Net id / Ind / Cakra-
Invert / invert rdt. Php? Id= 6. 20 April 2005.
Kastawi, Y; S. E. Indriwati; Ibrohim; Masjhudi & S. E. Rahayu. 2001. Zoologi
Avertebrata. Malang: Jurusan Biologi FMIPA UNM.
Anonim. 2005. Invertebrata. Semarang. http: // www. Iptek. Net id / Ind / Cakra-
Invert / invert rdt. Php? Id= 6. 20 April 2005.
Sudarwati, S & L. A. Sutasurya. 1990. Dasar-Dasar Struktur dan Perkembangan
Hewan.Bandung: Jurusan Biologi FMIPA ITB
Anonim. 2005. Invertebrata. Semarang. http: // www. Iptek. Net id / Ind / Cakra-
Invert / invert rdt. Php? Id= 6. 20 April 2005.
LAMPIRAN
A. MORFOLOGI PLANARIA
B. REGENERASI PLANARIA
A. Latar Belakang
Organisme yang memiliki bentuk tubuh “stream line” adalah cacing pipih air tawar, lazim disebut planaria. Planaria dapat bergerak sangat cepat. Bila melekat pada suatu permukaan di bawah air, planaria mengeluarkan lapisan lendir yang licin di bawah tubuhnya, kemudian menggerakkan tubuhnya dengan cepat ke depan di atas lendir tersebut dengan cara menggerak-gerakkan sejumlah silia yang ada dipermukaan ventral. Bila terapung bebas dalam air, planaria berenang dengan gerakan tubuh yang mengombak. Lokomosi planaria yang efisien ini memungkinkan mereka untuk mencari makan secara aktif.
Suatu organisme dapat hidup, tumbuh dan berkembang biak serta menjaga kelangsungan hidupnya hanya dalam batas-batas kisaran toleransi, dengan kondisi faktor-faktor abiotik dan ketersediaan sumberdaya tertentu saja. Kemampuan berkembangbiak menghasilkan individu baru yang hidup adalah merupakan ciri dasar dari semua tanaman dan hewan-hewan. Planaria berkembang biak dengan cara seksual dan aseksual. Planaria yang sudah dewasa mempunyai sistem reproduksi jantan dan betina, jadi bersifat monoecious (hermafrodit). Testis dan ovarium berkembang dari sel-sel formatif. Reproduksi seksual planaria dilakukan dengan cara dua planaria saling melekat pada sisi ventral-posterior tubuhnya dan terjadi kopulasi (cross fertilisasi), saling pertukaran produk seks antara dua planaria yang berbeda. Planaria melakukan reproduksi seksual setiap tahun di bulan Februari-Maret. Setelah masa reproduksi seksual, alat reproduksi mengalami degenerasi dan planaria kemudian mengalami masa reproduksi aseksual.
Fragmentasi merupakan proses reproduksi aseksual pada planaria, dengan membelah diri secara transversal, masing-masing belahan mengembangkan bagian-bagian yang hilang dan berkembang menjadi satu organisme utuh. Meskipun jumlah individu yang dihasilkan dengan reproduksi aseksual itu sangat besar, tetapi proses ini mempunyai batasan yang serius, yaitu bahwa tiap turunan identik dengan induknya. Sungai merupakan salah satu tempat dimana planaria dapat dijumpai. Planaria umumnya ditemukan dibeberapa tempat di Sungai, khususnya di daerah aliran sungai yang tidak begitu deras, berbatu dan tidak mendapat cahaya matahari langsung serta terlindung oleh tanaman tepi sungai, walaupun tidak di semua tempat terlindung dapat ditemukan planaria. Kemampuan planaria mengembangkan bagian-bagian tubuh yang hilang, hingga terbentuk planaria baru yang lengkap pada reproduksi aseksual, menyebabkan planaria dikatakan mempunyai daya regenerasi yang tinggi. Apabila tubuhnya disayat (dipotong), planaria akan segera memperbaiki bagian tubuhnya yang dipotong dengan proses epimorfis yaitu perbaikan yang dilakukan dengan cara proliferasi jaringan baru (blastema), di atas jaringan lama sehingga akan terbentuk planaria baru yang sempurna. Fenomena ini menarik untuk diteliti, khususnya mengenai pertumbuhan dan perkembangan planaria setelah dilakukan regenerasi secara buatan, yaitu dengan sayatan melintang, memanjang dan miring planaria. Pengamatan terhadap planaria yang dipotong ini dilakukan hingga tumbuh kuncup pada bagian yang hilang dan berkembang menjadi planaria baru yang lengkap.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
Apa yang dimaksud dengan regenerasi ?
Bagaimanakah pertumbuhan dan perkembangan planaria yang diperlakukan dengan regenerasi dengan dipotongnya ekor cacing planaria ?
Tuliskan proses dan tahap perkembangan/pertumbuhan planaria ?
1.3 Hipotesis Penelitian
Untuk memudahkan pengertian dan pemahaman mengenai kajian yang diteliti, maka dijelaskan batasan-batasan istilah sebagai berikut.
Pertumbuhan dan Perkembangan Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, tumbuh berarti timbul (hidup) dan bertambah sempurna dan pertumbuhan adalah keadaan tumbuh. Perkembangan adalah perihal berkembang, menjadi bertambah sempurna.
Pertumbuhan dan perkembangan setiap makhluk hidup tergantung dari pertumbuhan sel dan perbanyakan sel. Pada makhluk hidup multiseluler pembelahan sel sangat penting untuk pertumbuhan makhluk hidup dari muda sampai dewasa. Dalam penelitian ini yang dimaksud pertumbuhan dan perkembangan adalah adanya pembentukan kuncup pada bagian yang hilang dan kuncup kemudian berkembang sempurna hingga terbentuk planaria baru yang lengkap, setelah planaria dipotong secara melintang (anterior), memanjang ( posterior) dan miring (anterior).
Planaria Planaria merupakan organisme dengan tubuh pipih memanjang dan lunak, hidup bebas di perairan tawar yang dingin dan jernih, termasuk Phylum Platyhelminthes, Kelas Turbellaria.
Regenerasi Buatan Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, regenerasi adalah penggantian alat yang rusak atau hilang dengan pembentukan jaringan sel yang baru. Regenerasi dimaksudkan untuk mengganti generasi tua kepada generasi muda atau peremajaan. Kemampuan untuk mengadakan regenerasi bagian-bagian tubuh yang hilang, akibat luka atau yang lainnya, sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan setelah fragmentasi. Regenerasi buatan yang dilakukan terhadap planaria dalam penelitian ini adalah dengan memotong planaria secara melintang (anterior), memanjang (posterior) dan miring (anterior).
1.4 Tujuan Hasil Penelitian
untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan planaria yang diperlakukan regenerasi dipotongnya kuncup planaria.
membuktikan bahwa pada hewan-hewan tertentu, organ baru masih dapat terjadi setelah melewati periode organogenesis, bahkan pada periode-periode dewasa.
Mengamati pembentukan regenerat pada tempat sayatan dan mengikuti perkembangannya hingga mencapai bentuk yang serupa dengan keadaan yang semula.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang proses pertumbuhan dan perkembangan pada bagian yang hilang setelah planaria dipotong melintang, miring dan memanjang.
Menambah pengetahuan mengenai waktu yang dibutuhkan pada proses pertumbuhan dan perkembangan, hingga terbentuk planaria baru yang lengkap.
Sebagai tambahan pengetahuan dan informasi bagi mahasiswa ataupun pihak lain yang berkepentingan.
II TINJAUAN PUSTAKA
A. Biologi Planaria
1. Klasifikasi dan ciri morfologi Menurut Jordan dan Verma (1979) klasifikasi planaria adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Platyhelminthes Class : Turbellaria
Ordo : Tricladida
Sub Ordo : Paludicola
Famili : Planariidae
Genus : Euplanaria
Species : Euplanaria, sp
Planaria tubuhnya pipih, lonjong dan lunak dengan panjang tubuh kira-kira antara 5-25 mm. Bagian anterior (kepala) berbentuk segitiga tumpul, berpigmen gelap kearah belakang, mempunyai 2 titik mata di mid dorsal. Titik mata hanya berfungsi untuk membedakan intensitas cahaya dan belum merupakan alat penglihat yang dapat menghasilkan bayangan (Soemadji, 1994/1995). Lubang mulut berada di ventral tubuh agak kearah ekor, berhubungan dengan pharink (proboscis) berbentuk tubuler dengan dinding berotot, dapat ditarik dan dijulurkan untuk menangkap makanan. Di bagian kepala, yaitu bagian samping kanan dan kiri terdapat tonjolan menyerupai telinga disebut aurikel. Tepat di bawah bagian kepala terdapat tubuh menyempit, menghubungkan bagian badan dan bagian kepala, disebut bagian leher. Di sepanjang tubuh bagian ventral diketemukan zona adesif. Zona adesif menghasilkan lendir liat yang berfungsi untuk melekatkan tubuh planaria ke permukaan benda yang ditempelinya. Di permukaan ventral tubuh planaria ditutupi oleh rambut-rambut getar halus, berfungsi dalam pergerakan (Jasin, 1984).
Morfologi planaria dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 Morfologi planaria (Radiopoetro, 1990).
Gambar 1
Keterangan:
A = anterior 1. titik mata
P = posterior 2. auricula
D = dorsal 3. lubang mulut
V = ventral 4. pharynx
C = caput 5. porus genitalis
2. Sifat-sifat (habitat) Dalam Jasin (1984), planaria biasa disebut dengan istilah Euplanaria atau Dugesia. Planaria hidup bebas di perairan tawar yang jernih, lebih suka pada air yang tidak mengalir. Planaria mempunyai kebiasaan berlindung di tempat-tempat yang teduh, misalnya dibalik batu- batuan, dibawah daun yang jatuh ke air dan lain-lain.
Menurut Radiopoetro (1990) planaria hidup di air tawar dalam danau, sungai dan rawa. Mereka menghindari sinar matahari dengan melekat di bawah permukaan batu atau sepotong kayu. Cacing ini mudah diperoleh dengan cara memasukkan sekerat daging hati ke dalam air sungai atau genangan air selama beberapa saat. Jika di dalam air tersebut ada planaria, maka bila daging itu kemudian diambil akan terbawa juga planaria melekat pada daging hati tersebut. 3. Sistem gerak Dalam Kastawi dkk (2001) dijelaskan, meskipun hidup di air planaria tidak berenang, tetapi bergerak dengan cara meluncur dan merayap. Gerakan meluncur terjadi dengan bantuan silia yang ada pada bagian ventral tubuhnya dan zat lendir yang dihasilkan oleh kelenjar lendir dari bagian tepi tubuh. Zat lendir itu merupakan “jalur” yang akan dilalui. Gerakan silia yang menyentuh jalur lendir menyebabkan hewan bergerak. Selama berjalan meluncur, gelombang yang bersifat teratur tampak bergerak dari kepala ke arah belakang. Pada gerak merayap, tubuh planaria memanjang sebagai akibat dari kontraksi otot sirkular dan dorsoventral. Kemudian bagian depan tubuh mencengkeram pada substrat dengan mukosa atau alat perekat khusus.
4. Nutrisi Makanan planaria adalah hewan-hewan kecil atau zat-zat organik lainnya. Bila planaria dalam keadaan lapar ia akan bergerak secara aktif di 10 dalam air. Makanan tersebut akan ditangkap oleh faringnya untuk selanjutnya dibawa masuk ke dalam mulutnya. Dari bagian mulut makanan akan diteruskan ke bagian usus yang bercabang tiga, satu ke bagian anterior dan dua ke bagian posterior. Disini makanan akan dicerna secara ekstra seluler. Pencernaan selanjutnya dilakukan di dalam sel (intraseluler) dalam vakuola makanan. Hasil pencernaan makanan akan diteruskan pada sel-sel atau jaringan lainnya secara difusi. Sisa-sisa pencernaan makanan akan dikeluarkan kembali melalui mulut (Soemadji. 1994/1995).
5. Respirasi dan ekskresi Menurut Jasin (1984), seperti halnya hewan tingkat rendah lainnya, planaria juga belum mempunyai alat pernafasan khusus. Pengambilan O2 dari lingkungan ekstern berjalan secara osmosis langsung melalui seluruh permukaan tubuh. Dengan adanya kondisi tubuh yang pipih atau tipis semakin memberi kelancaran pertukaran gas tersebut. Sistem ekskresi pada planaria sudah mempunyai alat khusus. Sistem tersebut terdiri dari pembuluh-pembuluh yang bercabang-cabang yang mengadakan anyam-anyaman dan sel-sel yang berbentuk seperti kantung yang disebut sel-api atau “flame-cell”. Pada masing-masing sisi tubuh biasanya terdapat 1 hingga 4 buah pembuluh pengumpul yang membentang longitudinal.
Sistem syaraf Sistem syaraf terdiri dari 2 batang syaraf yang membujur memanjang, di bagian anteriornya berhubungan silang dan 2 ganglia anterior terletak dekat di bawah mata (Brotowidjoyo, 1994).
B. Regenerasi pada Planaria
Menurut Hadikastowo (1982) regenerasi adalah suatu proses pemotongan atau perusakkan bagian tubuh dan kemudian tumbuh lagi mengadakan fragmentasi atau penyembuhan kembali. Regenerasi merupakan proses perkembangbiakan suatu individu dari bagian tubuhnya yang terlepas. Hewan tingkat rendah biasanya mempunyai daya fragmentasi yang tinggi, misal: geranium, hydra, crustaceae, salamander dan planaria
Dalam Newmark & Alvarado (2005), planaria mempunyai kemampuan untuk melakukan regenerasi dengan cara memotong-motong tubuhnya atau dengan pembelahan secara alami. Proses regenerasi tersebut dengan cara menyambung potongan-potongan tubuh dan juga pemisahan pada bagian-bagian tertentu yang disebut sebagai regenerasi blastema. Planaria bila mengalami luka baik secara alami maupun buatan, bagian tubuh manapun yang rusak akan diganti dengan yang baru. Jika tubuh planaria dipotong-potong maka tiap potongan akan dapat tumbuh kembali (regenerasi) menjadi individu baru yang lengkap seperti induknya (Kastawi, dkk. 2003).
Child dalam Radiopoetro (1990) melakukan percobaan dengan planaria, bagian tengah tubuh planaria dipotong dan diperoleh hasil bahwa pada bagian ujung anterior akan terbentuk kepala dan pada bagian posterior akan terbentuk caudanya. Berdasarkan hasil percobaan menunjukkan bahwa potongan bagian anterior regenerasinya lebih cepat dari pada bagian posterior. Planaria yang dipotong melintang menjadi 3 bagian (anterior, tengah dan posterior) dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.
Gambar 2.
Planaria dipotong melintang menjadi 3 bagian yaitu anterior, tengah dan posterior (Jordan & Verma. 1979).
Planaria berkembang biak dengan cara aseksual dan seksual Perkembangbiakkan aseksual terjadi dengan pembelahan secara transversal. Pembelahan terjadi ketika planaria telah mencapai ukuran tubuh maksimum. Saat membelah, bagian posterior tubuh dilekatkan pada substrat secara kuat, kemudian bagian depan tubuh ditarik kearah depan sehingga tubuhnya putus menjadi dua dibelakang pharynx. Sisa tubuh bagian depan akan membentuk bagian ekor yang hilang dan bagian posterior tubuh yang terputus akan membentuk kepala baru (Kastawi, dkk. 2001).
Menurut Radiopoetro (1990) planaria akan membelah diri, jika mendapat cukup makanan. Badan memanjang, kemudian didekat bagian posterior pharynx terjadi penyempitan dan meregang, sehingga akhirnya putus. Potongan bagian anterior bergerak atau pindah dan sesudah kira-kira satu hari terbentuk lagi bagian posteriornya (cauda) dan terbentuklah individu baru. Potongan bagian posterior melingkar dan tidak bergerak. Sesudah beberapa hari akan terbentuk lagi kepala dan pharynx, pada permulaannya sangat kecil tetapi dengan pemberian makan yang cukup akan segera tumbuh sempurna.
Reproduksi aseksual planaria, dengan melakukan kontriksi (penyempitan) bagian posterior dapat dilihat pada Gambar 3. Reproduksi aseksual planaria (Kastawi, dkk. 2001).
Gambar .3
Keterangan :
a. induk;
b. pemanjangan;
c. hewan muda hasil pembelahan Pada perkembangbiakan seksual keberadaan alat reproduksi bersifat sementara.
Alat reproduksi terbentuk selama musim kawin. Sesudah itu alat reproduksi mengalami degenerasi dan planaria menjadi bersifat aseksual dan berkembang biak secara membelah. Reproduksi seksual mengembangkan organ kelamin yang bersifat hermaprodit dan berkembang biak secara seksual setiap tahun sekali pada awal musim panas (Kastawi, dkk. 2003).
Menurut Anonim (2005) musim kawin planaria terjadi pada bulan Februari-Maret.
Menurut Soemadji (1994/1995) bila planaria akan melakukan perkawinan maka dua planaria akan saling menempelkan bagian ujung posteriornya di bagian ventral. Penis dari masing-masing planaria tersebut akan masuk ke dalam genital atrium masing-masing planaria pasangannya dan sperma dari vesikula seminalis pada alat reproduksi jantan akan ditransfer ke dalam reseptakula seminalis pada reproduksi betina. Dengan demikian terjadilah pembuahan internal secara silang. Setelah terjadi pertukaran sperma planaria akan memisah dan sperma pada masing-masing tubuh planaria akan bergerak ke oviduk untuk membuahi telur.
C. Faktor yang Berpengaruh terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Planaria Untuk menghasilkan suatu organisme lengkap, perkembangan normalnya mencakup tumbuh dan diferensiasi yang berlangsung di bawah suatu koordinasi ketat dengan urutan yang tepat. Bila suatu bagian hilang, karena suatu kecelakaan atau karena perlakuan dalam eksperimen, kehilangan akan dikenal dan terjadilah proses-proses perbaikan. Jika hal ini terjadi 15sebelum struktur itu terdiferensiasi, maka akan terjadi pembentukan kembali dari bagian-bagian yang hilang dan disebut regulasi. Diferensiasi adalah proses perubahan yang terjadi pada sel atau jaringan selama perkembangan sehingga dicapai ciri struktural dan fungsional yang khusus (Sudarwati & Sutasurya, 1990).
Setiap hewan hanya dapat hidup, tumbuh dan berkembangbiak dalam suatu lingkungan yang menyediakan kondisi yang cocok baginya. Keberhasilan hidup hewan sangat ditentukan oleh sumberdaya lingkungan dan kondisi lingkungan (Kramadibrata, 1996).
Dalam Anonim (2005) disebutkan bahwa pemberian makanan pada planaria bisa berupa bits kecil dari yolk kuning telur yang masak, hati dan cacing tubifex yang segar dan berbau khas, diberikan beberapa hari sampai satu minggu. Setelah diberi makan, planaria dibiarkan selama 30 menit sampai 1 jam dan selama beregenerasi tidak memberi makan pada planaria. Turbellaria pada umumnya merupakan hewan karnivor, makanannya berupa hewan-hewan kecil (cacing, crustacea, siput dan potongan-potongan hewan mati) (Kastawi, dkk. 2001). Planaria yang diaklimasi untuk merespon rangsangannya, hanya bisa ditempatkan pada mata air atau kolam, bukan air suling atau air leding. Air suling tidak mengandung mineral dan nutrisi yang dibutuhkan planaria, sedang air leding didalamnya mengandung klorin dan florida yang bisa menyebabkan kematian pada planaria (Anonim, 2005).
Menurut Sudarwati & Sutasurya (1990) regenerasi dapat terjadi lewat adanya kumpulan sel-sel yang belum terdiferensiasi pada suatu luka, disebut blastema yang kemudian akan berproliferasi dan secara progresif berdiferensiasi membentuk bagian-bagian yang hilang. Blastema dapat berasal dari sel-sel pada permukaan luka atau dapat pula berasal dari sel-sel cadangan khusus, misalnya neoblast yang bermigrasi ke tempat luka. Bila planaria dipotong, neoblast akan tampak terhimpun pada permukaan luka sehingga terbentuk suatu blastema yang kemudian akan berproliferasi dan berdiferensiasi membentuk bagian-bagian yang hilang. Setelah mendapat perlakuan dengan sinar X, regenerasi tidak berlangsung, tetapi daya regenerasi dapat pulih kembali jika dicangkokkan sedikit jaringan yang mengandung neoblast dari planaria yang tidak diradiasi. Selama beregenerasi planaria dapat dipelihara pada temperatur 68-72oF (20-22,2oC), dengan tidak menurunkan suhunya serta tidak menempatkannya pada cahaya yang kuat dan sebaiknya memelihara planaria pada tempat gelap. Planaria sensitif terhadap cahaya kuat, temperatur dan pH, jika kondisi lingkungan diubah ukuran tubuh planaria menjadi lebih kecil dari ukuran semula (Anonim, 2005).
Jenis hewan dari kelas Turbellaria yaitu planaria, merupakan organisme yang hidupnya menempel pada substrat didasar perairan. Organisme lain yang ditemukan di Sungai Semirang antara lain dari kelas Gastropoda, Insecta dan Crustaceae.
III METODE PENELITIAN
3.1 Alat Dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam pnelitian ini adalah buku tulis, label, gelas air mineral/toples, silet dan penggaris. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tiga ekor cacing planaria yang masih utuh anggota tubuhnya.
3.2 Prosedur Kerja
• Di ukur masing-masing cacing planaria yang masih utuh menggunakan penggaris.
• Dibuatlah beberapa macam sayatan pada ekor cacing planaria melintang, tegak lurus dan miring, tempat sayatan kira-kira di tengah ekor (di ukur dari pangkal ekor)
• Cacing tersebut di taruh dalam toples yang telah disiapkan.
• Ukurlah panjang ekor sebelum di sayat ( dari pangkal sampai ujung ekor ).
• Diamati pertumbuhannya selama tujuh hari, dan ukurlah panjang regenerat, setiap hari sampai bentuk/ ukuran ekor lengkap dicapai seperti semula.
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Tabel 1. Data Pengamatan Pertumbuhan dan Perkembangan Planaria Hasil Regenerasi Buatan.
A. Hasil Sayatan Miring (anterior)
No Hari / tanggal Sebelum dan sesudah dipotong
Sebelum 4cm-2cm=2cm
1 Rabu 15-12-2010 2,0 cm
2 Kamis 16-12-2010 2,2 cm
3 Jum’at 17-12-2010 2,8 cm
4 Sabtu 18-12-2010 3,0 cm
5 Minggu 19-12-2010 3,6 cm
6 Senin 20-12-2010 4,0 cm
7 Selasa 21-12=2010 4,5 cm
Tabel 2. B. Hasil Sayatan Melintang (Posterior)
No Hari / tanggal Sebelum dan sesudah dipotong
Sebelum 4,5cm-2cm=2,5cm
1 Rabu 15-12-2010 2,5 cm
2 Kamis 16-12-2010 3,0 cm
3 Jum’át 17-12-2010 4,0 cm
4 Sabtu 18-12-2010 4,5 cm
5 Minggu 19-12-2010 5,0 cm
6 Senin 20-12-2010 Mati
7 Selasa 21-12-2010 Mati
Tabel 3.
C. Hasil Sayatan Memanjang (anterior)
No Hari / tanggal Sebelum dan sesudah disayat
Sebelum 5,5cm-2cm=3,5cm
1 Rabu 15-12-2010 3,5 cm
2 Kamis 16-12-2010 4,2 cm
3 Jum’at 17-12-2010 4,5 cm
4 Sabtu 18-12-2010 5,1 cm
5 Minggu 19-12-2010 5,4 cm
6 Senin 20-12-2010 6,2 cm
7 Selasa 21-12-2010 6,6 cm
4.2 Pembahasan
Regenerasi buatan yang dilakukan terhadap planaria pada penelitian ini adalah memotong melintang planaria (anterior) memotong miring (anterior) memanjang (posterior). Berdasarkan Tabel diatas, pada potongan melintang. Pada potongan melintang , baik anterior, dan posterior mempunyai nilai yang berbeda.
Dalam percobaan ini dengan berbagai variasi potongan, diantaranya jika potongan yang berbentuk segitiga dipotong atau diambil dari bagian lateral badan, umumnya regenerasi kepala pada ujung dalam sedang pembentukan ekor pada tepi lateral. Sepotong potongan membujur dari bagian samping akan regenerasi dengan normal, jika potongan itu tetap lurus. Jika potongan membengkok atau melengkung, maka kepala akan tumbuh pada bagian samping dalam. Jika kepala planaria dibelah akan dapat terbentuk seekor planaria berkepala dua, kemudian jika pembelahan dilanjutkan ke posterior sampai terjadi dua buah belahan, maka tiap belahan akan dapat tumbuh menjadi seekor cacing yang lengkap. Berdasarkan percobaan tersebut, variasi potongan pada planaria dalam bentuk apapun, termasuk dalam penelitian ini yaitu memotong planaria secara melintang, miring dam memanjang, planaria tetap mampu beregenerasi menjadi planaria baru yang lengkap. Pada pemotongan melintang baik anterior maupun posterior mempunyai kemampuan regenerasi yang sama, dalam kategori sedang. Namun, pada potongan melintang, posterior mempunyai kemampuan regenerasi dalam kategori tinggi dengan nilai S = 80%, tetapi anterior (miring/memanjang) kategori sedang dengan nilai S = 60%. Hal ini diduga karena bagian anterior lebih banyak membutuhkan energi untuk aktifitas pergerakan dibanding energi yang tersimpan untuk pertumbuhan dan perkembangan kuncup. Sementara bagian posterior lebih sedikit energi yang dibutuhkan untuk pergerakan dan lebih banyak energi yang tersimpan untuk pertumbuhan dan perkembangan kuncup. Setelah planaria dipotong bagian anterior lebih banyak dan lebih cepat bergerak normal kembali, sedang pada bagian posterior akan melingkar dan tidak bergerak, setelah beberapa saat barulah bergerak normal kembali.
Metabolisme tubuh bagian anterior lebih tinggi dari metabolisme tubuh bagian posterior. Pada pengamatan tiga hari setelah diregenerasi, potongan-potongan tubuh planaria telah mulai membentuk kuncup pada bagian yang hilang dengan panjang sekitar 2,0cm, 2,2cm, 2,8cm, 3,0cm, 3,6cm, 4,0cm, dan hari selanjutnya 4,5cm, Hal ini diduga karena kebutuhan makanannya hanya mengandalkan pada mineral ataupun nutrisi yang terkandung di dalam air pemeliharaan yang bersumber dari aliran air Sungai. Selama planaria beregenerasi, planaria tidak diberi makan, karena makanan tersebut akan menyisakan kotoran dan mengubah kondisi lingkungan, sedangkan tempat hidup planaria di air yang dingin, segar dan jernih, sehingga dalam penelitian ini planaria dibiarkan beregenerasi tanpa pemberian makanan.
Peningkatan kemampuan regenerasi planaria ditunjukkan dengan kemampuannya untuk tumbuh dan berkembang, ini pun tergantung pada ketersediaan makanan. Binatang yang ketersediaan makanannya cukup akan terus tumbuh sampai ukuran maksimum yang bisa dicapai, sedangkan binatang yang kelaparan akan punah atau mati dalam waktu beberapa bulan karena mereka tidak dapat tumbuh dan berkembang. Namun planaria dapat hidup tanpa makanan dalam waktu yang panjang, dengan cara melarutkan organ reproduksi, parenkim dan ototnya sendiri, sehingga tubuh planaria menyusut. Tubuh yang menyusut akan mengalami regenerasi jika planaria makan kembali. Seperti disajikan pada Tabel 1 pertumbuhan dan perkembangan planaria setelah diregenerasi, untuk melengkapi bagian tubuhnya yang hilang membutuhkan waktu berkisar antara 7-14 hari, waktu rata-rata yang dibutuhkan 9 hari. Terbentuknya bagian anterior dan posterior yang baru membutuhkan 31waktu maksimal 192 jam (8 hari), planaria melengkapi bagian tubuhnya yang hilang menjadi individu yang lengkap, dalam waktu 10 hari setelah pemotongan. Setelah planaria terpisah (diregenerasi) daerah luka secara cepat tertutup oleh suatu lapisan tipis dari sel epidermis, disebut neoblast yang merupakan serabut totipotent yang mengganda dan berfungsi untuk mengobati luka.
Proses penyembuhan luka oleh neoblast pada regenerasi planaria terjadi cukup cepat yaitu kurang dari 15 menit setelah pemotongan.
Proses regenerasi planaria dipaparkan dengan menarik, bagian dewasa yang terpisah dapat berubah dan menjadi satu karakter baru, menjadi organisme yang lengkap / sempurna dan disebut proses embriogenesis.
V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang pertumbuhan dan perkembangan planaria yang diperlakukan dengan regenerasi buatan dapat disimpulkan sebagai berikut.
Pertumbuhan dan perkembangan planaria yang dipotong menjadi 3 bagian, termasuk dalam kategori sedang. Namun pertumbuhan dan perkembangan planaria yang dipotong menjadi 3 bagian, pada bagian anterior termasuk kategori sedang, dan pada bagian posterior termasuk kategori tinggi.
Panjang planaria hasil regenerasi buatan lebih pendek dari panjang semula.
Pertumbuhan dan perkembangan planaria yang diperlakukan dengan regenerasi buatan membutuhkan waktu berkisar antara 7-14 hari.
5.2 Saran
Setelah melakukan penelitian disarankan:
Bagi peneliti lain, mengadakan penelitian lebih lanjut untuk bisa mengetahui dan mengkondisikan planaria beregenerasi optimal, terkait dengan semua faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangannya, setelah diregenerasi secara buatan.
Bagi pihak lain, mengadakan studi yang lebih mendalam tentang planaria untuk menggali segala keunikan organisme ini dan menjadikannya sebagai salah satu media pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Jordan & Verma. 1979. Invertebrata Zoology. New Delhi: Ram Nagar.
Soemadji. 1994/1995. Zoologi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan
Direktorat Jenderal pendidikan Dasar dan Menengah Proyek Peningkatan
Mutu Guru SLTP Setara D-III.
Jasin, M. 1984. Sistematika Hewan (Invertebrata dan vertebrata). Surabaya: Sinar
Wijaya.
Radiopoetra. 1990. Zoologi. Jakarta: Erlangga.
Jasin, M. 1984. Sistematika Hewan (Invertebrata dan vertebrata). Surabaya: Sinar
Wijaya.
Radiopoetra. 1990. Zoologi. Jakarta: Erlangga.
Kastawi, Y; S. E. Indriwati; Ibrohim; Masjhudi & S. E. Rahayu. 2001. Zoologi
Avertebrata. Malang: Jurusan Biologi FMIPA UNM.
Soemadji. 1994/1995. Zoologi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan
Direktorat Jenderal pendidikan Dasar dan Menengah Proyek Peningkatan
Mutu Guru SLTP Setara D-III.
Jasin, M. 1984. Sistematika Hewan (Invertebrata dan vertebrata). Surabaya: Sinar
Wijaya.
Brotowidjoyo, M. D. 1994. Zoologi Dasar. Jakarta: Erlangga.
Hadikastowo. 1982. Zoologi Umum. Bandung: Penerbit Alumni Press.
Newmark, P. A & A. S. Alvarado. 2005. Regeneration in Planaria. Semarang.
http: // rudyct. tripod. com. / sem 2-on / hera-maheswari. htm.
Kastawi dkk .2003. Zoologi Invertebrata. Malang: Jurusan Biologi FMIPA UNM.
Radiopoetra. 1990. Zoologi. Jakarta: Erlangga.
Jordan & Verma. 1979. Invertebrata Zoology. New Delhi: Ram Nagar.
Kastawi, Y; S. E. Indriwati; Ibrohim; Masjhudi & S. E. Rahayu. 2001. Zoologi
Avertebrata. Malang: Jurusan Biologi FMIPA UNM.
Kastawi dkk .2003. Zoologi Invertebrata. Malang: Jurusan Biologi FMIPA UNM.
Anonim. 2005. Invertebrata. Semarang. http: // www. Iptek. Net id / Ind / Cakra-
Invert / invert rdt. Php? Id= 6. 20 April 2005.
Soemadji. 1994/1995. Zoologi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan
Direktorat Jenderal pendidikan Dasar dan Menengah Proyek Peningkatan
Mutu Guru SLTP Setara D-III.
Sudarwati, S & L. A. Sutasurya. 1990. Dasar-Dasar Struktur dan Perkembangan
Hewan.Bandung: Jurusan Biologi FMIPA ITB
Kramadibrata, I. 1996. Ekologi Hewan. Bandung: Jurusan Biologi FMIPA ITB.
Anonim. 2005. Invertebrata. Semarang. http: // www. Iptek. Net id / Ind / Cakra-
Invert / invert rdt. Php? Id= 6. 20 April 2005.
Kastawi, Y; S. E. Indriwati; Ibrohim; Masjhudi & S. E. Rahayu. 2001. Zoologi
Avertebrata. Malang: Jurusan Biologi FMIPA UNM.
Anonim. 2005. Invertebrata. Semarang. http: // www. Iptek. Net id / Ind / Cakra-
Invert / invert rdt. Php? Id= 6. 20 April 2005.
Sudarwati, S & L. A. Sutasurya. 1990. Dasar-Dasar Struktur dan Perkembangan
Hewan.Bandung: Jurusan Biologi FMIPA ITB
Anonim. 2005. Invertebrata. Semarang. http: // www. Iptek. Net id / Ind / Cakra-
Invert / invert rdt. Php? Id= 6. 20 April 2005.
LAMPIRAN
A. MORFOLOGI PLANARIA
B. REGENERASI PLANARIA
REGENERASI PADA CACING TANAH
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap hewan mempunyai kemampuan hidup yang bervariasi antara makhluk yang satu dengan yang lainnya.Salah satu contoh adalah regenerasi dari organ. Regenerasi organ dapat diartikan sebagai kemampuan tubuh suatu organisme untuk menggantikan bagian tubuh yang rusak baik yang disengaja ataupun yang tidak disengaja (karena kecelakaan) dengan bagian tubuh yang baru dengan bentuk yang sama persis dengan sebelumnya.
Daya regenerasi tidak sama pada bagian organisme. Hubungan linier antara kedudukan sistematik hewan dengan daya regenerasinya belum terungkap secara jelas.Kelas avertebrata (diwakili oleh cacing) dan kelas insecta (diwakili oleh kecoa) memiliki daya regenerasi yang rendah, biasanya terbatas pada bagian ekor atau kaki yang lepas atau rusak.
Proses regenerasi yang efektif adalah pada masa embrio hingga masa bayi, setelah dewasa kemampuan regenerasi ini terbatas pada sel atau jaringan tertentu saja. Namun tidak demikian dengan bangsa avertebrata dan reptilia tertentu, kemampuan untuk memperbaiki dirinya sangat menakjubkan hingga dia mencapai dewasa.
Cacing adalah sebagai salah satu contoh dari sekian banyak makhluk hidup yang mempunyai kemampuan dalam regenerasi organ, jika ekor cacing yang diputuskan tersebut akan tergantikan kembali melalui proses regenerasi organ yang memerlukan waktu tertentu dalam proses pembentukannya. Regenerasi adalah proses memperbaiki bagian yang rusak kembali seperti semula. Cacing memiliki daya regenerasi yang terdapat pada ekornya. Daya regenerasi pada berbagai organisme tidak sama karena ada yang rendah sekali dayanya dan ada yang tinggi. Vertebrata paling rendah daya regenerasinya dibandingkan dengan avertebrata. Sub phylum dari vertebrata yang paling tinggi daya regenerasinya adalah urodela. Reptilia daya regenerasinya hanya terbatas pada ekornya saja.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam karya ilmiah ini di utuskan untuk membahas pada permasalahan – permasalahan sebagai berikut :
Apa yang di maksud dengan regenerasi?
Bagai mana proses penyembuhan ekor cacing yang di potong?
Tuliskan tahap- tahap regenerasi?
1.3 Hipotesis penelitian
Pada regenerasi cacing tanah atau pembentukan ekor yang baru, melalui beberapa proses dan tahap-tahap tertentu, cepat dan lambatnya regenerasi pada cacing tanah juga di pengaruhi oleh kesuburan tanah yang di tempati untuk berkembang atau beregenerasi . Jika tanahnya kering dan tidak mengandung air maka pertumbuhan ekornya akan lambat dan bisa-bisa cacing itu akan mati, sebaliknya jika tanahnya subur dan banyak mengandung air maka pertumbuhannya akan semakin cepat.
1.4 Tujuan hasil penelitian
Dapat memahami / mengetahui apa itu regenerasi.
Mengamati pembentukan regenerat pada tempat sayatan dan mengikuti perkembangan nya hingga tercapai bentuk yang serupa dengan keadaan semula.
1.5 Manfaat
Karya ilmiah ini diharapkan semakin menambah wawasan dan informasi pembaca terkait tingkah laku dan adaptasi cacing tanah. Secara tidak langsung juga mengetahui arti penting cacing tanah bagi kelestarian lingkungan dan kesejahtraan manusia.
II TINJAUAN PUSTAKA
Setiap larva dan hewan dewasa mempunyai kemampuan untuk menumbuhkan kembali bagian tubuh mereka yang secara kebetulan hilang atau rusak terpisah.Kemampuan menumbuhkan kembali bagian tubuh yang hilang ini disebut regenerasi.Kemampuan setiap hewan dalam melakukan regenerasi berbeda-beda.Hewan avertebrata mempunyai kemampuan regenerasi yang lebih tinggi daripada hewan vertebrata (Majumdar, 1985).
Menurut Balinsky (1981), suatu organisme khususnya hewan memiliki kemampuan untuk memperbaiki struktur atau jaringan yang mengalami kerusakan akibat kecelakaan yang tidak disengaja karena kondisi natural atau kerusakan yang disengaja oleh manusia untuk keperluan penelitian atau experimen. Hilangnya bagian tubuh yang terjadi ini setiap saat dapat muncul kembali, dan dalam kasus ini proses memperbaiki diri ini kita sebut sebagai regenerasi.
Proses regenerasi dalam banyak hal mirip dengan proses perkembangan embrio. Pembelahan yang cepat, dari sel-sel yang belum khusus timbullah organisasi yang kompleks dari sel-sel khusus. Proses ini melibatkan morfogenesis dan diferensiasi seperti perkembangan embrio akan tetapi paling tidak ada satu cara proses regenerasi yang berbeda dari proses perkembangan embrio. Jika di potong pada bagian ekor cacing .cacingkemudian meregenerasi ekor baru pada tepi lainnya pada waktu senggang. Dalam stadium-stadium permulaan dari regenerasi tidak ada sel-sel dewasa sehingga tidak ada penghambatan pembelahan sel. Sel-sel pada permukaan depan mempunyai laju metabolik yang tinggi daripada permukaan di tepi belakang (Kimball, 1992).
Kemampuan regenerasi dari hewan-hewan yang berbeda dapat dibedakan, hal ini tampak dengan adanya beberapa hubungan antara kompleksitas dengan kemampuan untuk regenerasi.Daya regenerasi Spons hampir sempurna.Regenerasi pada manusia hanya terbatas pada perbaikan organ dan jaringan tertentu.Cacing mempunyai daya regenerasi pada bagian ekor yang putus dengan cukup kokoh.(Kaltroff, 1996).
Bila ada tungkai depan Salamander yang dibuang, proses perbaikan pertama ialah penyembuhan luka dengan cara menumbuhkan kulit di atas luka tersebut kemudian suatu tunas sel-sel yang belum terdiferensiasi terlihat. Tunas ini mempunyai rupa yang mirip dengan tunas anggota tubuh pada embrio yang sedang berkembang. Pembelahan yang cepat dari sel-sel embrio yang belum khusus dari tunas anggota tubuh mungkin berasal dari dediferensiasi sel-sel khusus demikian, sebagai sel-sel otot atau sel-sel tulang rawan. Dediferensiasi berarti bahwa sel-sel ini kehilangan struktur diferensiasinya sebelum berperan dalam tugas regenerasi.Sel-sel dari anggota tubuh yang sedang regenerasi diatur dan berdiferensiasi sekali lagi menjadi otot, tulang, dan jaringan lainnya yang menjadikan kaki fungsional (Kimball, 1992).
Kemampuan hewan untuk meregenerasi bagian-bagian yang hilang sangat bervariasi dari spesies ke spesies.Hewan avertebrata seperti cacing tanah, udang, ikan, salamander dan kadal tidak mempunyai daya regenerasi yang dapat meregenerasi seluruh organisme, melainkan hanya sebagian dari organ atau jaringan organisme tersebut (Kimball, 1992).Tahap dari perkembangan yang menarik perhatian adalah pergantian dari tubuh yang hilang.Tersusun dari regenerasi jumlah struktur baru organisme tersebut (Wilis, 1983).
A. ANNELIDA
Annelida (dalam bahasa latin, annulus= cincin) atau cacing gelang adalah kelompok cacing dengan tubuh bersegmen. Berbeda dengan Platyhelminthes dan Nemathelminthes, Annelida merupakan hewan tripoblastik yang sudah memiliki rongga tubuh sejati (hewan selomata).Namun Annelida merupakan hewan yang struktur tubuhnya paling sederhana (http://gurungeblog.wordpress.com).
Annelida berasal dari bahasa Yunani.Annelida berasal dari kata annulis yang berarti cacing dan oidos berarti bentuk.Jadi, Annelida adalah cacing yang berbentuk cincin. Cacing ini hidup di air tawar, air laut, dan daratan (Karmana,2007.hal:206).
Annelida adalah cacing gelang dengan tubuh yang terdiri atas segmen-segmen dengan berbagai sistem organ tubuh yang baik dengan sistem peredaran darah tertutup.Annelida sebagian besar memiliki dua kelamin sekaligus dalam satu tubuh atau hermafrodit.Contohnya yakni cacing tanah, cacing pasir, cacing kipas, lintah / leeches.
Annelida memiliki panjang tubuh sekitar 1 mm hingga 3 m. Contoh annelida yang panjangnya 3 m adalah cacing tanah Australia.Bentuk tubuhnya simetris bilateral dan bersegmen menyerupai cincin.
Annelida memiliki segmen di bagian luar dan dalam tubuhnya.Antara satu segmen dengan segmen lainya terdapat sekat yang disebut septa.Pembuluh darah, sistem ekskresi, dan sistem saraf di antara satu segmen dengan segmen lainnya saling berhubungan menembus septa.Rongga tubuh Annelida berisi cairan yang berperan dalam pergerakkan annelida dan sekaligus melibatkan kontraksi otot.
Ototnya terdiri dari otot melingkar (sirkuler) dan otot memanjang (longitudinal).Sistem pencernaan annelida sudah lengkap, terdiri dari mulut, faring, esofagus (kerongkongan), usus, dan anus.Cacing ini sudah memiliki pembuluh darah sehingga memiliki sistem peredaran darah tertutup.Darahnya mengandung hemoglobin, sehingga berwarna merah.Pembuluh darah yang melingkari esofagus berfungsi memompa darah ke seluruh tubuh.
Sistem saraf annelida adalah sistem saraf tangga tali. Ganglia otak terletak di depan faring pada anterior. Ekskresi dilakukan oleh organ ekskresi yang terdiri dari nefridia, nefrostom, dan nefrotor.Nefridia (tunggal–nefridium) merupaka organ ekskresi yang terdiri dari saluran. Nefrostom merupakan corong bersilia dalam tubuh.Nefrotor merupakan pori permukaan tubuh tempat kotoran keluar. Terdapat sepasang organ ekskresi tiap segmen tubuhnya.
Sebagian besar annelida hidup dengan bebas dan ada sebagian yang parasit dengan menempel pada vertebrata, termasuk manusia.Habitat annelida umumnya berada di dasar laut dan perairan tawar, dan juga ada yang segaian hidup di tanah atau tempat-tempat lembap. Annelida hidup diberbagai tempat dengan membuat liang sendiri.
Annelida umumnya bereproduksi secara seksual dengan pembantukan gamet.Namun ada juga yang bereproduksi secara fregmentasi, yang kemudian beregenerasi.Organ seksual annelida ada yang menjadi satu dengan individu (hermafrodit) dan ada yang terpisah pada individu lain (gonokoris).
Telah diketemukan 7.000 species yang hidup di air tawar, laut dan tanah.Contoh annelida adalah cacing tanah (Pheretima) cacing ini hidup di tanah, makananya berupa sisa tumbuhan dan hewan.Charles Darwin ahli biologi yang termahsur adalah orang yang pertama kali menyatakan bahwa cacing tanah mempunyai peranan yang penting dalam menggemburkan/menyuburkan tanah.Karena hidup di dalam tanah, cacing ini membuat liang-liang sehingga tanah menjadi berpori dan mudah diolah.Cacing tanah juga mencampur dedaunan dengan tanah, jadi menaikan kandungan humus tanah.
Annelida dibagi menjadi tiga kelas, yaitu Polychaeta (cacing berambut banyak), Oligochaeta (cacing berambut sedikit), dan Hirudinea.
1. Polychaeta
Polychaeta (dalam bahasa yunani, poly=banyak, chaetae=rambut kaku) merupakan annelida berambut banyak. Tubuh Polychaeta dibedakan menjadi daerah kepala (prostomium) dengan mata, antena, dan sensor palpus.
Polychaeta memiliki sepasang struktur seperti dayung yang disebut parapodia (tunggal=parapodium) pada setiap segmen tubuhnya. Fungsi parapodia adalah sebagai alat gerak dan mengandung pembuluh darah halus sehingga dapat berfungsi juga seperti insang untuk bernapas.Setiap parapodium memiliki rambut kaku yang disebut seta yang tersusun dari kitin.
Contoh Polychaeta yang sesil adalah cacing kipas (Sabellastarte indica) yang berwarna cerah. Sedangkan yang bergerak bebas adalah Nereis virens, Marphysa sanguinea, Eunice viridis(cacing palolo), dan Lysidice oele(cacing wawo).
2. Oligochaeta
Oligochaeta (dalam bahasa yunani, oligo=sedikit, chaetae=rambut kaku) yang merupakan annelida berambut sedikit. Oligochaeta tidak memiliki parapodia, namun memiliki seta pada tubuhnya yang bersegmen. Contoh Oligochaeta yang paling terkenal adalah cacing tanah. Jenis cacing tanah antara lain adalah cacing tanah Amerika (Lumbricus terrestris), cacing tanah Asia (Pheretima), cacing merah (Tubifex), dan cacing tanah raksasa Australia (Digaster longmani). Cacing ini memakan oarganisme hidup yang ada di dalam tanah dengan cara menggali tanah. Kemampuannya yang dapat menggali bermanfaat dalam menggemburkan tanah.Manfaat lain dari cacing ini adalah digunakan untuk bahan kosmetik, obat, dan campuran makan berprotein tinggi bagi hewan ternak.
3. Hirudinea
Hirudinea merupakan kelas annelida yang jenisnya sedikit. Hewan ini tidak memiliki arapodium maupun seta pada segmen tubuhnya. Panjang Hirudinea bervariasi dari 1 – 30 cm. Tubuhnya pipih dengan ujung anterior dan posterior yang meruncing. Pada anterior dan posterior terdapat alat pengisap yang digunakan untuk menempel dan bergerak. Sebagian besar Hirudinea adalah hewan ektoparasit pada permukaan tubuh inangnya. Inangnya adalah vertebrata dan termasuk manusia. Hirudinea parasit hidup denga mengisap darah inangnya, sedangkan Hirudinea bebas hidup dengan memangsa invertebrata kecil seperti siput. Contoh Hirudinea parasit adalah Haemadipsa (pacet) dan hirudo (lintah).
III. METODE PENELITIAN
3.1 Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah penggaris, silet dan toples kaca/botol air mineral. Bahan yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah dua ekor cacing yang masih utuh ekornya sebelum di potong.
3.2 Prosedur Kerja
1. Dua cacing dengan ekor utuh di ukur menggunakan penggaris.
2. Dua ekor cacing di sayat ekornya dengan pisau silet secara miring dan tegak lurus, tempat sayatan kira-kira di tengah ekor ( di ukur dari pangkal ekor ).
3. Ukurlah panjang ekor sebelum di sayat ( dari pangkal sampai ujung ekor ).
4. Hewan-hewan tersebut dimasukkan ke dalam toples/botol yang telah di isi tanah.
5. Diamati pertumbuhannya selama tujuh hari, dan ukurlah panjang regenerat, setiap hari sampai bentuk/ ukurang ekor lengkap dicapai seperti semula.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan maka diperoleh hasil pertumbuhan ekor cacing A di potong secara tegak lurus dan B di potong secara miring/ melintang yaitu sebagai berikut :
Hari/ Tgl Caing A Cacing B
Cacing sebulum & sesudah di potong ekor nya. 6 cm – 2 cm = 4 cm 5 cm – 2 cm = 3cm
Senin 0,4 cm 0,2 cm
Selasa 0,9 cm 0,5 cm
Rabu 1,2 cm 0,8 cm
Kamis 1,5 cm 1,1 cm
Jumat 1,7 cm 1,4 cm
Sabtu 1,8 cm 1,6 cm
Minggu 2,0 cm 1,8 cm
Gambar :
Cacing (A) di potong secara tegak lurus
Cacing (B) di poting secara miring/ melintang
4.2. Pembahasan
Ekor cacing memiliki bentuk yang panjang dan lunak yang memungkinkan untuk bisa memendek dan menumpul. Ekor akan mengalami regenerasi bila ekor tersebut putus dalam usaha perlindungan diri dari predator. Regenerasi tersebut diikuti oleh suatu proses, yaitu autotomi. Autotomi adalah proses adaptasi yang khusus membantu hewan melepaskan diri dari serangan musuh. Jadi, autotomi merupakan perwujudan dari mutilasi diri. Cacing jika akan dimangsa oleh predatornya maka akan segera memutuskan ekornya untuk menyelamatkan diri. Ekor yang putus tersebut dapat tumbuh lagi tetapi tidak sama seperti semula (Strorer, 1981).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada cacing dengan memotong ekornya, setelah diamati selama satu minggu( 7 hari ), ternyata bagian ekor yang telah dipotong mengalami pertumbuhan. Ekor yang putus tersebut tumbuh tetapi tidak dapat sama seperti semula.
Pengamatan pada hari pertama ekor cacing (A) yang di potong secara tegak lurus bertambah 0,4cm, hari kedua 0,9cm, hari ke tiga 1,2cm, hari ke empat 1,5, hari ke lima 1,7, pada hari ke enam 1,8 dan pada hari ke tujuh, ekor sudah tumbuh seperti semula.Pertumbuhan ekor cacing yang mengalami regenerasi lebih pendek daripada ekor semula.
Pengamatan pada hari pertama ekor cacing (B) yang di potong secara miring bertambah 0,2cm, hr ke dua 0,5 cm, hari ke tiga 0,8 cm, hari ke empat 1,1 cm, hari ke lima 1,4cm, hari ke enam 1,6 cm dan pada hari ke tujuh 1,8, pertumbuhan ekor yang di potong miring lebih lambat dari yang di potong secara tegak lurus.
Ekor cacing yang dipotong sel epidermisnya menyebar menutupi permukaan luka dan membentuk tudung epidermis apikal.Semua jaringan mengalami diferensiasi dan generasi membentuk sel kerucut yang disebut blastema regenerasi di bawah tudung.Berakhirnya periode proliferasi, sel blastema mengadakan rediferensiasi dan memperbaiki ekornya.Ketika salah satu anggota badan terpotong hanya bagian tersebut yang disuplai darah dan dapat bergenerasi.Hal inilah yang memberi pertimbangan bahwa bagian yang dipotong selalu bagian distal (Kalthoff, 1996).
Proses regenerasi pada reptil berbeda dengan pada hewan golongan amfibi. Regenerasi tidak berasal dari proliferasi atau perbanyakan sel-sel blastema. Regenerasi pada reptil diketahui bahwa ekor yang terbentuk setelah autotomi menghasikan hasil dengan catatan khusus karena baik secara struktur maupun cara regenerasinya berbeda (Balinsky, 1983).
Secara eksperimental pada ekor cacing yang telah dipotong, ternyata hasil regenerasinya tidak sama dengan semula. Pertambahan panjang tidak sama dengan ekor yang dipotong. Ekor baru tidak mengandung notochord dan vertebrae yang baru hanya terdiri dari ruas-ruas tulang rawan atau segmen-segmen.Ruas-ruas ini hanya meliputi batang syaraf (medula spinalis), jumlah segmen itu pun tidak lengkap seperti semula.
Proses perbaikan pertama pada regenerasi ekor cacing adalah penyembuhan luka dengan cara penumbuhan kulit di atas luka tersebut. Kemudian tunas-tunas sel yang belum berdiferensiasi terlihat.Tunas ini menyerupai tunas anggota tubuh pada embrio yang sedang berkembang. Ketika waktu berlalu sel-sel dari anggota tubuh yang sedang regenerasi diatur dan berdiferensiasi sekali lagi menjadi otot, tulang, segmen dan jaringan lajunya yang menjadikan ekor fungsional.
Proses regenerasi ini secara mendasar tidak ada perusakan jaringan otot, akibatnya tidak ada pelepasan sel-sel otot. Sumber utama sel-sel untuk beregenerasi adalah berasal dari ependima dan dari berbagai macam jaringan ikat yang menyusun septum otot, dermis, jaringan lemak, periosteum dan mungkin juga osteosit vertebrae.Sumber sel untuk regenerasi pada reptile berasal dari beberapa sumber yaitu ependima dan berbagai jaringan ikat (Manylov, 1994).
Studi regenerasi mengungkapkan bahwa sel-sel dewasa dari jaringan tertentu yang telah berdiferensiasi misalnya epidermis, mensintesis dan menghasilkan zat yang secara aktif menghambat mitosis-sel-sel muda dari jaringan yang sama, zat ini disebut kolona. Stadium permulaan dari regenerasi tidak ada sel-sel dewasa sehingga tidak ada penghambatan pembelahan sel. Jaringan dari struktur yang mengalami regenerasi berdiferensiasi, mulailah produksi kolona dan agaknya secara berangsur-angsur menghentikan pertunbuhan struktur tersebut. Regenerasi melalui beberapa tahapan, yaitu :
1. Luka akan tertutup oleh darah yang mengalir, lalu membeku membentuk scab yang bersifat sebagai pelindung.
2. Sel epitel bergerak secara amoeboid menyebar di bawah permukaan luka, di bawah scab. Proses ini membutuhkan waktu selama dua hari, dimana pada saat itu luka telah tertutup oleh kulit.
3. Diferensiasi sel-sel jaringan sekitar luka, sehingga menjadi bersifat muda kembali dan pluripotent untuk membentuk berbagai jenis jaringan baru. Matriks tulang dan tulang rawan akan melarut, sel-selnya lepas tersebar di bawah epitel. Serat jaringan ikat juga berdisintegrasi dan semua sel-selnya mengalami diferensiasi.Sehingga dapat dibedakan antara sel tulang, tulang rawan, dan jaringan ikat. Setelah itu sel-sel otot akan berdiferensiasi, serat miofibril hilang, inti membesar dan sitoplasma menyempit.
4. Pembentukan kuncup regenerasi (blastema) pada permukaan bekas luka. Pada saat ini scab mungkin sudah terlepas.Blastema berasal dari penimbunan sel-sel diferensiasi atau sel-sel satelit pengembara yang ada dalam jaringan, terutama di dinding kapiler darah. Pada saatnya nanti, sel-sel pengembara akan berproliferasi membentuk blastema.
5. Proliferasi sel-sel berdiferensiasi secara mitosis, yang terjadi secara serentak dengan proses dediferensiasi dan memuncak pada waktu blastema mempunyai besar yang maksimal dan tidak membesar lagi.
6. Rediferensiasi sel-sel dediferensiasi, serentak dengan berhentinya proliferasi sel-sel blastema tersebut. Sel-sel yang berasal dari parenkim dapat menumbuhkan alat derifat mesodermal, jaringan saraf dan saluran pencernaan. Sehingga bagian yang dipotong akan tumbuh lagi dengan struktur anatomis dan histologis yang serupa dengan asalnya.
Regenerasi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah temperatur, proses biologi dan faktor bahan makanan.Kenaikan dari tempetatur, pada hal-hal tertentu dapat mempercepat regenerasi. Regenerasi menjadi cepat pada suhu 29,7 derajat Celcius. Faktor bahan makanan tidak begitu mempengaruhi proses regenerasi (Morgan, 1989).
Berdasarkan data di atas, ternyata pertumbuhan ekor cacing cukup cepat.
V . PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Proses penyembuhan ekor yang terpotong dimulai dengan terjadinya pembekuan darah disekitar luka yang nantinya akan terbentuk scab.
2. Jaringan epitel kulit yang berada dibawah scab, menyebar menutupi seluruh permukaan luka.
3. Sel-sel disekitar luka bersifat pluripotent, dimana menjadi muda sehingga aktif membelah kembali.
4. Terbentuknya blastema atau kuncup regenerasi yang akan menggantikan scab, kuncup ini berasal dari penimbunan sel-sel yang berdediferensiasi
5. Regenerasi akan berhenti apabila proliferasi sel-sel balastema terhenti juga.
5.2 Saran
Kita harus menjaga kelestarian dan kesuburan tanah di lingkungan kita agar cacing yang hidup di dalamnya bisa berkembang biak dengan sempurna, karena cacing sangat bermanfaat untuk kesuburan tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
Balinsky, B. I. 1981. An Introduction to Embriology. W. B. Saunders Company, Philadelpia.
Kalthoff, Klaus. 1996. Analysis of Biological Development. Mc Graw-Hill Mc, New York.
Karmana, Oman.2007.Cerdas Belajar Biologi kelas XI.Grafindo: bandung.
Kimball, John W. 1992. Biology.Addison-Wesley Publishing Company, Inc., New York.
Kimbal, 1992.Biologi Jilid 2. Erlangga, Jakarta.
Majumdar, N. N. 1985. Text Book of Vertebrae Embriology. Mc Graw-Hill Publishing Company Limited, New Delhi.
Manylov, O.G.1994. Regeneration in Gastrotricha –I Light Microscopical Observation on The Regeneration in Turbanella sp.St.Petersburg State University. Russia.
Tjitrosoepomo. 1984. Biologi Jilid 2. Erlangga, Jakarta.
Willis, S. 1983. Biology. Holt Rinehart & Winston Inc, USA.
Yatim, W. 1982.Reproduksi dan Embriologi. Tarsito, Bandung.
Yatim,W. 1990. Reproduksi dan Embriologi. Tarsito, Bandung.
1.1 Latar Belakang
Setiap hewan mempunyai kemampuan hidup yang bervariasi antara makhluk yang satu dengan yang lainnya.Salah satu contoh adalah regenerasi dari organ. Regenerasi organ dapat diartikan sebagai kemampuan tubuh suatu organisme untuk menggantikan bagian tubuh yang rusak baik yang disengaja ataupun yang tidak disengaja (karena kecelakaan) dengan bagian tubuh yang baru dengan bentuk yang sama persis dengan sebelumnya.
Daya regenerasi tidak sama pada bagian organisme. Hubungan linier antara kedudukan sistematik hewan dengan daya regenerasinya belum terungkap secara jelas.Kelas avertebrata (diwakili oleh cacing) dan kelas insecta (diwakili oleh kecoa) memiliki daya regenerasi yang rendah, biasanya terbatas pada bagian ekor atau kaki yang lepas atau rusak.
Proses regenerasi yang efektif adalah pada masa embrio hingga masa bayi, setelah dewasa kemampuan regenerasi ini terbatas pada sel atau jaringan tertentu saja. Namun tidak demikian dengan bangsa avertebrata dan reptilia tertentu, kemampuan untuk memperbaiki dirinya sangat menakjubkan hingga dia mencapai dewasa.
Cacing adalah sebagai salah satu contoh dari sekian banyak makhluk hidup yang mempunyai kemampuan dalam regenerasi organ, jika ekor cacing yang diputuskan tersebut akan tergantikan kembali melalui proses regenerasi organ yang memerlukan waktu tertentu dalam proses pembentukannya. Regenerasi adalah proses memperbaiki bagian yang rusak kembali seperti semula. Cacing memiliki daya regenerasi yang terdapat pada ekornya. Daya regenerasi pada berbagai organisme tidak sama karena ada yang rendah sekali dayanya dan ada yang tinggi. Vertebrata paling rendah daya regenerasinya dibandingkan dengan avertebrata. Sub phylum dari vertebrata yang paling tinggi daya regenerasinya adalah urodela. Reptilia daya regenerasinya hanya terbatas pada ekornya saja.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam karya ilmiah ini di utuskan untuk membahas pada permasalahan – permasalahan sebagai berikut :
Apa yang di maksud dengan regenerasi?
Bagai mana proses penyembuhan ekor cacing yang di potong?
Tuliskan tahap- tahap regenerasi?
1.3 Hipotesis penelitian
Pada regenerasi cacing tanah atau pembentukan ekor yang baru, melalui beberapa proses dan tahap-tahap tertentu, cepat dan lambatnya regenerasi pada cacing tanah juga di pengaruhi oleh kesuburan tanah yang di tempati untuk berkembang atau beregenerasi . Jika tanahnya kering dan tidak mengandung air maka pertumbuhan ekornya akan lambat dan bisa-bisa cacing itu akan mati, sebaliknya jika tanahnya subur dan banyak mengandung air maka pertumbuhannya akan semakin cepat.
1.4 Tujuan hasil penelitian
Dapat memahami / mengetahui apa itu regenerasi.
Mengamati pembentukan regenerat pada tempat sayatan dan mengikuti perkembangan nya hingga tercapai bentuk yang serupa dengan keadaan semula.
1.5 Manfaat
Karya ilmiah ini diharapkan semakin menambah wawasan dan informasi pembaca terkait tingkah laku dan adaptasi cacing tanah. Secara tidak langsung juga mengetahui arti penting cacing tanah bagi kelestarian lingkungan dan kesejahtraan manusia.
II TINJAUAN PUSTAKA
Setiap larva dan hewan dewasa mempunyai kemampuan untuk menumbuhkan kembali bagian tubuh mereka yang secara kebetulan hilang atau rusak terpisah.Kemampuan menumbuhkan kembali bagian tubuh yang hilang ini disebut regenerasi.Kemampuan setiap hewan dalam melakukan regenerasi berbeda-beda.Hewan avertebrata mempunyai kemampuan regenerasi yang lebih tinggi daripada hewan vertebrata (Majumdar, 1985).
Menurut Balinsky (1981), suatu organisme khususnya hewan memiliki kemampuan untuk memperbaiki struktur atau jaringan yang mengalami kerusakan akibat kecelakaan yang tidak disengaja karena kondisi natural atau kerusakan yang disengaja oleh manusia untuk keperluan penelitian atau experimen. Hilangnya bagian tubuh yang terjadi ini setiap saat dapat muncul kembali, dan dalam kasus ini proses memperbaiki diri ini kita sebut sebagai regenerasi.
Proses regenerasi dalam banyak hal mirip dengan proses perkembangan embrio. Pembelahan yang cepat, dari sel-sel yang belum khusus timbullah organisasi yang kompleks dari sel-sel khusus. Proses ini melibatkan morfogenesis dan diferensiasi seperti perkembangan embrio akan tetapi paling tidak ada satu cara proses regenerasi yang berbeda dari proses perkembangan embrio. Jika di potong pada bagian ekor cacing .cacingkemudian meregenerasi ekor baru pada tepi lainnya pada waktu senggang. Dalam stadium-stadium permulaan dari regenerasi tidak ada sel-sel dewasa sehingga tidak ada penghambatan pembelahan sel. Sel-sel pada permukaan depan mempunyai laju metabolik yang tinggi daripada permukaan di tepi belakang (Kimball, 1992).
Kemampuan regenerasi dari hewan-hewan yang berbeda dapat dibedakan, hal ini tampak dengan adanya beberapa hubungan antara kompleksitas dengan kemampuan untuk regenerasi.Daya regenerasi Spons hampir sempurna.Regenerasi pada manusia hanya terbatas pada perbaikan organ dan jaringan tertentu.Cacing mempunyai daya regenerasi pada bagian ekor yang putus dengan cukup kokoh.(Kaltroff, 1996).
Bila ada tungkai depan Salamander yang dibuang, proses perbaikan pertama ialah penyembuhan luka dengan cara menumbuhkan kulit di atas luka tersebut kemudian suatu tunas sel-sel yang belum terdiferensiasi terlihat. Tunas ini mempunyai rupa yang mirip dengan tunas anggota tubuh pada embrio yang sedang berkembang. Pembelahan yang cepat dari sel-sel embrio yang belum khusus dari tunas anggota tubuh mungkin berasal dari dediferensiasi sel-sel khusus demikian, sebagai sel-sel otot atau sel-sel tulang rawan. Dediferensiasi berarti bahwa sel-sel ini kehilangan struktur diferensiasinya sebelum berperan dalam tugas regenerasi.Sel-sel dari anggota tubuh yang sedang regenerasi diatur dan berdiferensiasi sekali lagi menjadi otot, tulang, dan jaringan lainnya yang menjadikan kaki fungsional (Kimball, 1992).
Kemampuan hewan untuk meregenerasi bagian-bagian yang hilang sangat bervariasi dari spesies ke spesies.Hewan avertebrata seperti cacing tanah, udang, ikan, salamander dan kadal tidak mempunyai daya regenerasi yang dapat meregenerasi seluruh organisme, melainkan hanya sebagian dari organ atau jaringan organisme tersebut (Kimball, 1992).Tahap dari perkembangan yang menarik perhatian adalah pergantian dari tubuh yang hilang.Tersusun dari regenerasi jumlah struktur baru organisme tersebut (Wilis, 1983).
A. ANNELIDA
Annelida (dalam bahasa latin, annulus= cincin) atau cacing gelang adalah kelompok cacing dengan tubuh bersegmen. Berbeda dengan Platyhelminthes dan Nemathelminthes, Annelida merupakan hewan tripoblastik yang sudah memiliki rongga tubuh sejati (hewan selomata).Namun Annelida merupakan hewan yang struktur tubuhnya paling sederhana (http://gurungeblog.wordpress.com).
Annelida berasal dari bahasa Yunani.Annelida berasal dari kata annulis yang berarti cacing dan oidos berarti bentuk.Jadi, Annelida adalah cacing yang berbentuk cincin. Cacing ini hidup di air tawar, air laut, dan daratan (Karmana,2007.hal:206).
Annelida adalah cacing gelang dengan tubuh yang terdiri atas segmen-segmen dengan berbagai sistem organ tubuh yang baik dengan sistem peredaran darah tertutup.Annelida sebagian besar memiliki dua kelamin sekaligus dalam satu tubuh atau hermafrodit.Contohnya yakni cacing tanah, cacing pasir, cacing kipas, lintah / leeches.
Annelida memiliki panjang tubuh sekitar 1 mm hingga 3 m. Contoh annelida yang panjangnya 3 m adalah cacing tanah Australia.Bentuk tubuhnya simetris bilateral dan bersegmen menyerupai cincin.
Annelida memiliki segmen di bagian luar dan dalam tubuhnya.Antara satu segmen dengan segmen lainya terdapat sekat yang disebut septa.Pembuluh darah, sistem ekskresi, dan sistem saraf di antara satu segmen dengan segmen lainnya saling berhubungan menembus septa.Rongga tubuh Annelida berisi cairan yang berperan dalam pergerakkan annelida dan sekaligus melibatkan kontraksi otot.
Ototnya terdiri dari otot melingkar (sirkuler) dan otot memanjang (longitudinal).Sistem pencernaan annelida sudah lengkap, terdiri dari mulut, faring, esofagus (kerongkongan), usus, dan anus.Cacing ini sudah memiliki pembuluh darah sehingga memiliki sistem peredaran darah tertutup.Darahnya mengandung hemoglobin, sehingga berwarna merah.Pembuluh darah yang melingkari esofagus berfungsi memompa darah ke seluruh tubuh.
Sistem saraf annelida adalah sistem saraf tangga tali. Ganglia otak terletak di depan faring pada anterior. Ekskresi dilakukan oleh organ ekskresi yang terdiri dari nefridia, nefrostom, dan nefrotor.Nefridia (tunggal–nefridium) merupaka organ ekskresi yang terdiri dari saluran. Nefrostom merupakan corong bersilia dalam tubuh.Nefrotor merupakan pori permukaan tubuh tempat kotoran keluar. Terdapat sepasang organ ekskresi tiap segmen tubuhnya.
Sebagian besar annelida hidup dengan bebas dan ada sebagian yang parasit dengan menempel pada vertebrata, termasuk manusia.Habitat annelida umumnya berada di dasar laut dan perairan tawar, dan juga ada yang segaian hidup di tanah atau tempat-tempat lembap. Annelida hidup diberbagai tempat dengan membuat liang sendiri.
Annelida umumnya bereproduksi secara seksual dengan pembantukan gamet.Namun ada juga yang bereproduksi secara fregmentasi, yang kemudian beregenerasi.Organ seksual annelida ada yang menjadi satu dengan individu (hermafrodit) dan ada yang terpisah pada individu lain (gonokoris).
Telah diketemukan 7.000 species yang hidup di air tawar, laut dan tanah.Contoh annelida adalah cacing tanah (Pheretima) cacing ini hidup di tanah, makananya berupa sisa tumbuhan dan hewan.Charles Darwin ahli biologi yang termahsur adalah orang yang pertama kali menyatakan bahwa cacing tanah mempunyai peranan yang penting dalam menggemburkan/menyuburkan tanah.Karena hidup di dalam tanah, cacing ini membuat liang-liang sehingga tanah menjadi berpori dan mudah diolah.Cacing tanah juga mencampur dedaunan dengan tanah, jadi menaikan kandungan humus tanah.
Annelida dibagi menjadi tiga kelas, yaitu Polychaeta (cacing berambut banyak), Oligochaeta (cacing berambut sedikit), dan Hirudinea.
1. Polychaeta
Polychaeta (dalam bahasa yunani, poly=banyak, chaetae=rambut kaku) merupakan annelida berambut banyak. Tubuh Polychaeta dibedakan menjadi daerah kepala (prostomium) dengan mata, antena, dan sensor palpus.
Polychaeta memiliki sepasang struktur seperti dayung yang disebut parapodia (tunggal=parapodium) pada setiap segmen tubuhnya. Fungsi parapodia adalah sebagai alat gerak dan mengandung pembuluh darah halus sehingga dapat berfungsi juga seperti insang untuk bernapas.Setiap parapodium memiliki rambut kaku yang disebut seta yang tersusun dari kitin.
Contoh Polychaeta yang sesil adalah cacing kipas (Sabellastarte indica) yang berwarna cerah. Sedangkan yang bergerak bebas adalah Nereis virens, Marphysa sanguinea, Eunice viridis(cacing palolo), dan Lysidice oele(cacing wawo).
2. Oligochaeta
Oligochaeta (dalam bahasa yunani, oligo=sedikit, chaetae=rambut kaku) yang merupakan annelida berambut sedikit. Oligochaeta tidak memiliki parapodia, namun memiliki seta pada tubuhnya yang bersegmen. Contoh Oligochaeta yang paling terkenal adalah cacing tanah. Jenis cacing tanah antara lain adalah cacing tanah Amerika (Lumbricus terrestris), cacing tanah Asia (Pheretima), cacing merah (Tubifex), dan cacing tanah raksasa Australia (Digaster longmani). Cacing ini memakan oarganisme hidup yang ada di dalam tanah dengan cara menggali tanah. Kemampuannya yang dapat menggali bermanfaat dalam menggemburkan tanah.Manfaat lain dari cacing ini adalah digunakan untuk bahan kosmetik, obat, dan campuran makan berprotein tinggi bagi hewan ternak.
3. Hirudinea
Hirudinea merupakan kelas annelida yang jenisnya sedikit. Hewan ini tidak memiliki arapodium maupun seta pada segmen tubuhnya. Panjang Hirudinea bervariasi dari 1 – 30 cm. Tubuhnya pipih dengan ujung anterior dan posterior yang meruncing. Pada anterior dan posterior terdapat alat pengisap yang digunakan untuk menempel dan bergerak. Sebagian besar Hirudinea adalah hewan ektoparasit pada permukaan tubuh inangnya. Inangnya adalah vertebrata dan termasuk manusia. Hirudinea parasit hidup denga mengisap darah inangnya, sedangkan Hirudinea bebas hidup dengan memangsa invertebrata kecil seperti siput. Contoh Hirudinea parasit adalah Haemadipsa (pacet) dan hirudo (lintah).
III. METODE PENELITIAN
3.1 Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah penggaris, silet dan toples kaca/botol air mineral. Bahan yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah dua ekor cacing yang masih utuh ekornya sebelum di potong.
3.2 Prosedur Kerja
1. Dua cacing dengan ekor utuh di ukur menggunakan penggaris.
2. Dua ekor cacing di sayat ekornya dengan pisau silet secara miring dan tegak lurus, tempat sayatan kira-kira di tengah ekor ( di ukur dari pangkal ekor ).
3. Ukurlah panjang ekor sebelum di sayat ( dari pangkal sampai ujung ekor ).
4. Hewan-hewan tersebut dimasukkan ke dalam toples/botol yang telah di isi tanah.
5. Diamati pertumbuhannya selama tujuh hari, dan ukurlah panjang regenerat, setiap hari sampai bentuk/ ukurang ekor lengkap dicapai seperti semula.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan maka diperoleh hasil pertumbuhan ekor cacing A di potong secara tegak lurus dan B di potong secara miring/ melintang yaitu sebagai berikut :
Hari/ Tgl Caing A Cacing B
Cacing sebulum & sesudah di potong ekor nya. 6 cm – 2 cm = 4 cm 5 cm – 2 cm = 3cm
Senin 0,4 cm 0,2 cm
Selasa 0,9 cm 0,5 cm
Rabu 1,2 cm 0,8 cm
Kamis 1,5 cm 1,1 cm
Jumat 1,7 cm 1,4 cm
Sabtu 1,8 cm 1,6 cm
Minggu 2,0 cm 1,8 cm
Gambar :
Cacing (A) di potong secara tegak lurus
Cacing (B) di poting secara miring/ melintang
4.2. Pembahasan
Ekor cacing memiliki bentuk yang panjang dan lunak yang memungkinkan untuk bisa memendek dan menumpul. Ekor akan mengalami regenerasi bila ekor tersebut putus dalam usaha perlindungan diri dari predator. Regenerasi tersebut diikuti oleh suatu proses, yaitu autotomi. Autotomi adalah proses adaptasi yang khusus membantu hewan melepaskan diri dari serangan musuh. Jadi, autotomi merupakan perwujudan dari mutilasi diri. Cacing jika akan dimangsa oleh predatornya maka akan segera memutuskan ekornya untuk menyelamatkan diri. Ekor yang putus tersebut dapat tumbuh lagi tetapi tidak sama seperti semula (Strorer, 1981).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada cacing dengan memotong ekornya, setelah diamati selama satu minggu( 7 hari ), ternyata bagian ekor yang telah dipotong mengalami pertumbuhan. Ekor yang putus tersebut tumbuh tetapi tidak dapat sama seperti semula.
Pengamatan pada hari pertama ekor cacing (A) yang di potong secara tegak lurus bertambah 0,4cm, hari kedua 0,9cm, hari ke tiga 1,2cm, hari ke empat 1,5, hari ke lima 1,7, pada hari ke enam 1,8 dan pada hari ke tujuh, ekor sudah tumbuh seperti semula.Pertumbuhan ekor cacing yang mengalami regenerasi lebih pendek daripada ekor semula.
Pengamatan pada hari pertama ekor cacing (B) yang di potong secara miring bertambah 0,2cm, hr ke dua 0,5 cm, hari ke tiga 0,8 cm, hari ke empat 1,1 cm, hari ke lima 1,4cm, hari ke enam 1,6 cm dan pada hari ke tujuh 1,8, pertumbuhan ekor yang di potong miring lebih lambat dari yang di potong secara tegak lurus.
Ekor cacing yang dipotong sel epidermisnya menyebar menutupi permukaan luka dan membentuk tudung epidermis apikal.Semua jaringan mengalami diferensiasi dan generasi membentuk sel kerucut yang disebut blastema regenerasi di bawah tudung.Berakhirnya periode proliferasi, sel blastema mengadakan rediferensiasi dan memperbaiki ekornya.Ketika salah satu anggota badan terpotong hanya bagian tersebut yang disuplai darah dan dapat bergenerasi.Hal inilah yang memberi pertimbangan bahwa bagian yang dipotong selalu bagian distal (Kalthoff, 1996).
Proses regenerasi pada reptil berbeda dengan pada hewan golongan amfibi. Regenerasi tidak berasal dari proliferasi atau perbanyakan sel-sel blastema. Regenerasi pada reptil diketahui bahwa ekor yang terbentuk setelah autotomi menghasikan hasil dengan catatan khusus karena baik secara struktur maupun cara regenerasinya berbeda (Balinsky, 1983).
Secara eksperimental pada ekor cacing yang telah dipotong, ternyata hasil regenerasinya tidak sama dengan semula. Pertambahan panjang tidak sama dengan ekor yang dipotong. Ekor baru tidak mengandung notochord dan vertebrae yang baru hanya terdiri dari ruas-ruas tulang rawan atau segmen-segmen.Ruas-ruas ini hanya meliputi batang syaraf (medula spinalis), jumlah segmen itu pun tidak lengkap seperti semula.
Proses perbaikan pertama pada regenerasi ekor cacing adalah penyembuhan luka dengan cara penumbuhan kulit di atas luka tersebut. Kemudian tunas-tunas sel yang belum berdiferensiasi terlihat.Tunas ini menyerupai tunas anggota tubuh pada embrio yang sedang berkembang. Ketika waktu berlalu sel-sel dari anggota tubuh yang sedang regenerasi diatur dan berdiferensiasi sekali lagi menjadi otot, tulang, segmen dan jaringan lajunya yang menjadikan ekor fungsional.
Proses regenerasi ini secara mendasar tidak ada perusakan jaringan otot, akibatnya tidak ada pelepasan sel-sel otot. Sumber utama sel-sel untuk beregenerasi adalah berasal dari ependima dan dari berbagai macam jaringan ikat yang menyusun septum otot, dermis, jaringan lemak, periosteum dan mungkin juga osteosit vertebrae.Sumber sel untuk regenerasi pada reptile berasal dari beberapa sumber yaitu ependima dan berbagai jaringan ikat (Manylov, 1994).
Studi regenerasi mengungkapkan bahwa sel-sel dewasa dari jaringan tertentu yang telah berdiferensiasi misalnya epidermis, mensintesis dan menghasilkan zat yang secara aktif menghambat mitosis-sel-sel muda dari jaringan yang sama, zat ini disebut kolona. Stadium permulaan dari regenerasi tidak ada sel-sel dewasa sehingga tidak ada penghambatan pembelahan sel. Jaringan dari struktur yang mengalami regenerasi berdiferensiasi, mulailah produksi kolona dan agaknya secara berangsur-angsur menghentikan pertunbuhan struktur tersebut. Regenerasi melalui beberapa tahapan, yaitu :
1. Luka akan tertutup oleh darah yang mengalir, lalu membeku membentuk scab yang bersifat sebagai pelindung.
2. Sel epitel bergerak secara amoeboid menyebar di bawah permukaan luka, di bawah scab. Proses ini membutuhkan waktu selama dua hari, dimana pada saat itu luka telah tertutup oleh kulit.
3. Diferensiasi sel-sel jaringan sekitar luka, sehingga menjadi bersifat muda kembali dan pluripotent untuk membentuk berbagai jenis jaringan baru. Matriks tulang dan tulang rawan akan melarut, sel-selnya lepas tersebar di bawah epitel. Serat jaringan ikat juga berdisintegrasi dan semua sel-selnya mengalami diferensiasi.Sehingga dapat dibedakan antara sel tulang, tulang rawan, dan jaringan ikat. Setelah itu sel-sel otot akan berdiferensiasi, serat miofibril hilang, inti membesar dan sitoplasma menyempit.
4. Pembentukan kuncup regenerasi (blastema) pada permukaan bekas luka. Pada saat ini scab mungkin sudah terlepas.Blastema berasal dari penimbunan sel-sel diferensiasi atau sel-sel satelit pengembara yang ada dalam jaringan, terutama di dinding kapiler darah. Pada saatnya nanti, sel-sel pengembara akan berproliferasi membentuk blastema.
5. Proliferasi sel-sel berdiferensiasi secara mitosis, yang terjadi secara serentak dengan proses dediferensiasi dan memuncak pada waktu blastema mempunyai besar yang maksimal dan tidak membesar lagi.
6. Rediferensiasi sel-sel dediferensiasi, serentak dengan berhentinya proliferasi sel-sel blastema tersebut. Sel-sel yang berasal dari parenkim dapat menumbuhkan alat derifat mesodermal, jaringan saraf dan saluran pencernaan. Sehingga bagian yang dipotong akan tumbuh lagi dengan struktur anatomis dan histologis yang serupa dengan asalnya.
Regenerasi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah temperatur, proses biologi dan faktor bahan makanan.Kenaikan dari tempetatur, pada hal-hal tertentu dapat mempercepat regenerasi. Regenerasi menjadi cepat pada suhu 29,7 derajat Celcius. Faktor bahan makanan tidak begitu mempengaruhi proses regenerasi (Morgan, 1989).
Berdasarkan data di atas, ternyata pertumbuhan ekor cacing cukup cepat.
V . PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Proses penyembuhan ekor yang terpotong dimulai dengan terjadinya pembekuan darah disekitar luka yang nantinya akan terbentuk scab.
2. Jaringan epitel kulit yang berada dibawah scab, menyebar menutupi seluruh permukaan luka.
3. Sel-sel disekitar luka bersifat pluripotent, dimana menjadi muda sehingga aktif membelah kembali.
4. Terbentuknya blastema atau kuncup regenerasi yang akan menggantikan scab, kuncup ini berasal dari penimbunan sel-sel yang berdediferensiasi
5. Regenerasi akan berhenti apabila proliferasi sel-sel balastema terhenti juga.
5.2 Saran
Kita harus menjaga kelestarian dan kesuburan tanah di lingkungan kita agar cacing yang hidup di dalamnya bisa berkembang biak dengan sempurna, karena cacing sangat bermanfaat untuk kesuburan tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
Balinsky, B. I. 1981. An Introduction to Embriology. W. B. Saunders Company, Philadelpia.
Kalthoff, Klaus. 1996. Analysis of Biological Development. Mc Graw-Hill Mc, New York.
Karmana, Oman.2007.Cerdas Belajar Biologi kelas XI.Grafindo: bandung.
Kimball, John W. 1992. Biology.Addison-Wesley Publishing Company, Inc., New York.
Kimbal, 1992.Biologi Jilid 2. Erlangga, Jakarta.
Majumdar, N. N. 1985. Text Book of Vertebrae Embriology. Mc Graw-Hill Publishing Company Limited, New Delhi.
Manylov, O.G.1994. Regeneration in Gastrotricha –I Light Microscopical Observation on The Regeneration in Turbanella sp.St.Petersburg State University. Russia.
Tjitrosoepomo. 1984. Biologi Jilid 2. Erlangga, Jakarta.
Willis, S. 1983. Biology. Holt Rinehart & Winston Inc, USA.
Yatim, W. 1982.Reproduksi dan Embriologi. Tarsito, Bandung.
Yatim,W. 1990. Reproduksi dan Embriologi. Tarsito, Bandung.
Pengaruh Kandungan 5gr Kopi dalam 200mL Air Kolam Terhadap Aktifitas Larva Katak
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kopi adalah sejenis minuman yang berasal dari proses pengolahan dan ekstraksi biji tanaman kopi .Kata kopi sendiri berasal dari bahasa Arab qahwah yang berarti kekuatan, karena pada awalnya kopi digunakan sebagai makanan berenergi tinggi. Kata qahwah kembali mengalami perubahan menjadi kahveh yang berasal dari bahasa Turki dan kemudian berubah lagi menjadi koffie dalam bahasa Belanda Penggunaan kata koffie segera diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata kopi yang dikenal saat ini .
Dalam banyak hal, efek kafein yang terkandung di dalam kopi selalu di bahas pengaruhnya terhadap manusia. Tetapi pada kali ini saya akan membahas kafein yang terkandung di dalam kopi AAA terhadap aktivitas larva katak (berudu) .
Berudu atau kecebong adalah tahap pra-dewasa (larva) dalam daur hidup amfibia. Berudu eksklusif hidup di air dan berespirasi menggunakan insang, seperti ikan. Tahap akuatik (hidup di perairan) inilah yang membuat amfibia memperoleh namanya.
1.2 Rumusan Masalah
1. apakah kandungan kafein di dalam kopi AAA berpengaruh terhadap aktivitas larva katak ?
2. bagaimana pengaruh kandungan kafein di dalam kopi AAA terhadap aktivitas larva katak ?
1.3 Hipotesis Penelitian
1. kandungan 5gr kopi AAA dalam 200mL air kolam akan memepengaruhi aktivitas larva katak.
2. larva katak pada gelas yang di campur kopi AAA akan bergerak lebih aktif.
1.4 Tujuan Hasil Penelitian
Mengamati aktivitas larva katak di dalam 200mL air kolam yang di campur 5gr kopi AAA dengan 300mL air kolam yang tidak dicampur apa-apa.
1.5 Manfaat Hasil Penelitian
Menginformasikan kepada pembaca tentang pengaruh kadar kafein di dalam kopi AAA terhadap aktivitas larva katak
II
KAJIAN PUSTAKA
Berudu atau kecebong adalah tahap pra-dewasa (larva) dalam daur hidup amfibia. Berudu eksklusif hidup di air dan berespirasi menggunakan insang, seperti ikan. Tahap akuatik (hidup di perairan) inilah yang membuat amfibia memperoleh namanya Kebanyakan berudu herbivora, memakan alga dan bagian-bagian tumbuhan. Beberapa spesies merupakan omnivora (pemakan segala) (Zug, 1993).
Katak alias bangkong yang dalam bahasa inggris : toad, adalah hewan amfibia yang paling dikenal orang di Indonesia. Anak-anak biasanya menyukai kodok dan katak karena bentuknya yang lucu, kerap melompat-lompat, tidak pernah menggigit dan tidak membahayakan. Hanya orang dewasa yang kerap merasa jijik atau takut yang tidak beralasan terhadap kodok (Zug, 1993).
Katak atau bangkong berkulit kasar berbintil-bintil sampai berbingkul-bingkul, kerapkali kering, dan kaki belakangnya sering pendek saja, sehingga kebanyakan kurang pandai melompat jauh.
Gambar 2.1. larva katak (berudu)
2.1 Kehidupan katak
Katak mengawali hidupnya sebagai telur yang diletakkan induknya di air, di sarang busa, atau di tempat-tempat basah lainnya. Telur-telur katak menetas menjadi berudu atau kecebong yang dalam bahasa Inggris tadpole, yang bertubuh mirip ikan gendut, bernafas dengan insang dan selama beberapa lama hidup di air. Perlahan-lahan akan tumbuh kaki belakang, yang kemudian diikuti dengan tumbuhnya kaki depan, menghilangnya ekor dan bergantinya insang dengan paru-paru. Setelah masanya, berudu ini akan melompat ke darat sebagai katak kecil.
Katak kawin pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada saat bulan mati atau pada ketika menjelang hujan. Pada saat itu katak-katak jantan akan berbunyi-bunyi untuk memanggil betinanya, dari tepian atau tengah perairan. Beberapa jenisnya, kerap membentuk ‘grup nyanyi’, di mana beberapa hewan jantan berkumpul berdekatan dan berbunyi bersahut-sahutan. Suara keras katak dihasilkan oleh kantung suara yang terletak di sekitar lehernya, yang akan menggembung besar manakala digunakan.
Pembuahan pada katak dilakukan di luar tubuh. Katak jantan akan melekat di punggung betinanya dan memeluk erat ketiak si betina dari belakang. Sambil berenang di air, kaki belakang katak jantan akan memijat perut katak betina dan merangsang pengeluaran telur. Pada saat yang bersamaan katak jantan akan melepaskan spermanya ke air, sehingga bisa membuahi telur-telur yang dikeluarkan si betina.
Gambar 2.2. daur hidup amfibi
2.2 Habitat dan makanan
Katak hidup menyebar luas, terutama di daerah tropis yang berhawa panas. Makin dingin tempatnya, seperti di atas gunung atau di daerah bermusim empat (temperate), jumlah jenis katak cenderung semakin sedikit. Salah satunya ialah karena katak termasuk hewan berdarah dingin, yang membutuhkan panas dari lingkungannya untuk mempertahankan hidupnya dan menjaga metabolisme tubuhnya (Eprillurahman, 2007).
Bangkong kolong, misalnya, merupakan salah satu jenis katak yang kerap ditemui di pojok-pojok rumah atau di balik pot di halaman. Katak pohon menghuni pohon-pohon rendah dan semak belukar, terutama di sekitar saluran air atau kolam.
Katak memangsa berbagai jenis serangga yang ditemuinya. Katak kerap ditemui berkerumun di bawah cahaya lampu jalan atau taman, menangkapi serangga-serangga yang tertarik oleh cahaya lampu tersebut (eprillurahman, 2007).
Sebaliknya, katak juga dimangsa oleh pelbagai jenis makhluk yang lain: ular, kadal, burung-burung seperti bangau dan elang, garangan, linsang, dan juga dikonsumsi manusia.
Katak membela diri dengan melompat jauh, mengeluarkan lendir dan racun dari kelenjar di kulitnya; dan bahkan ada yang menghasilkan semacam lendir pekat yang lengket, sehingga mulut pemangsanya akan melekat erat dan susah dibuka.
2.3 Reproduksi
Pada saat bereproduksi katak dewasa akan mencari lingkungan yang berair. Disana mereka meletakkan telurnya untuk dibuahi secara eksternal. Telur tersebut berkembang menjadi larva dan mencari nutrisi yang dibutuhkan dari lingkungannya, kemudian berkembang menjadi dewasa dengan bentuk tubuh yang memungkinkannya hidup di darat, sebuah proses yang dikenal dengan metamorfosis (Duelman dan L.Thieb, 1968).
Tidak seperti telur reptil dan burung, telur katak tidak memiliki cangkang dan selaput embrio. Sebaliknya telur katak hanya dilindungi oleh kapsul mukoid yang sangat permeabel sehingga telur katak harus berkembang di lingkungan yang sangat lembab atau berair (Duelman dan L.Thieb, 1968).
Menurut Kartolo. S. Wulangi (1993), metamorfosis pada katak termasuk metamorfosis sempurna, yang terdiri dari:
1. Katak dewasa bertelur, dan setelah 10 hari akan menetas dan dinamakan berudu.
2. Setelah 2 hari lagi, akan tumbuh insang luar yang berbulu yang digunakan untuk bernafas.
3. Umur 3 minggu, berudu tersebut akan ditutup oleh kulit.
4. Umur 8 minggu, katak akan memiliki kaki belakang.
5. Umur 12 minggu, kaki depan akan terbentuk. Dan seiring dengan itu, kaki belakang membesar dan ekor jadi mengecil. Dan seiring dengan itu, maka bagian tubuh yang lain akan berkembang dengan sempurna. Dan ekor pun akan hilang. Setelah ekor hilang, katak akan bernafas dengan paru-paru. Dan itulah yang dinamakan katak dewasa.
Gambar 2.3. metamorfosis katak
2.4 Kopi
Kopi adalah sejenis minuman yang berasal dari proses pengolahan dan ekstraksi biji tanaman kopi. Kata kopi sendiri berasal dari bahasa Arab qahwah yang berarti kekuatan, karena pada awalnya kopi digunakan sebagai makanan berenergi tinggi. Kata qahwah kembali mengalami perubahan menjadi kahveh yang berasal dari bahasa Turki dan kemudian berubah lagi menjadi koffie dalam bahasa Belanda. Penggunaan kata koffie segera diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata kopi yang dikenal saat ini (Ickey’z, 2009).
Sejarah mencatat bahwa penemuan kopi sebagai minuman berkhasiat dan berenergi pertama kali ditemukan oleh Bangsa Etiopia di benua Afrika sekitar 3000 tahun yang lalu. Kopi kemudian terus berkembang hingga saat ini menjadi salah satu minuman paling populer di dunia yang dikonsumsi oleh berbagai kalangan masyarakat. Di samping rasa dan aromanya yang menarik, kopi juga dapat menurunkan risiko terkena penyakit kanker, diabetes, batu empedu, dan berbagai penyakit jantung
Tetapi apakah efek Caffeine ini juga mempunyai efek terhadap yang terlalu banyak minum kopi setiap harinya. Selain bermanfaat Caffeine juga ada efek buruknya bila dikonsumsi terlalu banyak apa lagi bagi penderita mag (KOMPAS, 2010).
III
METODE PENELITIAN
3.1 Alat dan Bahan
• gelas 2 bh
• berudu
• kopi AAA
• air kolam
• gelas ukur
• timbangan
• kamera digital
3.2 Prosedur
• disediakan 2 buah gelas yang telah diisi air kolam masing masing sebanyak 200mL
• dimasukkan 5gr kopi AAA pada salah satu gelas (Gelas A), 1 gelas lagi hanya air kolam saja sebagai kontrol (Gelas B)
• dimasukkan 10 ekor larva katak pada setiap gelas
• diamati aktivitas larva katak dan dibandingkan
• dicatat hasil pengamatan
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Tabel 4.1. hasil penelitian
Hari ke- Gelas A Gelas B
1 Normal Normal
2 Normal Sedikit Aktif
3 Normal Aktif
4 Normal Sangat Aktif
5 Normal Normal
6 Normal Tidak aktif
7 Normal Tidak Aktif
8 Normal Sebagian Mati
9 Normal Seluruhnya Mati
4.2 Pembahasan Hasil Penelitian
Larva katak atau yang sering disebut berudu atau kecebong adalah tahap pra-dewasa (larva) dalam daur hidup amfibia. Berudu eksklusif hidup di air dan berespirasi menggunakan insang, seperti ikan. Tahap akuatik (hidup di perairan) inilah yang membuat amfibia memperoleh namanya.
Pada penelitian ini, saya membandingkan aktifitas larva katak pada air kolam yang tidak dicampur apa-apa , dengan aktifitas larva katak yang berada di air kolam yang telah sebelumnya dicampur dengan kopi AAA. penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 2 buah gelas, yang diisi air kolam tanpa dicampur apapun (gelas A), dan gelas yang diisi 200mL air kolam yang sebelumnya telah dicampur dengan 5gr kopi AAA. Kemudian di amati dan dibandingkan hingga beberapa hari dan terlihat perubahan aktifitas larva katak dikedua gelas tersebut. Setiap hari air kolam dikedua gelas selalu diganti agar tidak ada faktor lain yang dapat mempengaruhi aktifitas larva katak, misalnya kehabisan makanan (plankton di air kolam).
Setelah dilakukan pengamatan selama kurang lebih 8 hari, terlihat jelas adany perbedaan aktifitas di kedua gelas. Pada hari pertama, masih terlihat normal pada gelas A maupun gelas B. Namun pada hari kedua hingga hari ke-4, larva katak pada gelas B mulai kelihatan sangat aktif, bahkan bertambah aktif hingga hari ke-4, kemudian pada hari kelima, keadaan larva katak pada gelas B mulai kembali normal, tetapi pada hari ke-6 larva katak terlihat melemah dan kurang aktif, hingga pada hari ke-7 sebagian larva katak mati dan berangsur-angsur habis pada hari ke-8.
Hal ini disebabkan oleh kandungan kafein didalam kopi. Caffeine men stimulasi tubuh supaya medahulukan meningkatkan penggunaan lemak sebagai bahan bakar utama pada saat bergerak, ini akan menyebabkan penggunaan Glycogen (Carbohydrate) menurun (bukan sebagai bahan bakar utama) sehingga Glycogen dapat berfungsi sebagai cadangan tenaga, dan hasilnya bisa lebih kuat sebelum kelelahan. (biasanya justru Glycogen lah sebagai bahan bakar yg pertama dipakai sampai habis dan sisanya dari lemak, padahal cadangan glycogen lebih kecil dibanding cadangan lemak dalam tubuh) (KOMPAS, 2010).
Tetapi larva katak yang masih rentan tidak mampu mencerna kandungan kafein tersebut, kemudian bubuk-bubuk kopi yang kasar dapat menghambat saluran pernafasan larva katak. Sehingga hanya mampu bertahan selama beberapa hari.
V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Kandungan 5gr kopi terhadap 200mL air kolam membuat larva katak lebih aktif dibandingkan dengan larva katak pada media kontrol. Tetapi umur larva katak pada gelas yang diisi 5gr kopi AAA lebih pendek.
5.2 Saran
Karena keterbatasan waktu dan pengetahuan yang penulis miliki, maka penulis meyarankan penelitian lebih lanjut tentang “Pengaruh Kandungan 5gr Kopi dalam 200mL Air Kolam Terhadap Aktifitas Larva Katak” ini.
DAFTAR RUJUKAN
Duelman, W.E and L. Thieb. 1986. Biology of Amphibians. New York: Mc.Braw, Hillbook Company.
Eprilurahman, 2007. Frogs and Toads of Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Yogyakarta: International Seminar Advances in Biological Science. Fakultas Biologi UGM
Ickey’z. 2000. Katak. http://riezkiy.blogspot.com/2009/06/katak.html, diakses Desember 2010.
Wulangi, Kartolo. 1993. Prinsip-Prinsip Fisiologi Hewan. Bandung: Jurusan Biologi ITB.
Zug, George R. 1993. Herpetology. New Jersey: Pretice Hall, inc.
Atlet dan Kopi. KOMPAS, minggu 10 November 2010. Hal 13.
LAMPIRAN
Gambar 1. 50gr Kopi
Gambar 2. Gelas A Gambar 3. Gelas B
Gambar 4. Perbandingan Gelas A dan Gelas B
Gambar 5. Pengamatan Hari ke-1 Gambar 6. Pengamatan Hari ke-2
Gambar 7. Pengamatan Hari ke-3 Gambar 8. Pengamatan Hari ke-4
Gambar 9. Pengamatan Hari ke-5 Gambar 10. Pengamatan Hari ke-6
Gambar 11. Pengamatan Hari ke-7 Gambar 12. Pengamatan Hari ke-8
SGambar 13. Pengamatan Hari ke-9
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kopi adalah sejenis minuman yang berasal dari proses pengolahan dan ekstraksi biji tanaman kopi .Kata kopi sendiri berasal dari bahasa Arab qahwah yang berarti kekuatan, karena pada awalnya kopi digunakan sebagai makanan berenergi tinggi. Kata qahwah kembali mengalami perubahan menjadi kahveh yang berasal dari bahasa Turki dan kemudian berubah lagi menjadi koffie dalam bahasa Belanda Penggunaan kata koffie segera diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata kopi yang dikenal saat ini .
Dalam banyak hal, efek kafein yang terkandung di dalam kopi selalu di bahas pengaruhnya terhadap manusia. Tetapi pada kali ini saya akan membahas kafein yang terkandung di dalam kopi AAA terhadap aktivitas larva katak (berudu) .
Berudu atau kecebong adalah tahap pra-dewasa (larva) dalam daur hidup amfibia. Berudu eksklusif hidup di air dan berespirasi menggunakan insang, seperti ikan. Tahap akuatik (hidup di perairan) inilah yang membuat amfibia memperoleh namanya.
1.2 Rumusan Masalah
1. apakah kandungan kafein di dalam kopi AAA berpengaruh terhadap aktivitas larva katak ?
2. bagaimana pengaruh kandungan kafein di dalam kopi AAA terhadap aktivitas larva katak ?
1.3 Hipotesis Penelitian
1. kandungan 5gr kopi AAA dalam 200mL air kolam akan memepengaruhi aktivitas larva katak.
2. larva katak pada gelas yang di campur kopi AAA akan bergerak lebih aktif.
1.4 Tujuan Hasil Penelitian
Mengamati aktivitas larva katak di dalam 200mL air kolam yang di campur 5gr kopi AAA dengan 300mL air kolam yang tidak dicampur apa-apa.
1.5 Manfaat Hasil Penelitian
Menginformasikan kepada pembaca tentang pengaruh kadar kafein di dalam kopi AAA terhadap aktivitas larva katak
II
KAJIAN PUSTAKA
Berudu atau kecebong adalah tahap pra-dewasa (larva) dalam daur hidup amfibia. Berudu eksklusif hidup di air dan berespirasi menggunakan insang, seperti ikan. Tahap akuatik (hidup di perairan) inilah yang membuat amfibia memperoleh namanya Kebanyakan berudu herbivora, memakan alga dan bagian-bagian tumbuhan. Beberapa spesies merupakan omnivora (pemakan segala) (Zug, 1993).
Katak alias bangkong yang dalam bahasa inggris : toad, adalah hewan amfibia yang paling dikenal orang di Indonesia. Anak-anak biasanya menyukai kodok dan katak karena bentuknya yang lucu, kerap melompat-lompat, tidak pernah menggigit dan tidak membahayakan. Hanya orang dewasa yang kerap merasa jijik atau takut yang tidak beralasan terhadap kodok (Zug, 1993).
Katak atau bangkong berkulit kasar berbintil-bintil sampai berbingkul-bingkul, kerapkali kering, dan kaki belakangnya sering pendek saja, sehingga kebanyakan kurang pandai melompat jauh.
Gambar 2.1. larva katak (berudu)
2.1 Kehidupan katak
Katak mengawali hidupnya sebagai telur yang diletakkan induknya di air, di sarang busa, atau di tempat-tempat basah lainnya. Telur-telur katak menetas menjadi berudu atau kecebong yang dalam bahasa Inggris tadpole, yang bertubuh mirip ikan gendut, bernafas dengan insang dan selama beberapa lama hidup di air. Perlahan-lahan akan tumbuh kaki belakang, yang kemudian diikuti dengan tumbuhnya kaki depan, menghilangnya ekor dan bergantinya insang dengan paru-paru. Setelah masanya, berudu ini akan melompat ke darat sebagai katak kecil.
Katak kawin pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada saat bulan mati atau pada ketika menjelang hujan. Pada saat itu katak-katak jantan akan berbunyi-bunyi untuk memanggil betinanya, dari tepian atau tengah perairan. Beberapa jenisnya, kerap membentuk ‘grup nyanyi’, di mana beberapa hewan jantan berkumpul berdekatan dan berbunyi bersahut-sahutan. Suara keras katak dihasilkan oleh kantung suara yang terletak di sekitar lehernya, yang akan menggembung besar manakala digunakan.
Pembuahan pada katak dilakukan di luar tubuh. Katak jantan akan melekat di punggung betinanya dan memeluk erat ketiak si betina dari belakang. Sambil berenang di air, kaki belakang katak jantan akan memijat perut katak betina dan merangsang pengeluaran telur. Pada saat yang bersamaan katak jantan akan melepaskan spermanya ke air, sehingga bisa membuahi telur-telur yang dikeluarkan si betina.
Gambar 2.2. daur hidup amfibi
2.2 Habitat dan makanan
Katak hidup menyebar luas, terutama di daerah tropis yang berhawa panas. Makin dingin tempatnya, seperti di atas gunung atau di daerah bermusim empat (temperate), jumlah jenis katak cenderung semakin sedikit. Salah satunya ialah karena katak termasuk hewan berdarah dingin, yang membutuhkan panas dari lingkungannya untuk mempertahankan hidupnya dan menjaga metabolisme tubuhnya (Eprillurahman, 2007).
Bangkong kolong, misalnya, merupakan salah satu jenis katak yang kerap ditemui di pojok-pojok rumah atau di balik pot di halaman. Katak pohon menghuni pohon-pohon rendah dan semak belukar, terutama di sekitar saluran air atau kolam.
Katak memangsa berbagai jenis serangga yang ditemuinya. Katak kerap ditemui berkerumun di bawah cahaya lampu jalan atau taman, menangkapi serangga-serangga yang tertarik oleh cahaya lampu tersebut (eprillurahman, 2007).
Sebaliknya, katak juga dimangsa oleh pelbagai jenis makhluk yang lain: ular, kadal, burung-burung seperti bangau dan elang, garangan, linsang, dan juga dikonsumsi manusia.
Katak membela diri dengan melompat jauh, mengeluarkan lendir dan racun dari kelenjar di kulitnya; dan bahkan ada yang menghasilkan semacam lendir pekat yang lengket, sehingga mulut pemangsanya akan melekat erat dan susah dibuka.
2.3 Reproduksi
Pada saat bereproduksi katak dewasa akan mencari lingkungan yang berair. Disana mereka meletakkan telurnya untuk dibuahi secara eksternal. Telur tersebut berkembang menjadi larva dan mencari nutrisi yang dibutuhkan dari lingkungannya, kemudian berkembang menjadi dewasa dengan bentuk tubuh yang memungkinkannya hidup di darat, sebuah proses yang dikenal dengan metamorfosis (Duelman dan L.Thieb, 1968).
Tidak seperti telur reptil dan burung, telur katak tidak memiliki cangkang dan selaput embrio. Sebaliknya telur katak hanya dilindungi oleh kapsul mukoid yang sangat permeabel sehingga telur katak harus berkembang di lingkungan yang sangat lembab atau berair (Duelman dan L.Thieb, 1968).
Menurut Kartolo. S. Wulangi (1993), metamorfosis pada katak termasuk metamorfosis sempurna, yang terdiri dari:
1. Katak dewasa bertelur, dan setelah 10 hari akan menetas dan dinamakan berudu.
2. Setelah 2 hari lagi, akan tumbuh insang luar yang berbulu yang digunakan untuk bernafas.
3. Umur 3 minggu, berudu tersebut akan ditutup oleh kulit.
4. Umur 8 minggu, katak akan memiliki kaki belakang.
5. Umur 12 minggu, kaki depan akan terbentuk. Dan seiring dengan itu, kaki belakang membesar dan ekor jadi mengecil. Dan seiring dengan itu, maka bagian tubuh yang lain akan berkembang dengan sempurna. Dan ekor pun akan hilang. Setelah ekor hilang, katak akan bernafas dengan paru-paru. Dan itulah yang dinamakan katak dewasa.
Gambar 2.3. metamorfosis katak
2.4 Kopi
Kopi adalah sejenis minuman yang berasal dari proses pengolahan dan ekstraksi biji tanaman kopi. Kata kopi sendiri berasal dari bahasa Arab qahwah yang berarti kekuatan, karena pada awalnya kopi digunakan sebagai makanan berenergi tinggi. Kata qahwah kembali mengalami perubahan menjadi kahveh yang berasal dari bahasa Turki dan kemudian berubah lagi menjadi koffie dalam bahasa Belanda. Penggunaan kata koffie segera diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata kopi yang dikenal saat ini (Ickey’z, 2009).
Sejarah mencatat bahwa penemuan kopi sebagai minuman berkhasiat dan berenergi pertama kali ditemukan oleh Bangsa Etiopia di benua Afrika sekitar 3000 tahun yang lalu. Kopi kemudian terus berkembang hingga saat ini menjadi salah satu minuman paling populer di dunia yang dikonsumsi oleh berbagai kalangan masyarakat. Di samping rasa dan aromanya yang menarik, kopi juga dapat menurunkan risiko terkena penyakit kanker, diabetes, batu empedu, dan berbagai penyakit jantung
Tetapi apakah efek Caffeine ini juga mempunyai efek terhadap yang terlalu banyak minum kopi setiap harinya. Selain bermanfaat Caffeine juga ada efek buruknya bila dikonsumsi terlalu banyak apa lagi bagi penderita mag (KOMPAS, 2010).
III
METODE PENELITIAN
3.1 Alat dan Bahan
• gelas 2 bh
• berudu
• kopi AAA
• air kolam
• gelas ukur
• timbangan
• kamera digital
3.2 Prosedur
• disediakan 2 buah gelas yang telah diisi air kolam masing masing sebanyak 200mL
• dimasukkan 5gr kopi AAA pada salah satu gelas (Gelas A), 1 gelas lagi hanya air kolam saja sebagai kontrol (Gelas B)
• dimasukkan 10 ekor larva katak pada setiap gelas
• diamati aktivitas larva katak dan dibandingkan
• dicatat hasil pengamatan
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Tabel 4.1. hasil penelitian
Hari ke- Gelas A Gelas B
1 Normal Normal
2 Normal Sedikit Aktif
3 Normal Aktif
4 Normal Sangat Aktif
5 Normal Normal
6 Normal Tidak aktif
7 Normal Tidak Aktif
8 Normal Sebagian Mati
9 Normal Seluruhnya Mati
4.2 Pembahasan Hasil Penelitian
Larva katak atau yang sering disebut berudu atau kecebong adalah tahap pra-dewasa (larva) dalam daur hidup amfibia. Berudu eksklusif hidup di air dan berespirasi menggunakan insang, seperti ikan. Tahap akuatik (hidup di perairan) inilah yang membuat amfibia memperoleh namanya.
Pada penelitian ini, saya membandingkan aktifitas larva katak pada air kolam yang tidak dicampur apa-apa , dengan aktifitas larva katak yang berada di air kolam yang telah sebelumnya dicampur dengan kopi AAA. penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 2 buah gelas, yang diisi air kolam tanpa dicampur apapun (gelas A), dan gelas yang diisi 200mL air kolam yang sebelumnya telah dicampur dengan 5gr kopi AAA. Kemudian di amati dan dibandingkan hingga beberapa hari dan terlihat perubahan aktifitas larva katak dikedua gelas tersebut. Setiap hari air kolam dikedua gelas selalu diganti agar tidak ada faktor lain yang dapat mempengaruhi aktifitas larva katak, misalnya kehabisan makanan (plankton di air kolam).
Setelah dilakukan pengamatan selama kurang lebih 8 hari, terlihat jelas adany perbedaan aktifitas di kedua gelas. Pada hari pertama, masih terlihat normal pada gelas A maupun gelas B. Namun pada hari kedua hingga hari ke-4, larva katak pada gelas B mulai kelihatan sangat aktif, bahkan bertambah aktif hingga hari ke-4, kemudian pada hari kelima, keadaan larva katak pada gelas B mulai kembali normal, tetapi pada hari ke-6 larva katak terlihat melemah dan kurang aktif, hingga pada hari ke-7 sebagian larva katak mati dan berangsur-angsur habis pada hari ke-8.
Hal ini disebabkan oleh kandungan kafein didalam kopi. Caffeine men stimulasi tubuh supaya medahulukan meningkatkan penggunaan lemak sebagai bahan bakar utama pada saat bergerak, ini akan menyebabkan penggunaan Glycogen (Carbohydrate) menurun (bukan sebagai bahan bakar utama) sehingga Glycogen dapat berfungsi sebagai cadangan tenaga, dan hasilnya bisa lebih kuat sebelum kelelahan. (biasanya justru Glycogen lah sebagai bahan bakar yg pertama dipakai sampai habis dan sisanya dari lemak, padahal cadangan glycogen lebih kecil dibanding cadangan lemak dalam tubuh) (KOMPAS, 2010).
Tetapi larva katak yang masih rentan tidak mampu mencerna kandungan kafein tersebut, kemudian bubuk-bubuk kopi yang kasar dapat menghambat saluran pernafasan larva katak. Sehingga hanya mampu bertahan selama beberapa hari.
V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Kandungan 5gr kopi terhadap 200mL air kolam membuat larva katak lebih aktif dibandingkan dengan larva katak pada media kontrol. Tetapi umur larva katak pada gelas yang diisi 5gr kopi AAA lebih pendek.
5.2 Saran
Karena keterbatasan waktu dan pengetahuan yang penulis miliki, maka penulis meyarankan penelitian lebih lanjut tentang “Pengaruh Kandungan 5gr Kopi dalam 200mL Air Kolam Terhadap Aktifitas Larva Katak” ini.
DAFTAR RUJUKAN
Duelman, W.E and L. Thieb. 1986. Biology of Amphibians. New York: Mc.Braw, Hillbook Company.
Eprilurahman, 2007. Frogs and Toads of Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Yogyakarta: International Seminar Advances in Biological Science. Fakultas Biologi UGM
Ickey’z. 2000. Katak. http://riezkiy.blogspot.com/2009/06/katak.html, diakses Desember 2010.
Wulangi, Kartolo. 1993. Prinsip-Prinsip Fisiologi Hewan. Bandung: Jurusan Biologi ITB.
Zug, George R. 1993. Herpetology. New Jersey: Pretice Hall, inc.
Atlet dan Kopi. KOMPAS, minggu 10 November 2010. Hal 13.
LAMPIRAN
Gambar 1. 50gr Kopi
Gambar 2. Gelas A Gambar 3. Gelas B
Gambar 4. Perbandingan Gelas A dan Gelas B
Gambar 5. Pengamatan Hari ke-1 Gambar 6. Pengamatan Hari ke-2
Gambar 7. Pengamatan Hari ke-3 Gambar 8. Pengamatan Hari ke-4
Gambar 9. Pengamatan Hari ke-5 Gambar 10. Pengamatan Hari ke-6
Gambar 11. Pengamatan Hari ke-7 Gambar 12. Pengamatan Hari ke-8
SGambar 13. Pengamatan Hari ke-9
PERBANDINGAN PERKEMBANGAN LANJUT EMBRIO AYAM DAN EMBRIO BEBEK
PERBANDINGAN PERKEMBANGAN LANJUT
EMBRIO AYAM DAN EMBRIO BEBEK
ASDOS PEMBIMBING: RITA YULIZA
OLEH:
ARENA UTAMA
A1C409050
PROGRAM STUDY PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2010/2011
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
DAFTAR GAMBAR ii
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR LAMPIRAN iv
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Hipotesis 1
1.4 Tujuan Hasil Penelitian 1
1.5 Manfaat Hasil Penelitian 2
BAB II KAJIAN PUSTAKA 3
2.2 Gambar dari Fertilisasi lanjut embrio telur 5
BAB III METODE PENELITIAN 9
3.1 Alat dan Bahan 9
3.2 Prosedur Kerja 9
BAB VI HASIL DAN PENDAHULUAN 10
4.1 Hasil Penelitian 10
4.2 Pembahasan Hasil Penelitian 10
BAB V PENUTUP 12
5.1 Kesimpulan 12
5.2 Saran 12
DAFTAR RUJUKAN 13
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Kardus yang sudah dibeli bohlam lampu 3
Gambar 2.2
Gambar dari fertilisasi lanjut embrio telur 5
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Tabel Faktor Perkembangan Lanjut Pada Embrio 4
Tabel 4.1
Tabel Hasil Pengamatan Perkembangan Lanjut Embrio Ayam
Dan Embrio Bebek 10
DAFTAR LAMPIRAN
FOTO TELUR AYAM
Gambar A.1
Selasa, 21 Desember 2010, Hari Ke-4
Gambar A.2
Kamis, 23 Desember 2010, Hari Ke-6
Gambar A.3
Sabtu, 25 Desember 2010. Hari Ke-8
FOTO TELUR BEBEK
Gambar B.1
Selasa, 21 Desember 2010, Hari Ke-4
Gambar B.2
Kamis, 23 Desember 2010, Hari Ke-6
Gambar B.3
Sabtu, 25 Desember 2010, Hari Ke-8
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Telur adalah salah satu bahan makanan hewani yang di konsumsi selain daging, ikan dan susu, umumnya yang dikonsumsi berasal dari jenis burung seperti ayam, bebek dan angsa.
Dalam kebanyakan burung dan reprilia, telur adalah zigot yang dihasilkan melalui fertilisasi sel telur dan fungsinya memelihara dan menjaga embrio. Telur-telur reptilia diselimuti kerak pelindung yang memiliki lubang yang sangat kecil agar hewan yang belum lahir tersebut dapat bernapas.
Untuk terjadinya suatu penetas pada telur ayam dan telur bebek ini serta mengetahui perkembangan lanjut embrio diperlukan adanya penelitian sendiri. Dan untuk dilakukan penelitian ini diharapkan agar kita dapat membandingkan perkembangan lanjut embrio ayam dan bebek. Dan diperlukan adanya pengalaman dan ketelitian dikarenakan ragu-ragu.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa tujuan dari penelitian tentang perkembangan lanjut embrio ayam dan bebek?
2. Apa saja manfaat dari penelitian ini?
3. Faktor penghambat dari penetasan telur?
4. Bagaimana fase-fase yang terjadi pada telur ayam dan telur bebek?
1.3 Hipotesis
“Embrio Telur Ayam Berbeda dengan Embrio Telur Bebek”
1.4 Tujuan Hasil Penelitian
a. Mempelajari berbagai perubahan bentuk tubuh dan bakal organ-organ yang berasal dari setiap lapisan lembaga.
b. Untuk membandingkan perkembangan lanjut embrio ayam dan bebek\
1.5 Manfaat Hasil Penelitian
a. Siswa dapat membandingkan lanjut embrio ayam dan bebek
b. Siswa dapat mengetahui dan mempelajari perubahan bentuk tubuh dan bakal organ yang berasal dari setiap lapisan lembaga
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Menurut Admin Ludi, Pengetesan fertilitas telur adalah suatu hal yang perlu dilakukan. Hal ini terutama diperlukan untuk menentukan jumlah telur yang fertile untuk terus ditetaskan sedangkan yang tidak fertile atau tidak bertunas harus disingkirkan karena tidak berguna dalam proses penetasan dan bahkan Cuma buang buang tenaga dan tempat saja. Padahal tempat yang ada dapat dimanfaatkan untuk telur telur fertile yang lain atau yang baru akan ditetaskan.
Tes fertilitas semacam ini tidak akan mempengaruhi perkembangan embrio telur, malah sebaliknya kita akan tahu seberapa normal perkembangan embrio didalam telur tersebut telah berkembang atau bertunas. Tatapi tetap sebagai hal yang terpenting dalam proses ini adalah mengetahui seberapa banyak telur yang fertile dan dapat menentukan langkah langkah yang diperlukan untuk telur yang tidak fertile terutama jika telur telur tersebut diberikan coretan / tulisan mengenai asal telur dan tanggal di telurkan oleh sang ayam maupun informasi asal kandangnya. (Admin Ludi, dkk. 2010:21)
2.1 Kardus Usang Sudah Diberi Bohlam Lampu
Ada beberapa istilah untuk alat melihat fertilitas telur disebut teropong telur atau tester atau candler. Alat ini mudah dibuat dengan cara menempatkan bohlam lampu dalam sebuah kotak atau silender yang dapat terbuat dari segala macam jenis baik kayu ataupun pralon 3 inch seperti pada gambar.
Cara membuatnya adalah dengan memotong pralon 3 inch sepanjang 20 cm dan menutup kedua ujungnya dengan kayu yang dibuat melingkar mengikuti pralon dan kemudian di mur. Bagian dalam diberikan fitting lampu dan sebuah bohlam lampu yang cukup terang (missal : 40 watt) dan satu ujung bagian atasnya pada bagian tengahnya diberikan lubang sebesar 2/5 besar diameter telur rata rata atau sekitar 2 cm.
Penggunaannya adalah dengan menyalakan bohlam lampu dan melalui lubang yang ada (pada bagian atasnya) diletakkan telur yang akan dilihat dengan cara menempelkan bagian bawah telur (bagian yang lebih tajam dari telur) ke lubang dan melihat perkembangan yang ada di dalam telur. Cara yang paling baik adalah dengan menggunakan alat ini pada ruangan yang gelap sehingga bagian dalam telur yang terkena bias cahaya lampu dapat lebih jelas terlihat.
Menurut Surjono, Tienlujati. 2001, adanya faktor-faktor yang mempengaruhinya. Perkembangan lanjut pada embrio telur ayam dan embrio telur bebek.
• Tabel Faktor Perkembangan Lanjut Pada Embrio
No Faktor yang mempengaruhi
1
2
3
4 Suhu lingkungan
Intensitas cahaya
Medium
Jarak lampu terhadap embrio
Telur biasanya di test setelah 5 – 7 hari setelah di tempatkan dalam incubator. Telur dengan kulit yang putih seperti telur ayam kampung akan lebih mudah dilihat daripada telur negri atau yang warna kulitnya cokalat atau warna lainnya.
Pada saat test fertilitas, maka hanya telur yang ada bintik hitam dan jalur jalur darah yang halus yang akan terus di tetaskan. Tetapi singkirkan telur telur yang ada pita darahnya, tidak ada perubahan (tetap tidak ada perkembangan), ada blok kehitaman karena mati atau seperti contoh pada gambar berikut:
2.2 Gambar dari Fertilisasi lanjut embrio telur
Apabila karena kurang pengalaman atau karena ragu ragu seperti missal menurut pengalaman kami perkembangan embrio kadang tidak terlihat jelas di bagian pinggir telur karena perkembangannya ada di tengah telur. Keadaan ini akan tampak seakan akan telur tidak berkembang tetpi nyatanya berkembang dengan baik.
Dalam kasus tersebut maka hal yang bijaksana adalah dengan mengembalikan telur telur tersebut kedalam incubator dan test kembali pada hari ke 10 atau 14 misalnya. Jika ternyata berkembang maka telur terus di tetaskan tetapi bila tidak maka harus dibuang. (Campble, 2003: 19)
Masa pengeraman selama 21 hari merupakan masa yang kritis untuk menentukan menetasnya seekor anak ayam lagi di dunia ini. Embrio di dalam telur ini tumbuh secara luar biasa setiap harinya sampai akhirnya menetas menjadi anak ayam dan menghirup udara dunia. Dengan mengetahui perkembangan embrio semasa pengeraman harapannya adalah hasil yang kita capai nantinya (daya tetas) lebih maksimal dan sesuai harapan.
Hari ke-1
Sejumlah proses pembentukan sel permulaan mulai terjadi. Sel permulaan untuk system pencernaan mulai terbentuk pada jam ke-18. Pada jam-jam berikutnya, secara berturut-turut sampai dengan jam ke-24, mulai juga terbentuk sel permulaan untuk jaringan otak, sel permulaan untuk jaringan tulang belakang, formasi hubungan antara jaringan otak dan jaringan syaraf, formasi bagian kepala, sel permulaan untuk darah, dan formasi awal syaraf mata. Para penetas yang sudah berpengalaman akan mampu membedakan telur fertile dan telur tidak fertile dihari ke-1 ini.
Hari ke-2
Embrio mulai bergeser ke sisi kiri, dan saluran darah mulai terlihat pada bagian kuning telur. Perkembangan sel dari jam ke-25 sampai jam ke -48 secara berurutan adalah pembentukan formasi pembuluh darah halus dan jantung, seluruh jaringan otak mulai terbentuk dan jantung mulai berdetak, jaringan pendengaran mulai terbentuk, selaput cairan mulai terlihat dan mulai juga terbentuk formasi tenggorokan.
Hari ke-3
Dimulainya pembentukan formasi hidung , sayap, kaki, dan jaringan pernafasan. Pada masa ini, selaput cairan juga sudah menutup seluruh bagian embrio. Peneropongan telur pada hari ke-3 biasanya sudah terlihat jelas mana telur yang berembrio dan mana telur yang kosong atau embrio mati.
Hari ke-4
Sel permulaan untuk lidah mulai terbentuk. Pada masa ini embrio terpisah seluruhnya dari kuning telur dan berputar ke kiri. Sementara itu jaringan saluran pernafasan terlihat mulai menembus selaput cairan.
Hari ke-5
Saluran pencernaan dan tembolok mulai terbentuk. Pada masa ini terbentuk pula jaringan reproduksi. Karenanya sudah mulai dapat juga ditentukan jenis kelaminnya. Penetas yang berpengalaman akan memanfaatkan hari ini untuk pemisahan telur sesuai jenis kelamin terutama pada burung puyuh dan itik.
Hari ke-6
Pembentukan paruh dimulai. Begitu juga dengan kaki dan sayap. Selain itu, embrio mulai melakukan gerakan-gerakan
Hari ke-7, ke-8, dank e-9
Jari kaki dan sayap terlihat mulai terbentuk. Selain itu, perut mulai menonjol karena jeroannya mulai berkembang. Pembentukan bulu juga dimulai. Pada masa-masa ini, embrio sudah seperti burung, dan mulutnya terlihat mulai membuka
Hari ke-10 dan ke-11
Paruh mulai mengeras, jari-jari kaki sudah mulai sepenuhnya terpisah, dan pori-pori kulit tubuh mulai tampak
Hari ke-12
Jari-jari kaki sudah terbentuk sepenuhnya dan bulu pertama mulai muncul
Hari ke-13 dan ke-14
Sisik dan kuku jari kaki mulai terbentuk. Tubuh pun sudah sepenuhnya ditumbuhi bulu. Pada hari ke-14 embrio berputar sehingga kepalanya tepat berada di bagian telur yang tumpul
Hari ke-15
Jaringan usus mulai terbentuk di dalam badan embrio
Hari ke-16 dan ke-17
Sisik kaki, kuku dan paruh semakin mengeras. Tubuh embrio sudah sepenuhnya tertutupi oleh bulu yang tumbuh. Putih telur sudah tidak ada lagi, dan kuning telur meningkat fungsinya sebagai bahan makanan yang sangat penting bagi embrio. Selain itu, paruh sudah mengarah ke rongga kantung udara, selaput cairan mulai berkurang, dan embrio mulai melakukan persiapan untuk bernapas
Hari ke-18 dan ke-19
Pertumbuhan embrio sudah mendekati sempurna. Kuning telur mulai masuk ke dalam rongga perut melalui saluran tali pusat. Embrio sudah semakin besar sehingga sudah memenuhi seluruh rongga telur kecuali rongga kantung udara. Makanya ketika peneropongan telur dilakukan akan terlihat gelap sepenuhnya kecuali kantung udara.
Hari ke-20
Kuning telur sudah masuk sepenuhnya ke dalam tubuh embrio. Embrio yang hampir menjadi anak ayam ini menembus selaput cairan, dan mulai bernapas menggunakan udara di kantung udara. Saluran pernapasan mulai berfungsi dan bekerja sempurna. Ketika waktu peneropongan kita dapatkan kantung udara yang juga gelap maka dapat dipastikan bahwa embrio tersebut telah mati.
Hari ke-21
Anak ayam menembus lapisan kulit telur (pipping) dan pada akhirnya menetas. Seluruh kegiatan di atas (candling)dapat kita lakukan dengan bantuan alat peneropong telur . Prinsip kerja alat ini adalah memanfaatkan pantulah cahaya dari lampu untuk mengetahui isi telur. (Anonim. B. 2010:1)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang diperlukan di antara lain yaitu:
a. Telur ayam dan bebek yang baru di buahi
b. Kardus dua buah
c. Bohlam lampu 5 watt 2 buah
d. Fiting lampu
e. Sekam
f. Kabel lampu
3.2 Prosedur Kerja
Adapun langkah-langkah yang harus di perhatikan pada saat penelitian ini yaitu:
1. Disiapkanlah alat-alat dan bahannya
2. Sebuah fiting lampu di beri bohlam lampu yang cukup terang yaitu (misalnya 5 watt)
3. Dimasukkan jerami kedalam masing-masing kardus yang berbeda lalu ditambahkannya lagi sekam diatasnya
4. Di letakkannya fitting lampu dan sebuah bohlam di bagian ujung atasnya pada setiap incubator
5. Dimasukan kedua telur tersebut yaitu telur ayam dan telur bebek dengan jarak-jarak antara telur-telur yang tidak terlalu jauh dengan bohlam lampu
6. Dinyalakanlah bohlam lampu tersebut
7. Diamatilah telur tersebut sampai adanya lanjut embrio pada ayam dan telur
8. Dan di catatlah hasil dari penelitian tersebut
9. Dibuat laporan dari penelitian
BAB VI
HASIL DAN PENDAHULUAN
4.1 Hasil Penelitian
Tabel Pengamatan
No Hari ke Tanggal Perubahan Perkembangan embrio ayam Perkembangan embrio bebek
1 Hari ke-4 Selasa,
21 Desember 2010 - Bintik merah
- Terdapat benang-benang warna merah - Bintik hitam
- Terdapat benang-benang warna merah
2 Hari ke-6 Kamis,
23 Desember 2010 - Terdapat mata
- Adanya kelaza - Terdapat mata yang lebih besar dari ayam
- Adanya kalaza
3 Hari ke-8 Sabtu,
25 Desember 2010 - Kelaza yang membesar
- Mata - Ada mata
- Hidung
- Mulut
- Jaringan
- Pernapasan
- Selaput cairan menutup
4.2 Pembahasan Hasil Penelitian
Percobaan penelitian dari perkembangan lanjut embrio ayam dan wmbrio bebek memiliki perbedaan yaitu:
Hari ke-4
Selasa, 21 Desember 2010
Sejumlah proses pembentukan sel permulaan mulai terjadi yaitu pada hari keempat ini sudah mulai terlihatnya embrio pada ayam dan bebek, selain itu juga terdapat pada ayam adanya bintik yang berwarna merah sedangkan pada bebek adanya bintik yang berwarna hitam.
Hari ke-6
Kamis, 23 Desember 2010
Pada penelitian hari ke-6 yaitu setelah di teteaskannya telur ayam ini terdapat adanya mata yang berwarna hitam dan adanya terdapat kalaza. Sedangkan pad atelur bebek terdapat mata yang lebih tampak jelas dan ayam tampak lebih besar serta adanya juga kalaza yang banyak
Hari ke-8
Sabtu, 25 Desember 2010
Dan pada penetasan hari ke-8 pada telur ayam sudah memiliki kalaza yang makin membesar yang membungkus embrio dna mata yang kurang tampak, beda halnya pad atelur ayam, telur bebek ini sudah adanya mata, hidung, mulut, jaringan pernapasan dan selaput cairan yang menutupi pada embrio.
Dari hasil pengamatan jelas dapat disini embrio ayam berbeda dengan embrio bebek, yaitu perkembangan lanjut embrio bebek lebih cepat dari pada perkembangan lanjut embrio ayam. Mungkin hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhinya. Ini menurut Surjono Tienwjati. 2001, yaitu adanya yang mempengaruhinya yaitu suhu lingkungan, intensitas cahaya, medium, jarak lampu terhadap embrio.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari penelitian ini yaitu:
• Pengetesan fertilisasi telur adalah suatu hal yang perlu dilakukan. Hal ini terutama diperlukan untuk menentukan fertile yang ditetaskan.
• Praktikan dapat membuktikan perbedaan antara embrio telur ayam dan embrio telur bebek.
• Faktor yang mempengaruhi perkembangan lanjut embrio telur ayam dan embrio telur bebek yaitu:
- Suhu lingkungan
- Intensitas cahaya
- Medium
- Jarak lampu terhadap embrio
• Pada saat test fertilitas, maka hanya telur yang ada bintik hitam dan jalur-jalur darah yang akan terus ditetaskan.
• Pada saat penetasan telur, praktikan mengamati adanya perbedaan yaitu pada telur ayam embrionya berwarna merah sedangkan pada telur bebek embrionya berwarna hitam.
5.2 Saran
Adapun dari penelitian ini disini saya dapat menyarankan yaitu: Pada penelitian mengenai perkembangan lanjut embrio ayam dan bebek seharusnya masa pengeramannya selam 21 hari tetapi pada penelitian punya saya itu dilakukan hanya selam 8 hari saja, waktu yang tidak memungkinkan serta pada hari ke-4 embrio sudah terlihat.
DAFTAR RUJUKAN
Admin Ludi, dkk. 2010. Pengetesan Fertilisasi Telur. Jakarta: Gramedia
Anonim. A. 2009. Telur. Diakses 15 Desember 2010. http://imayes.geogle.co.id//mages/gbu: telur
Anonim. B. 2010. Sukses Menetaskan Telur. Diakses is November 2010. http://images.yahoo.co.id/induages: id&q: telur
Campbell, dkk. 2003. Selaput Ekstra Embrio dan Plasenta. Jakarta: Erlangga
Surjono, Tienlutt. 2001. Perkembangan Hewan. Jakarta: Universitas Terbuka
LAMPIRAN
FOTO AYAM FOTO BEBEK
Hari ke-4 Hari ke-4
Hari ke-6 Hari ke-6
Hari ke-8 Hari ke-8
EMBRIO AYAM DAN EMBRIO BEBEK
ASDOS PEMBIMBING: RITA YULIZA
OLEH:
ARENA UTAMA
A1C409050
PROGRAM STUDY PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2010/2011
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
DAFTAR GAMBAR ii
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR LAMPIRAN iv
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Hipotesis 1
1.4 Tujuan Hasil Penelitian 1
1.5 Manfaat Hasil Penelitian 2
BAB II KAJIAN PUSTAKA 3
2.2 Gambar dari Fertilisasi lanjut embrio telur 5
BAB III METODE PENELITIAN 9
3.1 Alat dan Bahan 9
3.2 Prosedur Kerja 9
BAB VI HASIL DAN PENDAHULUAN 10
4.1 Hasil Penelitian 10
4.2 Pembahasan Hasil Penelitian 10
BAB V PENUTUP 12
5.1 Kesimpulan 12
5.2 Saran 12
DAFTAR RUJUKAN 13
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Kardus yang sudah dibeli bohlam lampu 3
Gambar 2.2
Gambar dari fertilisasi lanjut embrio telur 5
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Tabel Faktor Perkembangan Lanjut Pada Embrio 4
Tabel 4.1
Tabel Hasil Pengamatan Perkembangan Lanjut Embrio Ayam
Dan Embrio Bebek 10
DAFTAR LAMPIRAN
FOTO TELUR AYAM
Gambar A.1
Selasa, 21 Desember 2010, Hari Ke-4
Gambar A.2
Kamis, 23 Desember 2010, Hari Ke-6
Gambar A.3
Sabtu, 25 Desember 2010. Hari Ke-8
FOTO TELUR BEBEK
Gambar B.1
Selasa, 21 Desember 2010, Hari Ke-4
Gambar B.2
Kamis, 23 Desember 2010, Hari Ke-6
Gambar B.3
Sabtu, 25 Desember 2010, Hari Ke-8
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Telur adalah salah satu bahan makanan hewani yang di konsumsi selain daging, ikan dan susu, umumnya yang dikonsumsi berasal dari jenis burung seperti ayam, bebek dan angsa.
Dalam kebanyakan burung dan reprilia, telur adalah zigot yang dihasilkan melalui fertilisasi sel telur dan fungsinya memelihara dan menjaga embrio. Telur-telur reptilia diselimuti kerak pelindung yang memiliki lubang yang sangat kecil agar hewan yang belum lahir tersebut dapat bernapas.
Untuk terjadinya suatu penetas pada telur ayam dan telur bebek ini serta mengetahui perkembangan lanjut embrio diperlukan adanya penelitian sendiri. Dan untuk dilakukan penelitian ini diharapkan agar kita dapat membandingkan perkembangan lanjut embrio ayam dan bebek. Dan diperlukan adanya pengalaman dan ketelitian dikarenakan ragu-ragu.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa tujuan dari penelitian tentang perkembangan lanjut embrio ayam dan bebek?
2. Apa saja manfaat dari penelitian ini?
3. Faktor penghambat dari penetasan telur?
4. Bagaimana fase-fase yang terjadi pada telur ayam dan telur bebek?
1.3 Hipotesis
“Embrio Telur Ayam Berbeda dengan Embrio Telur Bebek”
1.4 Tujuan Hasil Penelitian
a. Mempelajari berbagai perubahan bentuk tubuh dan bakal organ-organ yang berasal dari setiap lapisan lembaga.
b. Untuk membandingkan perkembangan lanjut embrio ayam dan bebek\
1.5 Manfaat Hasil Penelitian
a. Siswa dapat membandingkan lanjut embrio ayam dan bebek
b. Siswa dapat mengetahui dan mempelajari perubahan bentuk tubuh dan bakal organ yang berasal dari setiap lapisan lembaga
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Menurut Admin Ludi, Pengetesan fertilitas telur adalah suatu hal yang perlu dilakukan. Hal ini terutama diperlukan untuk menentukan jumlah telur yang fertile untuk terus ditetaskan sedangkan yang tidak fertile atau tidak bertunas harus disingkirkan karena tidak berguna dalam proses penetasan dan bahkan Cuma buang buang tenaga dan tempat saja. Padahal tempat yang ada dapat dimanfaatkan untuk telur telur fertile yang lain atau yang baru akan ditetaskan.
Tes fertilitas semacam ini tidak akan mempengaruhi perkembangan embrio telur, malah sebaliknya kita akan tahu seberapa normal perkembangan embrio didalam telur tersebut telah berkembang atau bertunas. Tatapi tetap sebagai hal yang terpenting dalam proses ini adalah mengetahui seberapa banyak telur yang fertile dan dapat menentukan langkah langkah yang diperlukan untuk telur yang tidak fertile terutama jika telur telur tersebut diberikan coretan / tulisan mengenai asal telur dan tanggal di telurkan oleh sang ayam maupun informasi asal kandangnya. (Admin Ludi, dkk. 2010:21)
2.1 Kardus Usang Sudah Diberi Bohlam Lampu
Ada beberapa istilah untuk alat melihat fertilitas telur disebut teropong telur atau tester atau candler. Alat ini mudah dibuat dengan cara menempatkan bohlam lampu dalam sebuah kotak atau silender yang dapat terbuat dari segala macam jenis baik kayu ataupun pralon 3 inch seperti pada gambar.
Cara membuatnya adalah dengan memotong pralon 3 inch sepanjang 20 cm dan menutup kedua ujungnya dengan kayu yang dibuat melingkar mengikuti pralon dan kemudian di mur. Bagian dalam diberikan fitting lampu dan sebuah bohlam lampu yang cukup terang (missal : 40 watt) dan satu ujung bagian atasnya pada bagian tengahnya diberikan lubang sebesar 2/5 besar diameter telur rata rata atau sekitar 2 cm.
Penggunaannya adalah dengan menyalakan bohlam lampu dan melalui lubang yang ada (pada bagian atasnya) diletakkan telur yang akan dilihat dengan cara menempelkan bagian bawah telur (bagian yang lebih tajam dari telur) ke lubang dan melihat perkembangan yang ada di dalam telur. Cara yang paling baik adalah dengan menggunakan alat ini pada ruangan yang gelap sehingga bagian dalam telur yang terkena bias cahaya lampu dapat lebih jelas terlihat.
Menurut Surjono, Tienlujati. 2001, adanya faktor-faktor yang mempengaruhinya. Perkembangan lanjut pada embrio telur ayam dan embrio telur bebek.
• Tabel Faktor Perkembangan Lanjut Pada Embrio
No Faktor yang mempengaruhi
1
2
3
4 Suhu lingkungan
Intensitas cahaya
Medium
Jarak lampu terhadap embrio
Telur biasanya di test setelah 5 – 7 hari setelah di tempatkan dalam incubator. Telur dengan kulit yang putih seperti telur ayam kampung akan lebih mudah dilihat daripada telur negri atau yang warna kulitnya cokalat atau warna lainnya.
Pada saat test fertilitas, maka hanya telur yang ada bintik hitam dan jalur jalur darah yang halus yang akan terus di tetaskan. Tetapi singkirkan telur telur yang ada pita darahnya, tidak ada perubahan (tetap tidak ada perkembangan), ada blok kehitaman karena mati atau seperti contoh pada gambar berikut:
2.2 Gambar dari Fertilisasi lanjut embrio telur
Apabila karena kurang pengalaman atau karena ragu ragu seperti missal menurut pengalaman kami perkembangan embrio kadang tidak terlihat jelas di bagian pinggir telur karena perkembangannya ada di tengah telur. Keadaan ini akan tampak seakan akan telur tidak berkembang tetpi nyatanya berkembang dengan baik.
Dalam kasus tersebut maka hal yang bijaksana adalah dengan mengembalikan telur telur tersebut kedalam incubator dan test kembali pada hari ke 10 atau 14 misalnya. Jika ternyata berkembang maka telur terus di tetaskan tetapi bila tidak maka harus dibuang. (Campble, 2003: 19)
Masa pengeraman selama 21 hari merupakan masa yang kritis untuk menentukan menetasnya seekor anak ayam lagi di dunia ini. Embrio di dalam telur ini tumbuh secara luar biasa setiap harinya sampai akhirnya menetas menjadi anak ayam dan menghirup udara dunia. Dengan mengetahui perkembangan embrio semasa pengeraman harapannya adalah hasil yang kita capai nantinya (daya tetas) lebih maksimal dan sesuai harapan.
Hari ke-1
Sejumlah proses pembentukan sel permulaan mulai terjadi. Sel permulaan untuk system pencernaan mulai terbentuk pada jam ke-18. Pada jam-jam berikutnya, secara berturut-turut sampai dengan jam ke-24, mulai juga terbentuk sel permulaan untuk jaringan otak, sel permulaan untuk jaringan tulang belakang, formasi hubungan antara jaringan otak dan jaringan syaraf, formasi bagian kepala, sel permulaan untuk darah, dan formasi awal syaraf mata. Para penetas yang sudah berpengalaman akan mampu membedakan telur fertile dan telur tidak fertile dihari ke-1 ini.
Hari ke-2
Embrio mulai bergeser ke sisi kiri, dan saluran darah mulai terlihat pada bagian kuning telur. Perkembangan sel dari jam ke-25 sampai jam ke -48 secara berurutan adalah pembentukan formasi pembuluh darah halus dan jantung, seluruh jaringan otak mulai terbentuk dan jantung mulai berdetak, jaringan pendengaran mulai terbentuk, selaput cairan mulai terlihat dan mulai juga terbentuk formasi tenggorokan.
Hari ke-3
Dimulainya pembentukan formasi hidung , sayap, kaki, dan jaringan pernafasan. Pada masa ini, selaput cairan juga sudah menutup seluruh bagian embrio. Peneropongan telur pada hari ke-3 biasanya sudah terlihat jelas mana telur yang berembrio dan mana telur yang kosong atau embrio mati.
Hari ke-4
Sel permulaan untuk lidah mulai terbentuk. Pada masa ini embrio terpisah seluruhnya dari kuning telur dan berputar ke kiri. Sementara itu jaringan saluran pernafasan terlihat mulai menembus selaput cairan.
Hari ke-5
Saluran pencernaan dan tembolok mulai terbentuk. Pada masa ini terbentuk pula jaringan reproduksi. Karenanya sudah mulai dapat juga ditentukan jenis kelaminnya. Penetas yang berpengalaman akan memanfaatkan hari ini untuk pemisahan telur sesuai jenis kelamin terutama pada burung puyuh dan itik.
Hari ke-6
Pembentukan paruh dimulai. Begitu juga dengan kaki dan sayap. Selain itu, embrio mulai melakukan gerakan-gerakan
Hari ke-7, ke-8, dank e-9
Jari kaki dan sayap terlihat mulai terbentuk. Selain itu, perut mulai menonjol karena jeroannya mulai berkembang. Pembentukan bulu juga dimulai. Pada masa-masa ini, embrio sudah seperti burung, dan mulutnya terlihat mulai membuka
Hari ke-10 dan ke-11
Paruh mulai mengeras, jari-jari kaki sudah mulai sepenuhnya terpisah, dan pori-pori kulit tubuh mulai tampak
Hari ke-12
Jari-jari kaki sudah terbentuk sepenuhnya dan bulu pertama mulai muncul
Hari ke-13 dan ke-14
Sisik dan kuku jari kaki mulai terbentuk. Tubuh pun sudah sepenuhnya ditumbuhi bulu. Pada hari ke-14 embrio berputar sehingga kepalanya tepat berada di bagian telur yang tumpul
Hari ke-15
Jaringan usus mulai terbentuk di dalam badan embrio
Hari ke-16 dan ke-17
Sisik kaki, kuku dan paruh semakin mengeras. Tubuh embrio sudah sepenuhnya tertutupi oleh bulu yang tumbuh. Putih telur sudah tidak ada lagi, dan kuning telur meningkat fungsinya sebagai bahan makanan yang sangat penting bagi embrio. Selain itu, paruh sudah mengarah ke rongga kantung udara, selaput cairan mulai berkurang, dan embrio mulai melakukan persiapan untuk bernapas
Hari ke-18 dan ke-19
Pertumbuhan embrio sudah mendekati sempurna. Kuning telur mulai masuk ke dalam rongga perut melalui saluran tali pusat. Embrio sudah semakin besar sehingga sudah memenuhi seluruh rongga telur kecuali rongga kantung udara. Makanya ketika peneropongan telur dilakukan akan terlihat gelap sepenuhnya kecuali kantung udara.
Hari ke-20
Kuning telur sudah masuk sepenuhnya ke dalam tubuh embrio. Embrio yang hampir menjadi anak ayam ini menembus selaput cairan, dan mulai bernapas menggunakan udara di kantung udara. Saluran pernapasan mulai berfungsi dan bekerja sempurna. Ketika waktu peneropongan kita dapatkan kantung udara yang juga gelap maka dapat dipastikan bahwa embrio tersebut telah mati.
Hari ke-21
Anak ayam menembus lapisan kulit telur (pipping) dan pada akhirnya menetas. Seluruh kegiatan di atas (candling)dapat kita lakukan dengan bantuan alat peneropong telur . Prinsip kerja alat ini adalah memanfaatkan pantulah cahaya dari lampu untuk mengetahui isi telur. (Anonim. B. 2010:1)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang diperlukan di antara lain yaitu:
a. Telur ayam dan bebek yang baru di buahi
b. Kardus dua buah
c. Bohlam lampu 5 watt 2 buah
d. Fiting lampu
e. Sekam
f. Kabel lampu
3.2 Prosedur Kerja
Adapun langkah-langkah yang harus di perhatikan pada saat penelitian ini yaitu:
1. Disiapkanlah alat-alat dan bahannya
2. Sebuah fiting lampu di beri bohlam lampu yang cukup terang yaitu (misalnya 5 watt)
3. Dimasukkan jerami kedalam masing-masing kardus yang berbeda lalu ditambahkannya lagi sekam diatasnya
4. Di letakkannya fitting lampu dan sebuah bohlam di bagian ujung atasnya pada setiap incubator
5. Dimasukan kedua telur tersebut yaitu telur ayam dan telur bebek dengan jarak-jarak antara telur-telur yang tidak terlalu jauh dengan bohlam lampu
6. Dinyalakanlah bohlam lampu tersebut
7. Diamatilah telur tersebut sampai adanya lanjut embrio pada ayam dan telur
8. Dan di catatlah hasil dari penelitian tersebut
9. Dibuat laporan dari penelitian
BAB VI
HASIL DAN PENDAHULUAN
4.1 Hasil Penelitian
Tabel Pengamatan
No Hari ke Tanggal Perubahan Perkembangan embrio ayam Perkembangan embrio bebek
1 Hari ke-4 Selasa,
21 Desember 2010 - Bintik merah
- Terdapat benang-benang warna merah - Bintik hitam
- Terdapat benang-benang warna merah
2 Hari ke-6 Kamis,
23 Desember 2010 - Terdapat mata
- Adanya kelaza - Terdapat mata yang lebih besar dari ayam
- Adanya kalaza
3 Hari ke-8 Sabtu,
25 Desember 2010 - Kelaza yang membesar
- Mata - Ada mata
- Hidung
- Mulut
- Jaringan
- Pernapasan
- Selaput cairan menutup
4.2 Pembahasan Hasil Penelitian
Percobaan penelitian dari perkembangan lanjut embrio ayam dan wmbrio bebek memiliki perbedaan yaitu:
Hari ke-4
Selasa, 21 Desember 2010
Sejumlah proses pembentukan sel permulaan mulai terjadi yaitu pada hari keempat ini sudah mulai terlihatnya embrio pada ayam dan bebek, selain itu juga terdapat pada ayam adanya bintik yang berwarna merah sedangkan pada bebek adanya bintik yang berwarna hitam.
Hari ke-6
Kamis, 23 Desember 2010
Pada penelitian hari ke-6 yaitu setelah di teteaskannya telur ayam ini terdapat adanya mata yang berwarna hitam dan adanya terdapat kalaza. Sedangkan pad atelur bebek terdapat mata yang lebih tampak jelas dan ayam tampak lebih besar serta adanya juga kalaza yang banyak
Hari ke-8
Sabtu, 25 Desember 2010
Dan pada penetasan hari ke-8 pada telur ayam sudah memiliki kalaza yang makin membesar yang membungkus embrio dna mata yang kurang tampak, beda halnya pad atelur ayam, telur bebek ini sudah adanya mata, hidung, mulut, jaringan pernapasan dan selaput cairan yang menutupi pada embrio.
Dari hasil pengamatan jelas dapat disini embrio ayam berbeda dengan embrio bebek, yaitu perkembangan lanjut embrio bebek lebih cepat dari pada perkembangan lanjut embrio ayam. Mungkin hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhinya. Ini menurut Surjono Tienwjati. 2001, yaitu adanya yang mempengaruhinya yaitu suhu lingkungan, intensitas cahaya, medium, jarak lampu terhadap embrio.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari penelitian ini yaitu:
• Pengetesan fertilisasi telur adalah suatu hal yang perlu dilakukan. Hal ini terutama diperlukan untuk menentukan fertile yang ditetaskan.
• Praktikan dapat membuktikan perbedaan antara embrio telur ayam dan embrio telur bebek.
• Faktor yang mempengaruhi perkembangan lanjut embrio telur ayam dan embrio telur bebek yaitu:
- Suhu lingkungan
- Intensitas cahaya
- Medium
- Jarak lampu terhadap embrio
• Pada saat test fertilitas, maka hanya telur yang ada bintik hitam dan jalur-jalur darah yang akan terus ditetaskan.
• Pada saat penetasan telur, praktikan mengamati adanya perbedaan yaitu pada telur ayam embrionya berwarna merah sedangkan pada telur bebek embrionya berwarna hitam.
5.2 Saran
Adapun dari penelitian ini disini saya dapat menyarankan yaitu: Pada penelitian mengenai perkembangan lanjut embrio ayam dan bebek seharusnya masa pengeramannya selam 21 hari tetapi pada penelitian punya saya itu dilakukan hanya selam 8 hari saja, waktu yang tidak memungkinkan serta pada hari ke-4 embrio sudah terlihat.
DAFTAR RUJUKAN
Admin Ludi, dkk. 2010. Pengetesan Fertilisasi Telur. Jakarta: Gramedia
Anonim. A. 2009. Telur. Diakses 15 Desember 2010. http://imayes.geogle.co.id//mages/gbu: telur
Anonim. B. 2010. Sukses Menetaskan Telur. Diakses is November 2010. http://images.yahoo.co.id/induages: id&q: telur
Campbell, dkk. 2003. Selaput Ekstra Embrio dan Plasenta. Jakarta: Erlangga
Surjono, Tienlutt. 2001. Perkembangan Hewan. Jakarta: Universitas Terbuka
LAMPIRAN
FOTO AYAM FOTO BEBEK
Hari ke-4 Hari ke-4
Hari ke-6 Hari ke-6
Hari ke-8 Hari ke-8
Langganan:
Postingan (Atom)