Selasa, 15 Februari 2011

Pengaruh pemberian pakan alami, terhadap pertumbuhan dan keelangsungan hidup larva ikan semah. Oleh Zamhari

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang
Perairan Danau dan aliran-aliran Sungai yang berarus deras disekitar Danau Kerinci serta di perbukitan yang sungainya jernih merupakan habitat alami ikan semah (Tor douronensis Blkr) yang berada di Kabupaten Kerinci. Ikan semah di Sungai-sungai disekitar Danau Kerinci menurut pengamatan di lapangan, populasinya sudah sangat rendah, hal ini ditunjukkan dengan gejala-gejala semakin sukarnya ikan tersebut ditangkap, pola distribusinya yang mengelompok serta semakin kecilnya ikan yang ditangkap (Dede dkk, 1995).
Adapun penangkapan yang dilakukan oleh masyarakat karena nilai ekonomi ikan semah tersebut tergolong tinggi. Ikan semah merupakan ikan konsumsi yang dagingnya tebal, rasanya enak, manis dan kaya akan minyak ikan,dan untuk kesehatan karena mempunyai kandungan gizi yang tinggi dan kaya asam lemak omega-3 yang dapat mengurangi resiko serangan jantung (Haryono, 2006).
Pada saat ini permasalahan yang dihadapi adalah keberadaan jenis ikan semah sudah mulai terancam punah, karena penangkapan secara intensif berjalan terus. Meskipun dilaporkan masih adanya ikan semah tetapi karena intensitas penangkapan yang semakin tinggi menyebabkan populasi ikan ini terancam kelestariannya, sedangkan kegiatan budidaya untuk pembesaran dan pemijahan untuk menghasilkan larva ikan semah belum maksimal (Haryono dan Subagja, 2008).
Pada umumnya, stadium larva ikan merupakan masa yang sangat penting dan kritis karena pada stadium ini larva ikan sangat sensitif terhadap ketersedian pakan dan faktor lingkungan seperti serangan penyakit. Hal ini disebabkan larva ikan belum dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan, dengan sistem pencernaan yang belum sempurna, terutama sekali larva ikan belum mempunyai lambung dan aktifitas enzimnya belum optimal sehingga perlu di berikan pakanan alami yang mengandung enzim pencernaan yang dapat membantu proses pencernaan makanan pada larva (Muchlisin dkk, 2003).
Usaha domestifikasi dan pembenihan ikan semah telah dilakukan dan telah berhasil mendapatkan benih dalam jumlah yang mencukupi, tapi belum pernah dilakukan pemberian pakan yang sesuai dengan larva/benih agar kelangsungan hidup larva/benih ikan semah lebih optimal (Syandri dan Basri, 1999).
Keberhasilan memperoleh jumlah larva ikan semah yang mengcukupi tidak berguna, jika larva ikan semah yang dihasilkan tidak dapat dipeliharan dengan baik dan pemberian pakan yang tidak sesuai, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian dalam pemberian pakan yang optimal dalam pemeliharaan larva ikan semah .Untuk mengetahui potensi ikan semah sudah seharusnya dilakukan penelitian yang meliputi pemeliharaan larva dan benih sehingga produksinya dapat ditingkatkan dan pertumbuhannya dapat dijadikan acuan dalam usaha budidaya. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Pengaruh Pemberian Pakan Alami Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Larva Ikan Semah (Tor douronensis Blkr).



1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dapat ditentukan rumusan masalah sebagai berikut : Apakah pakan alami berpengruh terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan semah (Tor douronensis Blkr) serta jenis pakan alami yang optimal untuk pertumbuhan larva ikan semah.

1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui
1. Pengaruh pakan alami terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan semah.
2. Jenis pakan alami yang optimal untuk pertumbuhan larva ikan semah.

1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Memberikan informasi kepada para pembenih ikan semah tentang jenis pakan yang optimal bagi pertumbuhan larva/benih ikan semah.
2. Sebagai penunjang praktikum perkembangan dan fisiologi hewan.

1.5 Hipotesis
Hipotesis (H₀) = Tidak ada pengaruh pemberian pakan alami yang berbeda terhadap pertumbuhan dn kelangsungan hidup Larva Ikan Semah (Tor douronensis Blkr)
Hipotesis (Hi) = Ada pengaruh pemberian pakan alami yang berbeda terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan semah (Tor douronensis Blkr)


BAB II
KAJIAN PUSTAKA


2.1. Biologi Ikan Semah (Tor douronensis)
2.1.1 Klasifikasi Ikan Semah
Ikan semah (Tor douronensis) dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Actinopterygii
Subclass : Neopterygii
Order : Cypriniformes
Family : Cyprinidae
Genus : Tor
Species : Tor douronensis Blkr









Gambar 2.1. Ikan Semah (Tor douronensis Blkr)

2.1.2 Morfologi
Ikan semah mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: kepala simetris, badan besisik, garis rusuk sempurna, terdiri dari 23 keping sisik yang terletak diatas sirip dada dan melewati pertengahan ekor, sirip punggung terdiri dari 1 jari-jari keras licin dan 8 jari-jari lemah bercabang, permukaan punggung bertepatan dengan permukaan sirip perut, sirip dubur dengan 5 jari-jari lemah bercabang dan lebih rendah dari sirip punggung, mata tidak berkelopak, mempunyai 4 helai sungut mengelilingi mulut, mulut agak dapat disembulkan terletak dibawah (Syandri dan Basri, 1999).

2.1.3 Habitat dan Perilaku Makan
Habitat asli ikan semah umumnya di Danau dan Sungai di daerah perbukitan dengan air yang jernih dan berarus kuat, ikan semah bersifat pemakan segalanya atau amnivora. Di habitat aslinya, ikan semah tersebut memakan tumbuhan dan hewan yang terdapat di substrat/kerikil, sedangkan pada kondisi ex-situ memakan cacing, pellet dan lain-lain yang diberikan oleh para pembenih (Haryono dan Subagja, 2008). Pola penyebaran ikan semah merupakan pola pensesuaian sesuai dengan tingkatan atau kelompok umur dalam perkembangan hidupnya, dari stadium larva sampai dewasa ( Dede dkk, 1993).

2.1.4 Reproduksi
Ikan semah termasuk biseksual, nisbah kelamin antara jantan dengan betina adalah 1 : 3. fekunditas berkisar anatara 5.870-28,499 butir dengan ukuran diameter telur 0.90-1.50 mm panjang gonads ikan semah dewasa berkisar antara 298-477 mm dengan bobot 137-272 gr. Ikan semah yang dipelihara secara terkontrol dan kerambah jaring apung dapat memanfaatkan pelet sebagai pakannya (Rizal, 2001).
Telur-telur diletakkan didaerah pinggiran lubuk yang kedalamannya kurang 0,5 m, berarus lambat (kurang dari 0,8 m/det), bersih dari kotoran dan lumut, bersih. Dasar terdiri dari pasir, kerikir sampai batuan (diameter 0,5 m) dan keadaan sidemen dan kualitas air yang berhubungan dengan banjir ( Dede dkk, 1993).

2.2 Pakan Ikan Semah
Di habitat aslinya, ikan semah memakan tumbuhan dan hewan yang terdapat di substrat/kerikil, sedangkan pada kondisi ex-situ memakan cacing, pellet dan lain-lain (Haryono, 2008) Semua jenis ikan membutuhkan zat-zat gizi yang baik terdiri dari protein, lemak, karbohidrat vitamin dan mineral. Jumlah gizi yang diperlukan tergantung pada jenis, ukuran lingkungan hidup dan stadia reproduksi (Djajasewaka, 1985). Pakan berfungsi sebagai sumber energi antara lain digunakan untuk pertahanan hidup, pertumbuhan dan proses perkembangbiakan (reproduksi).
Benih ikan semah yang baru menetas belum memerlukan pakan dari luar selama 4-5 hari dikarenakan masih memiliki cadangan kuning telur. Pada hari ke 6 benih semah memerlukan pakan yang tepat yaitu pakan alami untuk membantu pertumbuhannya.

2.3 Perkembangan Larva
Larva ikan adalah anak ikan yang masih dalam proses peralihann untuk menjadi bentuk definitive. Larva ikan yang baru menetas berbeda dengan induknya. Perbedaan antara lain terletak belum adanya anus, mulut, usus yang belum sempurna, insang dan gelembung renang. Dengan demikian organ-organ larva yang baru menetas belum terbentuk atau belum berfungsi secara sempurna dan mengalami perubahan bentuk sampai tingkat juvenile. pakan pokok larva yang sesuai adalah:
a. Pakan harus kecil.
b. Sesuai dengan bukaan mulut post larva.
c. Pakan tersebut harus bergizi.
d. Berupa pakan yang bergerak.
e. Mudah didapat dalam jumlah yang besar
f. Mengadung protein yang tinggi..

Kelangsungan hidup ikan adalah persentase ikan yang hidup dari seluruh ikan yang dipelihara setelah melewati masa pemeliharaan. Kelangsungan hidup ikan pada masa larva sangat ditentukan oleh tersediannya pakan dan daya tarik pakan juga berperan dalam kelulusan hidup larva ikan (Muchlisin dkk, 2003).
Larva ikan sangat menyukai makanan yang sesuai dengan bukaan mulutnya, ukuran pakan yang lebih kecil dari bukaan mulut larva akan berpengaruh terhadap jumlah biomassa pakan yang dimakan, sehingga larva tidak kenyang jika dibandingkan dengan ukuran pakan yang sesuai dengan bukaan mulut larva dengan aktivitas makan yang sama (Inansetyo dan Kurniastuty, 1995).

2.4. Pertumbuhan
Pertumbuhan ikan adalah perubahan bentuk ikan baik berat, panjang maupun volume yang disebabkan pertambahan waktu, ikan dapat tumbuh dengan baik jika jenis pakannya memiliki kandungan gizi lengkap, yang meliputi protein, lemak, karbohidrat, vitamin serta mineral dalam jumlah tertentu. Pertumbuhan ikan juga dipengaruhi oleh jumlah pakan yang diberikan setiap harinya.
Untuk tumbuh secara optimal larva ikan harus memakan pakan bergizi. (Djajasewaka, 1985) semua spesies ikan membutuhkan pakan yang terdiri dari protein dengan asam amino essensial, lemak sesnsial, karbohidrat, vitamin dan mineral. Banyaknya gizi yang dibutuhkan disamping tergantung pada spesies ikan, juga tergantung pada ukuran atau besarnya ikan serta lingkungan hidup ikan tersebut. Pakan merupakan sumber energi bagi kehidupan dan pertumbuhan ikan. Kandungan yang terpenting dalam pakan adalah protein. Jumlah dan kualitas protein mempengaruhi pertumbuhan ikan. Protein yang dibutuhkan dalam pakan pakan pada setiap jenis ikan berkisar 20-60%.
Mudjiman (1984) protein yang berasal dari Kuning Telur merupakan protein hewani, protein ini mudah dicerna oleh hewan. Tujuan utama pemberian makanan pada ikan secara umum adalah untuk mencapai pertumbuhan individu atau populasi, oleh karena itu ikan yang berhasil mendapatkan makanan akan mengalami pertumbuhan dan setelah bertambah besar akan mengubah makanan baik dalam ukuran maupun kualitas yang akhirnya akan mengikuti kebiasaan seperti induknya. Pada awal larva mortalitas tinggi karena terjadi proses pembentukan saluran pencernaan, pembentukkan alat-alat pernafasan tambahan dan proses perubahan makan dari kuning telur yang terdapat dalam tubuhnya beralih pada pakan yang terdapat diluar tubuhnya. Mortalitas akan lebih tinggi lagi apabila makanan disekitarnya kurang memadai (Djajasewaka, 1985).
Jauhari (1990) protein adalah salah satu nutrisi yang penting karena sebagai pembentuk jaringan tubuh. Giri dalam (Priyambodo) Kandungan protein sangat berpengaruh terhadap perumbuhan larva ikan.
Pertumbuhan individu akan terjadi bila ada kelebihan energi dan asam amino yang berasal dari pakan setelah digunakan tubuh untuk metabolisme, darah, pergerakkan, perawatan bagi tubuh atau pengganti sel-sel yang telah rusak. Pakan yang diberikan pada ikan tidak boleh melebihi kebutuhan hidupnya. Jumlah makanan yang dikonsumsi oleh seekor ikan secara umum berkisar antara 5 sampai dengan 6% dari berat tubuhnya perhari.
Pemberian pakan yang tepat dapat memacu pertumbuhan benih semah. Umumnya pakan alami yang mengandung kadar protein tinggi. Jenis pakan alami yang dapat diberikan pada benih semah antara lain:
1. Tubifex sp
Tubifex sp dikenal dengan nama cacing rambut atau cacing sutera merupakan jenis pakan alami yang disenangi oleh benih ikan. Cacing tubifex sp ini biasanya hidup di saluran air yang jernih dan sedikit mengalir dengan dasar perairan mengandung banyak bahan organik yang dijadikan makanannya. Komposisi zat gizi yang terdapat pada Tubifex yaitu protein 57%, lemak 13, 3% serat kasar 2,04% kadar air 87,19% dan kadar abu 3,6%. Tubuh cacing tubifek berukuran 5-15 mm, segmen-segmen tidak tampak (Priyambodo, 2000).
2. Artemia salina
Artemia mempunyai karapas yang tipis (1 mikron), lambat dalam berenang, biasa digunakan dalam perangsang selera, tinggi kandungan protein dan asam aminonya serta mengandung asam lemak esensial Kandungan gizi yang terdapat pada Artemia yaitu : protein 46%, lemak 1-20% serat kasar 1-20% kadar air 1-20% dan kadar abu 1-20% (Jusadi, 2003).

3. Kuning Telur
Menurut Isnanstyo dan Kuniastuty, 1995) kandungan protein yang dimiliki oleh kuning telur ayam ras 12%.

4. Dapnia
Daphnia merupakan pakan alami hidup yang merupakan pakan alami jenis zooplankton. Daphnia mampu hidup dalam air yang kandungan oksigennya sangat rendah. Pakannya terdiri dari bakteri, tumbuh-tumbuhan renik dan detritus (bahan organik yang sedang membusuk) (Inansetyo dan Kurniastuty, 1995). Adapun kandungan gizi yang terdapat dalam tubuh dapnia adalah kadar protein 40%, kadar lemak 8,00%, kadar serat kasar 2,58% dan kadar abu 4,00% (Priyambodo, 2000).

2.5 Kelangsungan Hidup
Berdasarkan penelitian Irmawan (1987), diperoleh informasi bahwa pada waktu larva berumur tiga hari banyak terjadi kematian, sehingga terjadi penurunan kelangsungan hidup biasa mencapai kira-kira 30% saja pada suhu 27oC. Setelah larva berumur tujuh hari, maka pertumbuhannya dapat ditingkatkan sampai umur empat belas hari.
Menurut Effendi (2004), kelangsungan hidup ikan adalah persentase ikan yang hidup dari seluruh ikan yang dipelihara setelah melewati masa pemeliharaan. Kelangsungan hidup ikan pada saat post larva sangat ditentukan oleh tersedianya makanan. Makanan yang diberikan akan sangat mempengaruhi kelangsungan hidup dalam pertumbuhan ikan. Ikan akan mengalami kematian apabila dalam waktu yang singkat tidak berhasil mendapatkan makanan, akibatnya akan terjadi kehabisan tenaga.

2.6 Kualitas Air
Air merupakan faktor yang sangat penting dan mempengaruhi kehidupan ikan maupun organisme lainnya. Parameter kualitas air yang umum berpangaruh terhadap pertumbuhan ikan adalah suhu, oksigen terlarut, karbon dioksida, pH dan amoniak (Arlia, 1994).
Air sebagai lingkungan tempat hidup organisme perairan harus mampu mendukung kehidupan dan pertumbuhan dari organisme tersebut. Sebagai salah satu faktor penting dalam operasional pemeliharaan larva, kualitas air perlu dijaga dalam kondisi prima, baik dalam aspek fisika, kimia dan biologi. Beberapa yang berpengaruh terhadap kehidupan ikan adalah suhu, oksigen terlarut, karbondioksida, pH dan amoniak (NH3).
Oksigen terlarut dalam air dibutuhkan sekali untuk berbagai proses dalam pertumbuhan ikan secara normal. Karena itu oksigen merupakan parameter kualitas air yang paling kritis dalam budidaya ikan. Jika kandungan oksigen kurang dari 2 ppm dalam waktu lebih dari 8 jam setiap harinya ini berbahaya bagi ikan akibatnya ikan bisa mati dalam keadan kekurangan oksigen (Boyd, 1996).
Suhu air berpengaruh terhadap jumlah makanan yang dikonsumsi untuk ikan dan ini mempengaruhi terhadap kegiatan metabolisme ikan, peningkatan suhu air akan diiringi oleh peningkatan laju metabolisme yang disebabkan karena meningkatnya konsumsi pakan sehingga akan meningkatkan pertumbuhannya. Namun demikian setiap organisme mempunyai suhu minimum, optimum dan maksimum untuk hidupnya, dan kemampuan untuk memyesuaikan diri sampai titik tertent.
Amoniak yang terdapat dikolam dan perairan lainya merupakan produk hasil metabolisme ikan dan senyawa organisme lainnya yang dirombak oleh bakteri yang ada diair (Boyd, 1996). Konsentrasi amoniak diperairan akan mengurai daya ikat haemoglobin terhadap oksigen yang akhirnya menyebabkan kematian pada ikan. Didaerah tropis disarankan kandungan amoniak yang baik untuk kelangsungan hidup ikan tidak melebihi 1 ppm (Djajasewaka, 1985).





BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian.
Jenis penelitian ini adalah penelitian experimen. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan yang diberikan berupa pemberian jenis pakan alami yaitu Artemia, kuning telur, Tubifex dan Daphnia.

3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah akuarium ukuran 15 x 30 x 15 cm sebanyak 16 buah, Timbangan elektrik, alat tulis , penggaris digunakan, dan Alat ukur kualitas air.

3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva ikan semah umur 1 minggu dengan panjang rata-rata 8 mm dan berat tubuh rata-rata 0,04 gram. Pakan yang di gunakan dalam penelitian ini adalah Artemia, Kuning Telur (control), cacing Tubifex dan Daphnia.

3.3 Pelaksanaan Penelitian
3.3.1 Persiapan penelitian
Kegiatan awal yang dilakukan adalah menyiapkan media penelitian yaitu akuarium sebanyak 16 buah dengan ukuran 15 cm x 30 cm x 15 cm. Akuarium tersebut dibersihkan, kemudian akuarium diisi air bersih, pada masing-masing akuarium diberikan aerasi sebagai suplai oksigen. Selanjutnya ke dalam masing-masing akuarium dimasukkan ikan uji dengan kepadatan 25 ekor/akuarium.

3.3.2 Penelitian
Selama waktu penelitian pada masing-masing ikan uji diberi pakan dengan frekuensi pemberian pakan 3 kali dalam sehari yaitu pada pukul 08.00, 17.00 dan 21.00 WIB dimana pemberian pakan secara ad libitum (pemberian pakan sampai kenyang) Adapun indikator kenyang pada larva ikan adalah larva ikan tidak merespon lagi pakan yang diberikan. Pakan yang diberikan pada masing-masing perlakuan berupa pakan alami yaitu Kuning Telur (Kontrol) Tubifex sp, Artemia, dan Daphnia diberikan sedikit demisedikit sampai ikan teresebut tidak mau makan lagi.
Pembersihan akuarium dengan menggunakan selang kecil dilakukan setiap pagi dan sore hari untuk membuang sisa-sisa pakan dan kotoran yang terdapat dalam akuarium. Penelitian dilakukan selama 30 hari.

3.3.3 Pengamatan
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah pertambahan berat, pertambahan panjang dan kelangsungan hidup ikan semah. Untuk pengamatan terhadap pertambahan berat dengan cara melakukan penimbangan ikan uji pada masing-masing perlakuan dengan menggunakan timbangan elektrik setiap 10 hari yang dilakukan pada awal penelitian, hari ke-10, ke 20 dan hari ke-30 atau akhir penelitian. Sedangkan pengukuran pertumbuhan panjang diukur mulai dari ujung mulut sampai ujung ekor dengan menggunakan penggaris dengan ketelitiannya 1 mm.
Untuk pengamatan kelangsungan hidup dilakukan setiap hari selama penelitian dan hasilnya dirata-rata pada akhir penelitian, disamping itu juga dilakukan pengamatan terhadap kualitas air yang dilakukan 2 kali selama penelitian yaitu pada awal dan akhir penelitian juga dirata-rata pada akhir penelitian.
Tabel 3.1 Tabel data pengamatan untuk setiap parameter yang akan diamati.
NO Paremeter Deskripsi
1. Berat Pegukuran berat yang dilakukan adalah pada awal penelitian, pada hari ke-10, pada hari ke-20 dan pada akhir penelitian yaitu pada hari ke-30. Adapun alat yang digunakan adalah timbangan elektrik.
2. Panjang Pengukuran panjang tubuh larva yang akan diukur adalah panjang secara keseluruhan atau panjang total yaitu dari ujung mulut sampai ujung ekor menggunakan penggaris.
3. Hidup Pengamatan kelangsungan hidup larva ikan dilakukan setiap hari untuk melihat jumlah larva ikan semah yang hidup selama penelitian dan dirata-ratakan pada akhir penelitian.


3.4 Data yang Diamati
1. Pertumbuhan Berat Mutlak sesuai dengan rumus yang dikemukan oleh Effendi(2004):
Wm = Wt – Wo
Keterangan rumus :
Wm : Pertumbuhan berat mutlak (gr)
Wt : Berat akhir larva ikan (gr)
Wo : Berat awal larva ikan (gr)

2. Pertumbuhan Panjang Mutlak sesuai dengan rumus yang dikemukan oleh Effendi (2004) :
Lm = Lt – Lo
Keterangan rumus :
Lm : Pertumbuhan Panjang mutlak (cm)
Lt : Panjang akhir larva ikan (cm)
Lo : Panjang awal larva ikan (cm)

3. Tingkat kelangsungan hidup sesuai dengan rumus yang dikemukakan oleh Effendi (2004) :
SR = Nt x 100%
No
Keterangan rumus :
SR : Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt : Jumlah total ikan hidup sampai akhir penelitian
No : Jumlah total ikan pada awal penelitian




3.5 Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam jika berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji Duncans pada tingkat kepercayaan 95% (α =0,05).

3.6. Waktu dan Tempat
Penelitian selama dua bulan, dari tanggal 26 Agustus sampai 26 Oktober 2010, dan tempat penelitian dilaksanakan di Balai Benih Ikan Sentral Kerinci Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi.











BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
4.1.1 Pertumbuhan Berat Mutlak
Data hasil pengamatan berat mutlak larva ikan semah dari masing-masing perlakuan selama penelitian disajikan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Rata-rata pertumbuhan berat mutlak (gram) larva ikan semah selama penelitian.

Perlakuan Rata-rata berat awal (Gram) Rata-rata berat akhir (Gram) Rata-rata berat mutlak (Gram)
Tubifek 0.04 0.635a 0.595a
Artemia 0.04 0.550b 0.510b
Daphnia 0.04 0.507c 0. 477 b
Kontrol 0.04 0.425d 0. 385 c
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf nyata 5% dan yang angaka di ikuti oleh hurup yang berbeda menunjukkan berbeda nyata.

Berdasarkan Tabel 4.1, bahwa hasil dari analisis sidik ragam pada taraf 5% untuk rata-rata berat awal tidak berbeda nyata dan sedangkan pada berat akhir antara perlakuan dan kontrol berbeda nyata, serta pada berat mutlak antara kontrol dan perlakuan juga menunjukan berbeda nyata. Rata-rata berat mutlak larva ikan semah selama penelitian menunjukan kontrol dengan perlakuan pemberian pakan alami Cacing Tubifex, Artemia dan Daphnia berbeda nyata.
Dari data terlihat bahwa rata-rata pertumbuhan berat mutlak larva ikan semah selama penelitian yang teringgi adalah perlakuan C (Pemberian pakan Tubifex) yaitu 0.595 gram diikuti perlakuan B (Pemberian pakan Artemia) yaitu 0.510 gram diikuti perlakuan D (Pemberian pakan Daphnia) yaitu 0.477 gram sedangkan yang terendah pada perlakuan A (Kontrol) Yaitu 0.385 gram.
Untuk lebih jelasnya, perbedaan rata-rata pertumbuhan berat mutlak larva ikan semah setiap perlakuan selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.1.


Gambar 4.1 Grafik Rata-rata Berat Larva Ikan Semah setiap 10 hari selama penelitian
( A : Kontrol , B : Artemia , C : Tubifex dan D : Daphnia).

Berdasarkan Grafik 4.1, pemberian pakan alami selama penelitian berpengeruh terhadap pertambahan berat larva ikan semah. Rata-rata pertambahan berat larva ikan semah paling tinggi adalah perlakuan C (pemberian pakan alami cacing Tubifex) yakni 0.635 gram, selanjutnya diikuti perlakuan B (pemberian pakan alami Artemia) yakni 0.55 gram, seterusnya dikuti perlakuan D dan kontrol yakni pemberian pakan alami Daphnia 0.517 gram dan kontrol 0.425 gram.

4.1.2 Pertumbuhan panjang Mutlak
Data hasil pengamatan panjang mutlak larva ikan semah dari masing-masing perlakuan selama penelitian disajikan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Rata-rata Pertumbuhan Panjang Mutlak (cm) larva ikan semah selama penelitian.

Perlakuan Rata-rata Panjang awal (Cm) Rata-rata Panjang akhir (Cm) Rata-rata Panjang mutlak (Cm)
Tubifex 0.8a 2.410a 1.600a
Artemia 0.8a 1.925b 1.125b
Daphnia 0.8a 1.875b 1.075c
Kontrol 0.8a 1.725c 0.925d
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf nyata 5% dan yang angaka di ikuti oleh hurup yang berbeda menunjukkan berbeda nyata.

Berdasarkan Tabel 4.2. bahwa hasil dari analisis sidik ragam pada taraf 5% untuk rata-rata berat awal tidak berbeda nyata dan sedangkan pada panjang akhir antara perlakuan dan kontrol berbeda nyata. Serta pada panjang mutlak antara kontrol dan perlakuan juga menunjukan berbeda nyata. Rata-rata panjang mutlak larva ikan semah selama penelitian menunjukan kontrol dengan perlakuan pemberian pakan alami Cacing Tubifex, Artemia dan Daphnia berbeda nyata.
Dari data terlihat bahwa rata-rata perumbuhan Panjang mutlak larva ikan semah selama penelitian yang teringgi adalah perlakuan C (Pemberian pakan Tubifex) yaitu 1.600 cm diikuti perlakuan B (Pemberian pakan Artemia) yaitu 1.125 cm diikuti perlakuan D (Pemberian pakan Daphnia) yaitu 1.075 cm sedangkan yang terendah pada perlakuan A (Kontrol) Yaitu 0.925 cm.
Untuk lebih jelasnya perbedaan rata-rata pertumbuhan panjang mutlak larva ikan semah setiap perlakuan selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.2
Gambar 4.2 Grafik Rata-rata panjang larva ikan semah setiap 10 hari selama penelitian
( A : Kontrol, B : Artemia, C : Tubifex dan D : Daphnia).

Berdasarkan Grafik 4.2, pemberian pakan alami selama penelitian berpengeruh terhadap pertambahan panjang larva ikan semah. Rata-rata pertambahan panjang larva ikan semah paling tinggi adalah perlakuan C (pemberian pakan alami cacing Tubifex) yakni 2.4 cm, selanjutnya diikuti perlakuan B (pemberian pakan alami Artemia) yakni 1.9 cm, seterusnya dikuti perlakuan D dan kontrol yakni pemberian pakan alami Daphnia 1.8 cm dan kontrol 1.7 cm.

4.1.3 Tingkat kelangsungan hidup.
Data hasil pengamatan kelangsunagn hidup larva ikan semah dari masing-masing perlakuan selama penelitian disajikan pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Rata-rata tingkat kelangsungan hidup (%) larva ikan semah selama penelitian

Perlakuan Tingkat kelangsungan hidup
Kuning Telur
Artemia
Tubifex
Daphnia 92%
92%
91%
90%

Berdasarkan Tabel 4.3, bahwa hasil dari analisis sidik ragam pada taraf 5% untuk rata-rata kelangsungan hidup larva ikan semah selama penelitian tidak berbeda nyata.
Untuk lebih jelasnya perbedaan rata-rata Tingkat kelangsungan hidup larva ikan semah selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.2 dibawah ini.
Gambar 4.2 Diagram kelangsungan hidup larva ikan semah selama
penelitian

Dari Diagram 4.2, dapat dilihat persentase dari kelangsungan hidup larva ikan semah selama penelitian. Berdasarkan diagram tersebut, rata-rata persentasi dari kelangsngan hidup larva ikan semah tidak berbeda nyata antara kontrol dengan perlakuan.

4.2 Pembahasan

4.2.1 Pertumbuhan Berat Mutlak
Dalam penelitian ini, berat merupakan salah satu parameter pengamatan. Berdasarkan Tabel 4.1, bahwa pakan yang paling baik adalah pada perlakuan C (pemberian pakan alami cacing tubifex) hal ini dikarenakan cacing Tubifek mengadung protein yang sangat tinggi yakni 57% yang digunakan larva ikan untuk pertumbuhannya. Menurut Jauhari (1990) protein adalah salah satu nutrisi yang penting karena sebagai pembentuk jaringan tubuh. Giri dalam (Akhmad, 2000) menambahkan, kandungan protein sangat berpengaruh terhadap perumbuhan larva ikan.
Selain faktor protein, faktor daya tarik makanan diduga juga memainkan peran yang penting dalam pertumbuhan larva. makanan yang memiliki daya tarik yang lebih baik akan dapat merangsang nafsu makan larva. sedang kuning telur merupakan pakan yang tidak aktif bergerak sehingga diduga hal inilah yang menyebabkan pertumbuhan pada perlakuan A (pemberian pakan kuning telur sebagai kontrol) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya, begitu juga dengan perlakuan B (pemberian pakan Artemia) dan perlakuan D (Pemberian pakan alami Daphnia) yang memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan berat yang rendah dibandingkan dengan perlakuan C (Pemberian pakan cacing Tubifex). Perlakuan A (kontol) memberikan pengaruh pertumbuhan berat yang paling rendah. Hal ini disebabkan Kuning telur memiliki kandungan protein sekitar 12% sehingga tidak mencukupi untuk menunjang pertumbuhan berat dan panjang larva ikan semah.

4.2.2 Pertumbuhan Panjang Mutlak
Pada penelitian ini, panjang juga merupakan parameter pengamatan. pada Tabel 4.2, menunjukan bahwa pertumbuhan panjang mutlak, terjadi perbedaan pertumbuhan ikan uji. Pertumbuhan panjang mutlak dipengaruhi oleh pemberian pakan alami yang berbeda pada masing-masing perlakuan. Pada perlakuan C (Pemberian pakan Tubifex) memiliki pertumbuhan panjang mutlak yang paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain dikarenakan kandungan protein yang dalam tubuh Tubifex tinggi yakni 57%. Pakan yang diberikan selain untuk pertambahan berat juga kelebihannya digunakan untuk pertumbuhan panjang. Djajasewaka (1985) ikan membutuhkan pakan untuk perumbuhan berat kelebihan dari pakan tersebut digunakan ikan untuk pertumbuhan panjangnya.
Dari segi kebiasaan makannya ikan semah tergolong omnivora dengan kecenderuang lebih menyukai makanan yang mengandung protein hewani (Suyanto, 1998). selain faktor protein makanan yang dimakan, faktor daya tarik makanan diduga juga memainkan peran penting dalam pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva. makanan yang memiliki daya tarik yang lebih baik akan dapat merangsang nafsu makan larva ikan. Bila makanan yang diberikan mengandung protein rendah, maka pertumbuhannya lambat (Rachmatun, 2005).

4.2.3 Kelangsungan hidup
Pada Tabel 4.3, bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan semah selama penelitian pada semua perlakuan cukup tinggi antara 90 – 92%. Persentase tingkat kelangsungan hidup yang paling tinggi terdapat pada perlakuan B (Pemberian pakan Artemia) dan perlakuan A (Pemberian pakan Kuning Telur sebagaia kontrol) 92%, perlakuan D (Pemberian pakan Daphnia) yaitu 91% serta yang paling rendah pada perlakuan C (Pemberian pakan Tubifex sp) yaitu 90%.
Setelah dilakukan Analisis menunjukkan pengaruh pemberian pakan alami yang berbeda terhadap larva ikan semah memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata, maka tidak dilakukan uji lanjut atau uji duncans.
Rendahnya kelangsungan hidup pada perlakuan C (Pemberian pakan Tubifex ) dibandingkan dengan perlakuan yang lain diduga disebabkan oleh tingginya kadar amoniak pada perlakuan C yang diberi pakan Tubifex, dimana sebagai data penunjang dalam penelitian ini maka dilakukan pengujian kualitas air media pemeliharaan ikan uji. Air sebagai lingkungan tempat organism hidup tersebut. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap larva ikan semah antara lain suhu, oksigen terlarut, pH dan Amoniak.
Suhu air selama penelitian berkiar antara 27-28 0C ini merupakan kisaran yang cukup baik untuk pertumbuhan ikan di daerah tropis. Hal ini didukung oleh pendapat Cholik (1986) bahwa ikan-ikan tropis dapat tumbuh dan berkembang baik pada kisaran suhu antara 25-300C dengan fluktuasi tidak lebih dari 40C. Menurut Djangkaru (1974), suhu yang optimal untuk selera makan ikan yaitu 26 -280C dengan perbedaan suhu, siang dan malam tidak lebih dari 5 C, sedangkan suhu yang layak untuk budidaya ikan didaerah tropis berkisar antara 25-300 C.
Kadar oksigen terlarut selama penelitian berkisar antara 2.2-2.67 ppm. Oksigen terlarut sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan, nafsu makan, sebaiknya kadar oksigen minimum adalah 2 ppm (Boyd, 1996). Setelah diukur kadar oksigen terlarut selama peneltian masih dalam tahap yang baik.
Tingkat keasaman air (pH) media pemeliharaan selama penelitian berkisar antara 7.2 berarti cukup baik untuk kehidupan ikan. Lingga (1985) menyatakan bahwa pH air yang ideal untuk pemeliharaan ikan berkisar antara 7.0-8,5.




















BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan
Dari hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.
1. Pemberian pakan alami yang berbeda terhadap larva ikan semah memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap pertumbuhan berat mutlak dan terhadap pertumbuhan panjang mutlak.
2. Pakan yang optimal pada penelitian ini adalah pakan alami cacing Tubifex karena menunjukkan pertumbuhan berat mutlak dan panjang mutlak yang tertinggi.

5.2 Saran
Dalam penelitian ini pakan yang optimal adalah Tubifex, oleh sebab itu dalam pemeliharaan larva ikan semah disarankan kepada masyarakat, khususnya kepada pengelola BBI Sentral Kerinci memberikan pakan alami Tubifex karena dapat menunjang pertumbuhan larva ikan semah tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Akhmad. G. A dan Wiwin. A. 2008. Aplikasi kombinasi beberapa pakan dalam pemeliharaan larva ikan kerapu pasir (Epinephelus corallicola). Jurnal Bul. Tek. Lit. Gondol. 7(1) : 21-26
Arlia. 1994. Penggunaan Vitamin E Pada Pakan Untuk Kematangan Ikan Kapiek (Puntius Schwanefeldi Blkr). Lembaga Penelitian Universitas Riau

Boyd. 1996. Water Quality in Warmwater Fish Pons, Department of Fisheries and Allied Aquaculture Auburn University. New York.

Cholik. 1986. Pengelolaan Kualitas Air Kolam. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta

Dede, I.R, Ben. B.A.M, Suarman, Budi, H, Sulastri dan Fahmijany, S. 1993. Konsep Pemulihan Populasi Ikan Semah (Tor douronensis) Secara Ekologis dan Berwawasan Bisnis di Perairan Darat Propinsi Jambi. Proyek Penelitia dan Pengembangan Sumber Daya Perairan Tawar. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Pusat Penelitian dan Pengembangan Limnologi.

Dede, I.R, Komar, S dan Awalina. 1995. Uji coba limnoteknlogi pemulihan populasi ikan semah (Tor douronensis) di batang merangin, kabupaten kerinci, propinsi jambi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bekerjasama Dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Forum Organisasi Profesi Ilmiah. Serpong.

Djajasewaka, H. 1985. Pakan Ikan. Penerbit C.V Yasaguna, Jakarta.

Effendi, M.I. 2004. Metode biologi perikanan. Penerbit Dwi Sri, Bogor.

Gruz, E. M dan I. L. Laudencia. 1976. Prelimenary Study on Protein Requitmen of Clarias battachus. Fisheries Research Journal 1 (2) : 43-45.

Haryono. 2006. Aspek Biologi Tambra (Tor tomroides Blkr) yang Eksotik dan Langka Sebagai Dasar Domestikasi. Jurnal Biodiversitas, Cibinong-Bogor. 7(2) : 195-198

Haryono dan Subagja, J. 2008. Populiasi dan Habitat Ikan Tambra, Tor tomroides (Bleeker,1854) di Perairan Kawasan Pegunungan Muller Kalimantan Tengah. Jurnal Biodeversitas. Bogor 16122. 9(4) : 306-309

Inansetyo dan Kurniastuty, 1995. Teknik Kultur Fitoplankton dan Zooplankton (Pakan Alami Untuk Organisme Laut ). Kanisius. Yogyakarta.

Irmawan, 1987. Tingkat Kematangan Gonad Beberapa Ikan Pelagis Kecil Dari Laut Jawa. Jur pen Perikanan Laut. (92) : 1-8

Jauhari, R.Z. 1990. Kebutuhan Protein dan Asam Amino Pada Ikan Teleostei. Fakultas Periknan. Universitas Brawijaya. Malang.

Jusadi, D. 2003. Bidang Budidaya Ikan Program Keahlian Budidaya Ikan Air Tawar Budidaya Pakan Alami Penetasan Artemia.

Rachmatun. 2005. Pengaruh dosis pakan terhadap pertumbuhan juvenil kakap merah, L argentimaculatus. Jurnal Perikanan budidaya berkelanjutan. 9(4) : 21-26

Muchlisin, Z.A, A. Damheori, R. Fauziah, Muhammadar dan M. Musman. 2003. Jurnal Pengaruh Beberapa Jenis Pakan Alami Terhadap Pertumbuhan Dan Kelulushidupan Larva Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus). Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh.

Mudjiman, A. 1984. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta

Priyambodo. K dan Wahyuningsih. T. 2000. Budi Daya Pakan Alami Untuk Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Rizal, M. 2001. Penambahan Vitamin E Dalam Pakan Buatan untuk Mempercepat Waktu Pematangan Gonad dan Nilai IOS Ikan Jambal Siam (Pangasius sutchi, Fow). Skripsi Fakultas Perikanan Universitas Bung Hatta Padang.

Suyanto, S.R. 1998. Budidaya Lele Dumbo. Penebar Swadaya. Jakarta.

Syandri, H dan Basri, Y. 1999. Penangkaran Ikan Garing (Tor douronensis) dengan System Jaring Apung di Danau Singkarak. Laporan Penelitian Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Universitas Bung Hatta. Padang.












Lampiran 1. Kondisi Penempatan Akuarium Selama Penelitian.
























Keterangan :
A : Perlakuan pemberian pakan alami Artemia
B : Perlakuan Pemberian pakan alami Kuning Telur
C : Perlakuan Pemberian pakan alami Tubifex
D : Perlakuan Pemberian Pakan alami Daphnia


Posisi akuarium pada penelitian
Lampiran 2. Gambaran cara pembersihan akuarium dan cara memberi makan larva ikan semah selam penelitian.


Cara pembersihan akuarium





Cara memberi makan larva ikan semah









Lampiran 3. Macam-macam pakan alami yang diberikan

Kuning Telur Tubifex
Daphnia Artemia















Lampiran 4. Cara penimbangan dan cara pengukuran panjang tubuh larva ikan.


























Lampiran 5. Rata-rata pertumbuhan Berat mutlak (Gram) Larva Ikan Semah selama penelitian

Perlakuan Ulangan Pengukuran
Lt Lo Lm
A 1
2
3
4 0.04
0.04
0.04
0.04 0.44
0.43
0.41
0.42 0.40
0.39
0.37
0.38
B 1
2
3
4 0.04
0.04
0.04
0.04 0.55
0.45
0.56
0.55 0.51
0.50
0.52
0.51
C 1
2
3
4 0.04
0.04
0.04
0.04 0.64
0.63
0.65
0.62 0.60
0.59
0.61
0.58
D 1
2
3
4 0.04
0.04
0.04
0.04 0.50
.052
0,53
0.52 0.46
0.48
0.49
0.48














Lampiran 6. Analisis statistik berat akhir dan berat mutlak larva ikan

Tabel hasil pengamtan pertumbuhan berat mutlak larva ikan semah.
Ulangan Perlakuan Total
Kontrol artemia Tubifex Daphnia
1
2
3
4 0.40
0.39
0.37
0.38 0.51
0.50
0.52
0.51 0.60
0.59
0.61
0.58 0.46
0.48
0.49
0.48
Jumlah 1.54 2.04 2.38 1.91 7.87
Rata-rata 0.385 0.510 0.595 0.477

db T = 16 -1 = 15

db P = 4 – 1 = 3

db G = 15 – 3 = 12

FK = (7.87)2
16
= 3.8710

JKT = (0.40)2 + (0. 39)2 ………………………+ (0.48)2 - 3.8710
= 3.9748 - 3.8710
= 0.1038

JKP = (1,54)2 + (2.04)2 + (2.38)2 + (1.91)2 - 3.8710
4
= 3.9748 – 3.8710
= 0.0965
JKG = JKT - JKP
= 0.1038 - 0.0965
= 0.0073

KTP = JKP
t - 1

= 0.0904 = 0.032
3
KTG = JKP
dbP
= 0.032 = 0.0006
12

F hit = KTP
KTG
= 0.032
0.0006
= 53.33*

Analisis sidik ragam berat mutlak larva ikan semah
Sumber
Keragaman Db JK KT F hitung F tabel 5%
Perlakuan
Galat 3
12 0.0965
0.0073 0.032
0.0006 53.33* 3.49
Total 15 0.1038
Keterangan : * = Berbeda nyata pada taraf 5%

Uji lanjut DMRT taraf 5%

Sy = √KTG V = 12
4
Sy = √0.0006 = 0.012
4

Perlakuan Rata-rata 2 3 4 Notasi
Tubifex 0.595 0.085* 0.188* 0.21* a
Daphnia 0.51 0.033ns 0.125* ab
Artemia 0.477 0.092* b
Kontrol 0.385 c
SSR 5% 3.08 3.23 3.33
LSR 5% 0.036 0.038 0.039





Lampiran 7. Rata-rata pertumbuhan panjang mutlak (cm) Larva Ikan Semah selama penelitian

Perlakuan Ulangan Pengukuran
Lt Lo Lm
Kontrol 1
2
3
4 0.8
0.8
0.8
0.8
1.7
1.8
1.8
1.6 0.9
1.0
1.0
0.8
artemia 1
2
3
4 0.8
0.8
0.8
0.8 1.9
2.1
1.8
1.9 1.1
1.3
1.0
1.1
Tubifex 1
2
3
4 0.8
0.8
0.8
0.8 2.3
2.5
2.4
2.4 1.5
1.7
1.0
0.8
Daphnia 1
2
3
4 0.8
0.8
0.8
0.8 1.9
1.8
2.1
1.7 1.1
1.0
1.3
0.9


Lampiran 9. Analisis statistik berat mutlak larva ikan semah selam penelitian

Tabel hasil pengamatan pertumbuhan berat akhir larva ikan semah
Ulangan Perlakuan total
Kontrol Artemia Tubifex daphnia
1
2
3
4 0.44
0.43
0.41
0.42 0.55
0.54
0.56
0.55 0.67
0.63
0.62
0.65 0.50
0.52
0.53
0.52
jumlah 1.7 2.2 2.57 2.07 8.54
Rata-rata 0.423 0.550 0.642 0.517


db T = 16 -1 = 15

db P = 4 – 1 = 3

db G = 15 – 3 = 12

FK = (8.54)2
16
= 4.558

JKT = (0.44)2 + (0.43)2 +………………………+ (0.52)2 - 4.558
= 4.657 – 4.558
= 0.099

JKP = (1.7)2 + (2.2)2 + (2.57) + (4.3)2 - 4.558
4
= 18.62 – 4.558
4
= 0.097

JKG = JKT - JKP
= 0.099 – 0.097
= 0.002

KTP = JKP
t - 1
= 0.097
3
= 0.032

KTG = JKG
dbG
= 0.002 = 0.0002
12
F hit = KTP = 0.032
KTG 0.0002
= 160

Sumber keragaman Db JK KT F Hit F Tabel
5 %
Perlakuan
Galat 3
12 0.097
0.002 0.032
0.0002 160* 3.49
Total 15 0.099

Uji lanjut DMRT pada taraf 5% percobaan berat akhir larva ikan semah

Sy : 0.007 V : 12

Perlakuan Rata-rata 2 3 4 Notasi
Tubifex
Artemia
Daphnia
Kontrol 0.642
0.55
0.517
0.425 0.092*
0.033*
0.092* 0.125*
0.125* 0.219* a
b
c
d
SSR 5% 3.08 3.23 3.33
LSR 5% 0.021 0.022 0.023



















Lampiran 8. Analisis statistik panjang akhir dan panjang mutlak larva ikan semah

Tabel hasil pengamatan pertumbuhan panjang mutlak larva ikan semah.

Ulangan Perlakuan Total
Kontrol Artemia Tubifex daphnia
1
2
3
4 1.7
1.8
1.8
1.6 1.9
2.1
1.8
1.9 2.3
2.5
2.4
2.4 1.9
1.8
2.1
1.7
Jumlah 6.9 7.7 9.6 7.5 31.7
Rata-rata 1.725 1.925 2.4 1.875

db T = 16 -1 = 15

db P = 4 – 1 = 3

db G = 15 – 3 = 12

FK = (31,7)2
16
= 1004.7 = 62.81
16

JKT = (1.7)2 + (1.8)2 ………………………+ (1.7)2 - 62.81
= 64.01 - 62.81
= 1.2

JKP = (6.9)2 + (7.7)2 + (9.6)2 + (7.5)2 - 62.81
4
= 47.61 + 59.29 + 92.16 + 56.25 – 62.81
4
= 63.83 – 62.81
= 1.02
JKG = JKT - JKP
= 1.2 - 1.02
= 0.18

KTP = JKP
t - 1
= 1.02
3
= 0.34

KTG = JKG
dbG
= 0.18
12
= 0.015

F hit = KTP = 0.34
KTG 0.015
= 22.67

Analisis sidik ragam panjang akhir larva ikan semah

Sumber keragaman Db JK KT Fhitung Ftabel 5%
Perlakuan
Galat 3
12 1.02
0.18 0.35
0.015 22.67* 3.49
Total 15 1.2
Keterangan * : berbeda nyata pada taraf 5%

Uji lanjut DMRT 5%

Sy = 0.061 V = 12
Perlakuan Rata-rata 2 3 4 Notasi
Tubifex
Artemia
Daphnia
Kontrol 2.4
1.925
1.875
1.725 0.475*
0.05ns
0.15ns 0.525*
0.2* 0.675* a
b
b
c
SSR 5% 3.08 3.23 3.33
LSR 5% 0.187 0.197 0.203















Tabel hasil pengamatan pertumbuhan Panjang mutlak larva ikan semah.

Ulangan Perlakuan Total
Kontrol artemia Tubifex Daphnia
1
2
3
4 0.9
1.0
1.0
0.8 1.1
1.3
1.0
1.1 1.5
1.7
1.6
1.6 1.1
1.0
1.3
0.9
Jumlah 3.7 4.5 6.4 4.3 18.9
Rata-rata 1.125 0.925 1.6 1.075

db T = 16 -1 = 15

db P = 4 – 1 = 3

db G = 15 – 3 = 12


FK = (18.9)2
16
= 22.3256

JKT = (0.9)2 + (1.0)2 ………………………+ (0.9)2 - 22.3256
= 23.53 - 22.3256
= 1.2044

JKP = (4.5)2 + ……………………+ (4.3)2 - 22.3256
4
= 23.3475 – 22.3256 = 1.0219
JKG = JKT - JKP
= 1.2044 - 1.0219
= 0.6825

KTP = JKP
t - 1
= 1.0219 = 0.3406
3

KTG = JKG
dbG
= 0.6825
12
= 0.057

F hit = KTP = 0.3406
KTG 0.057
= 5.97*
TABEL ANAVA
Sumber
Keragaman Db JK KT F Hit F Tabel
5%
Perlakuan
Sisa 3
12 1.0219
0.6825 0.3406
0.057 5.97* 3.49
Total 15 1.2044
Keterangan :
* = Berbeda nyata.
Uji lanjut DMRT taraf 5% percobaan Panjang Mutlak Larva Ikan Semah
Sy = √KT(G) V = 12
4
Sy = √0.0802 = 0.1415
4
Tabel Selisih nilai tengah antar perlakuan
Perlakuan Rata-rata 2 3 4 Notasi
Tubifek 1.6 0.475* 0.525* 0.675* a
Artemia 1.125 0.05* 0.2* b
Daphnia 1.075 0.15* c
Kontrol 0.925 d
SSR 5% 3.08 3.23 3.33
LSR 5% 0.043 0.045 0.046
Keterangan = * Berbeda nyata

Lampiran 9. Data pengamatan kelangsungan hidup Larva ikan semah awal dan akhir penelitian

Tabel kelangsungan hidup awal penelitian
Ulangan Perlakuan Total
A B C D
1
2
3
4 25
25
25
25 25
25
25
25 25
25
25
25 25
25
25
25
Jumlah 100 100 100 100 400
Rata-rata 25 25 25 25 100


Tabel Kelangsungan hidup pada akhir penelitian
Ulangan Perlakuan Total
A B C D
1
2
3
4 24
21
22
25 22
24
23
23 22
23
22
22 23
22
24
22
Jumlah 92 92 89 91 364
Rata-rata 23 23 22.25 22.75 91

Perlakuan A (Kontrol) = 23 x 100 = 92 %
25

Perlakuan B (Artemia) = 23 x 100 = 92 %
25


Perlakuan C (Tubifex) = 22.50 x 100 = 90 %
25

Perlakuan D (Daphnia) = 22.75 x 100 = 91 %
25



db T = 16 -1 = 15

db P = 4 – 1 = 3

db G = 15 – 3 = 12

FK = (364)2
16
= 8281

JKT = (24)2 + (21)2 ………………………+ (22)2 - 8281
= 8298 - 8281
= 17

JKP = (92)2 + ……………………+ (91)2 - 8281
4
= 8282.5 – 8281 = 1.5

JKG = JKT - JKP
= 17 - 1.5
= 15.5

KTP = JK(P)
Db(P)

= 1.5 = 0.5
3
KTG = JKG
dbG

= 15.5
12
= 1.29

F hit = KTP = 0.5
KTG 1.29
= 0.38ns

Sumber keragaman Db Jk Kt Fhit F tabel
5%
Perlakuan
galat 3
12 1.5
15.5 0.5
1.29 0.38ns 3.49
total 15 17
Keterangan ns : tidak berbeada nyata
Lampiran 10. Data Pengukuran kualitas air pada awal dan akhir penelitian

1. Pengukuran Pada Awal Penelitian
No. Parameter Satuan Hasil Pengukuran Sampel
A B C D
1 Oksigen (O2) Mg/l 2.67 2.67 2.67 2.67
2 NH3 Mg/l 0.12 0.12 0.12 0.12
3 Suhu 0C 270C 270C 270C 270C
5 pH ppm 7.5 7.5 7.5 7.5


2. Pengukuran Pada Akhir Penelitian
No. Parameter Satuan Hasil Pengukuran Sampel
A B C D
1 Oksigen (O2) Mg/l 2.51 2.6 2.2 2.4
2 NH3 Mg/l 0.35 0.28 0.54 0.30
3 Suhu 0C 270C 270C 270C 270C
5 pH ppm 7.6 7.2 7.8 7.7











RIWAYAT HIDUP

Mohd. Zamhari dilahirkan di Koto tuo Pl. Tengah Kecamatan Keliling Danau Kabupaten kerinci, pada tanggal 24 September 1985, anak bungsu dari 3 bersaudara dari pasangan ayahanda Drs. Syafruddin Umar dan ibunda Nurjalis, Menempuh jenjang pendidikan Sekolah Dasar di SD 151/III Koto Tuo Pl. Tengah Kec. Keliling Danau Kab Kerinci pada tahun 1992-1998. Melanjutkan studi di Sekolah Menengah Pertama di SMP N 1 Keliling Danau Kab. Kerinci pada tahun 1998-2001, setelah itu melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas di SMA N 1 Keliling Danau Kab Kerinci pada tahun 2001-2004.
Pada tahun 2004 melanjutkan studi di Universitas Jambi melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) dan mengambil Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Jurusan Pendidikan MIPA (Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) dengan Program Studi Pendidikan Biologi. Penulis melaksanakan PPL (Program Pengalaman Lapangan) pada tahun 2008 di SMA N 11 Kota Jambi dan Melaksanakan KUKERTA (Kuliah Kerja Nyata) di Desa Pidung Kecamatan Keliling Danau Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi.

Senin, 14 Februari 2011

PENGARUH PH AIR TERHADAP LAMA PENETASAN TELUR KODOK BANGKONG (BUFO MELANOSTICTUS)

PENGARUH PH AIR TERHADAP LAMA PENETASAN
TELUR KODOK BANGKONG (BUFO MELANOSTICTUS)

TONI SETIAWAN
A1C409047


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2010

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji syukur penulis curahkan kehadiraat Allah SWT yang mana sampai saat ini tak henti-hentinya memberikan limpahan nikmat kesehatan sehingga penulisan karya ilmiah dengan judul Pengaruh Ph Air Terhadap Lama Penetasan Telur Kodok (Bufo melanostictus) dapat terselesaikan dengan baik. Adapun penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai syarat untuk mengikuti ujian praktikum perkembangan hewan program studi pendidikan biologi universitas jambi tahun 2010
Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penyelesaian karya ilmiah ini terutama kepada Rita Yuliza selaku pembimbing sekaligus asisten praktikum perkembangan hewan penulis ucapkan terimakasih atas bimbingan , kritik dan sarannya sehingga karya ilmiah ini dapat menjadi karya ilmiah yang baik, dan kepada rekan-rekan sekelas yang telah mau bekerja sama dan memberikan bantuan. Semoga apa yang telah diberikan akan mendapat nilai pahala dari Allah SWT.
Dalam penulisan karya ilmiah ini mungkin terdapat kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya ilmiah ini dapat memberi manfaat



Jambi, Desember 2010

Penulis
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Kodok (Bufo melanostictus) mengawali hidupnya sebagai telur yang diletakkan induknya di air, di sarang busa, atau di tempat-tempat basah lainnya. Beberapa jenis kodok pegunungan menyimpan telurnya di antara lumut-lumut yang basah di pepohonan. Sementara jenis kodok hutan yang lain menitipkan telurnya di punggung kodok jantan yang lembab, yang akan selalu menjaga dan membawanya hingga menetas bahkan hingga menjadi kodok kecil.Sekali bertelur kodok bisa menghasilkan 5000-20000 telur, tergantung dari kualitas induk dan berlangsung sebanyak tiga kali dalam setahun.
Di alam bebas, telur kodok biasa di temui pada berbagai jenis perairan seperti air kolam, danau, dan payau. Berbagai jenis air di alam bebas memiliki tingkat PH atau keasaman air yang berbeda-beda seperti air payau yang memiliki tingkat keasaman yang lebih tinggi. Berbagai tingkat PH air di alam bebas tersebut di asumsikan akan memberikan pengaruh terhadap perkembangan telur kodok, oleh karena itu pada penelitian yang akan dilakukan penulis akan mengujikan lama penetasan telur kodok dari jenis Bufo melanostictus (kodok bangkong) pada berbagai jenis air dengan tingkat PH tertentu.

1.2 Rumusan Masalah
Apakah PH air berpengaruh terhadap lama penetasan telur kodok (Bufo melanostictus) ?

1.3 Hipotesis
PH air akan memberikan pengaruh terhadap lama penetasan telur kodok (Bufo melanostictus)

1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut
1. Untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh PH air terhadap lama penetasan telur kodok (Bufo melanostictus)
2. Untuk membuktikan hipotesis bahwa PH air akan meberikan pepngaruh terhadap lama penetasan telur kodok (Bufo melanostictus)
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah untuk menginformasikan kepada pembaca dan masyarakat tentang pengaruh PH air terhadap telur kodok bangkong (Bufo melanostictus)

BAB II KAJIAN PUSTAKA


A. Kodok Bangkong (Bufo melanostictus)
Kodok bangkong atau bangkong kolong adalah hewan Amphibia dari ordo Anura, bangkong ini juga dikenal dengan berbagai nama lain seperti kodok buduk (Jakarta), kodok berut, kodok brama (Jawa). Kodok ini menyebar luas mulai dari India, Republik Rakyat Cina selatan, Indochina sampai ke Indonesia bagian barat. Di Indonesia, dengan menumpang pergerakan manusia, hewan amfibi ini dengan cepat menyebar (menginvasi) dari pulau ke pulau. Kini bangkong kolong juga telah ditemui di Bali, Lombok, Sulawesi dan Papua barat (Hariyanto, 1994)

Kingdom Animalia
Phylum Chordata
Sub Phylum Vertebrata
Class Amphibia
Ordo Anura
Familia Bufonidae
Genus Bufo
Spesies Bufo melanotictus


Ordo Caudata merupakan satu-satunya Ordo yang tidak terdapat di Indonesia. Ordo Gymnophiona (diantaranya genus Cecilia) jarang di temukan di Indonesia. Cecilia pernah ditemukan di Banten yang berbentuk seperti cacing dengan kepala dan mata yang tampak jelas dan mudah di kelirukan dengan cacing. Ordo Anura merupakan Ordo yang paling banyak di temukan di Indonesia, yang termasuk dalam Ordo ini adalah katak dan kodok. Di Indonesia sampai saat ini telah di temukan sekitar 10 (sepuluh) familia, 6 (enam) familia di antaranya terdapat di Jawa. Familia-familia dari Ordo Anura yang ada di Indonesia adalah: Bombinataridae (Discoglossidae), Megapridae (Pelobatidae), Bufonidae, Lymnodynastidae, Myobatrachidae, Mycrohylidae, Pelodrydae, Ranidae, Rhacophoridae dan Pipidae (Iskandar, 1998 ).

B. Morfologi Kodok Bangkong
Kodok berukuran sedang, yang dewasa berperut gendut, berbintil-bintil kasar. Bangkong jantan panjangnya (dari moncong ke anus) 55-80 mm, betina 65-85 mm. Di atas kepala terdapat gigir keras menonjol yang bersambungan, mulai dari atas moncong; melewati atas, depan dan belakang mata; hingga di atas timpanum (gendang telinga). Gigir ini biasanya berwarna kehitaman. Sepasang kelenjar parotoid (kelenjar racun) yang besar panjang terdapat di atas tengkuk. Bagian punggung bervariasi warnanya antara coklat abu-abu gelap, kekuningan, kemerahan, sampai kehitaman. Ada pula yang dengan warna dasar kuning kecoklatan atau hitam keabu-abuan. Terdapat bintil-bintil kasar di punggung dengan ujung kehitaman. Sisi bawah tubuh putih keabu-abuan, berbintil-bintil agak kasar. Telapak tangan dan kaki dengan warna hitam atau kehitaman; tanpa selaput renang, atau kaki dengan selaput renang yang sangat pendek. Hewan jantan umumnya dengan dagu kusam kemerahan.









Kodok mudah di kenali dari tubuhnya yang tampak seperti berjongkol dengan 4 (empat) kaki untuk melompat, leher yang tidak jelas dan tanpa ekor, kaki belakang berfungsi untuk melompat, lebih panjang dari pada kaki depan yang pendek dan ramping. Kodok mempunyai kulit tubuh yang kasar, tertutup oleh tonjolan-tonjolan berduri di seluruh permukaan kulit, pada sisi tubuh terdapat lipatan kulit berkelenjar mulai dari belakang sampai di atas pangkal paha yang disebut lipatan dorsalateral. Ada juga lipatan yang serupa yang disebut lipatan supra timpatik yang mulai dari belakang mata memanjang di atas gendang telinga dan berakhir di dekat pangkal lengan. Pada kebanyakan jenis kodok betina mempunyai ukuran tubuh lebih besar dari pada kodok jantan (Iskandar, 1998).


C. Habitat Kodok Bangkong
Kodok sebagai umumnya amfibi, hidup selalu berasosiasi dengan dua habitat yaitu habitat air dan daratan. Daratan lebih banyak mereka butuhkan sewaktu memasuki stadia kecil (kodok muda) hingga dewasa, sedangkan pada waktu berudu lebih banyak memerlukan air sebagai habitatnya. Namun demikian, amfibia menghuni habitat yang sangat bervariasi dari tergenang di bawah air sampai yang hidup di pucuk pohon.
Distribusi kodok meliputi daerah tropis dan sub tropis, akan tetapi pertumbuhanya akan optimum apabila hidup pada daerah tropis. Walaupun kodok termasuk binatang berdarah dingin yang suhu tubuhnya mampu mengikuti suhu lingkungan, tetapi untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimal, suhu yang dikehendaki berkisar antara 26 °C – 33 °C. Di Indonesia penyebarannya sangat luas terdapat hampir di seluruh wilayah yang mencakup 10 (sepuluh) Ordo dan terdiri lebih dari 450 jenis, 6 (enam) di antaranya tercatat di Jawa, salah satunya dari familia Bufonidae (Iskandar, 2002).

D. Perilaku Hidup Bangkong Kolong
Bangkong kolong paling sering ditemukan di sekitar rumah. Melompat pendek-pendek, kodok ini keluar dari persembunyiannya di bawah tumpukan batu, kayu, atau di sudut-sudut dapur pada waktu magrib; dan kembali ke tempat semula di waktu subuh. Terkadang, tempat persembunyiannya itu dihuni bersama oleh sekelompok kodok besar dan kecil; sampai 6-7 ekor. Bangkong kolong kawin di kolam, danau dan payau atau bahkan genangan air yang menggenang cukup lama.

Bangkong ini kawin di kolam-kolam, selokan berair menggenang, atau belumbang, sering pada malam bulan purnama. Kodok jantan mengeluarkan suara yang ramai sebelum dan sehabis hujan untuk memanggil betinanya, kerapkali sampai pagi
Pada saat-saat seperti itu, dapat ditemukan beberapa pasang sampai puluhan pasang bangkong yang kawin bersamaan di satu kolam. Sering pula terjadi persaingan fisik yang berat di antara bangkong jantan untuk memperebutkan betina, terutama jika betinanya jauh lebih sedikit. Oleh sebab itu, si jantan akan memeluk erat-erat punggung betinanya selama prosesi perkawinannya. Kadang-kadang dijumpai pula beberapa bangkong yang mati karena luka-luka akibat kompetisi itu; luka di moncong hewan jantan, atau luka di ketiak hewan betina. Nampaknya kodok ini memiliki asosiasi yang erat dengan lingkungan hidup manusia. Dari waktu ke waktu, bangkong kolong terus memperluas daerah sebarannya mengikuti aktivitas manusia. Iskandar (1998) mencatat bahwa kodok ini tak pernah terdapat di dalam hutan hujan tropis.
Pada saat bereproduksi katak dewasa akan mencari lingkungan yang berair. Disana mereka meletakkan telurnya untuk dibuahi secara eksternal. Telur tersebut berkembang menjadi larva dan mencari nutrisi yang dibutuhkan dari lingkungannya, kemudian berkembang menjadi dewasa dengan bentuk tubuh yang memungkinkannya hidup di darat, sebuah proses yang dikenal dengan metamorfosis. Tidak seperti telur reptil dan burung, telur katak tidak memiliki cangkang dan selaput embrio. Sebaliknya telur katak hanya dilindungi oleh kapsul mukoid yang sangat permeabel sehingga telur katak harus berkembang di lingkungan yang sangat lembab atau berair.




BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Larutan dengan PH yang berbeda
- Larutan basa (NaOH) dengan PH 6
- Air dengan PH netral (7)
- Larutan asam (HCL) dengan PH 8
b. Telur kodok
c. Baskom plastic
d. Alat tulis

3.2 Prosedur Kerja
a. Disiapkan larutan NaOH, larutan HCL, dan air yang telah ditentukan PH-nya
b. Dimasukan berbagai larutan tersebut kedalam baskom plastik yang telah disediakan
c. Ditandai ketiga baskom tersebut sesuai dengan larutan yang ada didalamnya
d. Dimasukan telur kodok yang dari tempat asal dan umur yang sama kedalam 3 jenis larutan tersebut
e. Dihitung dan dicatat waktu yang diperlukan telur hingga menetas
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1 Hasil Penelitian

Adapun hasil penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut

Larutan/PH Lama Penetasan
NaOH (PH 6) 7 hari
H2O (PH 7) 5 hari
HCL (PH 8) 5 hari
Tabel 4.1 Hasil Henelitian


4.2 Pembahasan Hasil Penelitian
Dari hasil yang diperoleh, telur yang diletakan dalam air dan larutan HCL menetas pada waktu yang bersamaan yaitu menetas pada hari ke- 5 pengamatan. Menurut Susanto 1998, telur kodok tidak seperti telur reptile dan aves. Telur kodok tidak memiliki cangkang dan selaput embrio, sebaliknya telur kodok hanya dilindungi oleh kapsul mukoid (lendir) yang sangat permeable sehingga telur kodok dapat berkembang dengan baik di berbagai jenis air. Hal ini yang mempengaruhi telur kodok pada larutan HCL dengan konsentrasi PH 8 dapat berkembang dengan baik seperti telur yang diletakkan pada larutan H20. Berbeda dengan larutan HCL dan H2O, telur kodok pada larutan NaOH dengan konsenterasi PH 6 menetas lebih lama, yaitu 7 hari.
Menurut Iskandar 2002, Kodok berperan sangat penting sebagai indikator pencemaran lingkungan. Tingkat pencemaran lingkungan pada suatu daerah dapat dilihat dari jumlah populasi kodok yang dapat ditemukan di daerah tersebut. Latar belakang penggunaan kodok sebagai indikator lingkungan karena kodok merupakan salah satu mahluk purba yang telah ada sejah ribuan tahun lalu. Jadi kodok tetap exist dengan perubahan iklim bumi. Tentunya hanya pengaruh manusialah yang mungkin menyebabkan terancamnya populasi kodok. Salah satunya adalah pembuangan limbah berbahaya oleh manusia ke alam. Limbah berbahaya inilah yang bisa mengancam keberadaan kodok pada daerah yang tercemar. Selain itu, karena pentingnya kedudukan kodok dalam rantai makanan, maka pengurangan jumlah kodok akan menyebabkan terganggunya dinamika pertumbuhan predator kodok. Bahkan terganggunya populasi kodok dapat berakibat langsung dengan punahnya predator kodok. Akan tetapi yang lebih mengancam kehidupan kodok sebenarnya adalah kegiatan manusia yang banyak merusak habitat alami kodok, seperti hutan-hutan, sungai dan rawa-rawa. Apalagi kini penggunaan pestisida yang meluas di sawah-sawah juga merusak telur-telur dan berudu kodok, serta mengakibatkan cacat pada generasi kodok yang berikutnya.

BAB V PENUTUP

5. 1 Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. PH air berpengaruh terhadap lama penetasan telur kodok bangkong (Bufo melanostictus)
2. Hipotesis bahwa PH air berpengaruh terhadap lama penetasan telur kodok bangkong (Bufo melanostictus) adalah benar dan terbukti.
5.2 Saran
Kodok bangkong merupakan salah satu hewan yang berpengaruh terhadap pengendalian jumlah populasi serangga, berkurangnya populasi kodok bangkong akan berpengaruh terhadap pertumbuhan populasi serangga yang selanjutnya akan menggangu keseimbangan ekosistem, oleh karena itu untuk tetap menjaga kelestarian kodok bangkong hendaknya kita sebagai makhluk yang bertanggung jawab dapat mencegah terjadinya pencemaran lingkungan terutama lingkungan air.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2009. Bufo melanostictus. Ensiklopedia bebas. Wikipedia.org. Diakses
27 Desember 2010
Djoko T. Iskandar. 1998. Amfibi Jawa dan Bali. Jakarta : Gramedia
Duellman, William E., Schlager, Neil. (2003). "Animal Life Encyclopedia:
Volume 6 Amphibians". Thomson-Gale ISBN
Hariyanto, 1994. Budidaya Kodok Ijo Unggul. Surabaya: Karya Anda.
Iskandar, D.T. 2002. Biologi Amfibi Jawa dan Bali. Bogor: Puslitbang Biologi
LIPI
Susanto, Heru. 1998. Budidaya Kodok Unggul. Jakarta: Penebar Swadaya

Pengaruh Pemberian Lumut Gambut (Sphagnum Sp) Terhadap Perkembangan Panjang Kecebong

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Berudu atau kecebong adalah tahap pra-dewasa (larva) dalam daur hidup amfibia. Berudu eksklusif hidup di air dan berespirasi menggunakan insang, seperti ikan. Tahap akuatik (hidup di perairan) inilah yang membuat amfibia memperoleh namanya (amphibia = "hidup [pada tempat] berbeda-beda"). Kebanyakan berudu herbivora, memakan alga dan bagian-bagian tumbuhan. Beberapa spesies merupakan omnivora (pemakan segala). Hal ini lah yang melatar belakangi Penulis membuat Karya Ilmiah ini. Yang bejudul “Pengaruh pemberian Lumut Gambut (sphagnum sp.). terhadap perkembangan panjang kecebong”
Lumut umumnya merupakan tumbuhan kecil, biasanya hanya beberapa mm sampai beberapa cm saja. keberadaan lumut seringkali luput dari perhatian karena selain ukuranya yang kecil, manfaat lumut bagi manusia secara langsung juga belum banyak diketahui . namun demikian, lumut mempunyai peranan cukup penting bagi lingkungan dan beberapa jenis-jenis hewan dan tumbuhan lainya. Lapisan lumut yang tebal dipermukaan batang dapat membantu menangkap dan menyimpan air serta menjaga kelembapan hutan. Lumut juga menyediakan tempat hidup bagi tumbuhan epifit seperti berbagai jenis anggrek danpaku-pakuan serta bagi hewan-hewan kecil seperti katak, kadal, siput, dan berbagai jenis serangga.
Tumbuhan lumut adalah tumbuhan darat sejati, walaupun masih banyak yang menyukai tempat yang lembab dan basah (pada kulit kayu, batuan, dan tembok). Lumut yang hidup di air jarang kita jumpai, kecuali lumut gambut (sphagnum sp.). walaupun demikian lumut masih sangat memerlukan air, tanpa air organ reproduksinya tidak dapat masak atau pecah (merekah).
Pada lumut, akar yang sebenarnya tidak ada, tumbuhan ini melekat dengan perantaraan Rhizoid (akar semu), oleh karena itu tumbuhan lumut merupakan bentuk peralihan antara tumbuhan ber-Talus (Talofita) dengan tumbuhan ber-Kormus (Kormofita). Lumut mempunyai klorofil sehingga sifatnya autotrof.
Berdasarkan kelompok (kelas) lumut terbagi menjadi lumut hati, lumut daun, dan lumut tanduk.

1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan karya ilmiah ini yaitu sebagai berikut :
a. Apakah lumut mempengaruhi perkembangan panjang kecebong?
b. Apakah ada perbedaan panjang antara kecebing yang diberi lumut dengan yang tidak?



1.3. Hipotesis penelitian
Hipotesis merupkan dugaan sementara terhadap kebenaran sesuatu. Adapun hipotesis Karya Ilmiah ini yaitu :
“Kecebong mengalami perkembangan panjang lebih cepat karena diberi lumut”
1.4. Tujuan hasil penelitian
Adapun tujuan dari penulisan karya ilmiah ini yaitu:
a. Sebagai tugas akhir pratikum perkembangan hewan yang berupa sebuah karya ilmiah.
b. Untuk mengetahui apakah lumut mempengaruhi perkembangan kecebong?
c. Menambah wawasan pada pembaca jika penelitian ini berhasil sehingga nanti di peroleh informasi mengenai perkembangan kecebong.

1.5. Mamfaat hasil penelitian
Mamfaat dari penulisan karyya ilmiah ini yaitu:
a) Dapat memberikan tambahan informasi mengenai pengaruh perkembangan kecebong
b) Dapat memberikan gambaran kepada pembaca tentang fungsi lumut terhadap perkembangan kecebong


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1. Pertumbuhan dan Perkembangan Hewan
Pertumbuhan dan perkembangan hewan dimulai sejak terbentuknya zigot. Satu sel zigot akan tumbuh dan berkembang hingga terbentuk embrio. Embrio akan berdiferensi sehingga terbentuk berbagai macam jaringan dan organ. Organ-organ akan menyatu dan bergabung menjadi janin. Janin akan dilahirkan sebagai bayi. Kemudian, bayi tumbuh dan berkembang menjadi anak-anak, remaja, dan dewasa.
Pada siklus hidup hewan tertentu, terjadi perubahan bentuk tubuh dari embrio sampai dewasa. Perubahan bentuk ini disebut metamorfosis. Metamorfosis dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu metamorfosis sempurna dan tidak sempurna.
Metamorfosis sempurna dicirikan dengan adanya bentuk tubuh yang berbeda di setiap fase metamorfosis. Contoh hewan yang mengalami metamorfosis sempurna adalah kupu-kupu dan katak. Tahapan metamorfosis kupu-kupu mulai dari telur larva (ulat) pupa (kepompong) imago (dewasa).


Jika diperhatikan ternyata dalam setiap fase metamorfosis kupu-kupu, terlihat adanya perbedaan bentuk tubuh. Begitu juga dengan katak. Katak mengalami metamorfosis sempurna mulai dari telur berudu (kecebong) katak dewasa. Metamorfosis tidak sempurna ditandai dengan adanya bentuk tubuh yang sama, tetapi ukurannya berbeda pada salah satu fase metamorfosis. Contohnya adalah belalang dan kecoa. Belalang mengalami metamorfosis yang dimulai dari telur nimfa imago (dewasa). Nimfa memiliki bentuk tubuh yang sama dengan serangga dewasa, tetapi memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil. (Anonim D. 2010. Pertumbuhan dan Perkembangan Makhluk Hidup)
2.2. Faktor-Faktor Pertumbuhan dan Perkembangan

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan hewan dapat dibagi menjadi dua, yaitu: faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi gen dan hormone. Faktor eksternal meliputi air, makanan, dan cahaya.
2.2.1. Gen
Gen merupakan faktor keturunan yang diwariskan dari orang tua (induk) kepada keturunannya. Gen akan mengendaalikan pola pertumbuhan dan perkembangan hewan.
2.2.2 Hormon
Hormon merupakan senyawa organik yang mengatur pertumbuhan dan perkembangan hewan adalah hormon somatotrof (hormon pertumbuhan).
Bila hewan kekurangan hormone pertumbuhan, maka pertumbuhan akan terhambat sehingga badannya kerdil. Bila kelebihan hormon pertumbuhan, maka akan mengalami pertumbuhan raksasa.
2.2.3. Makanan
Makanan sangat diperlukan oleh hewan. Makanan digunakan sebagai zat pembangun tubuh dan sumber energi.
2.2.4. Air
Air merupakan pelarut dan media untuk terjadinya reaksi metabolisme tubuh. Reaksi metabolisme ini akan menghasilkan energi, membantu pembentukan sel-sel yang baru, dan memperbaiki sel-sel yang rusak.



2.2.5. Cahaya Matahari
Cahaya matahari sangat diperlukan dalam pembentukan vitamin D. Vitamin itu diperlukan dalam pembentukan tulang. (Kimball. W, John. 1998).
2.3. Berudu atau Kecebong
Berudu atau kecebong adalah tahap pra-dewasa (larva) dalam daur hidup amfibia. Berudu eksklusif hidup di air dan berespirasi menggunakan insang, seperti ikan. Tahap akuatik (hidup di perairan) inilah yang membuat amfibia memperoleh namanya (amphibia = "hidup [pada tempat] berbeda-beda"). Kebanyakan berudu herbivora, memakan alga dan bagian-bagian tumbuhan. Beberapa spesies merupakan omnivora (pemakan segala). (Anonim C. 2010. http://id.wikipedia.org/wiki/Berudu)

Gambar 2.2 : Berudu / kecebong




2.4.Lumut
2.4.1. Pengertian
Lumut merupakan tumbuhan darat sejati, walaupun masih menyukai tempat yang lembab dan basah. Lumut yang hidup di air jarang kita jumpai, kecuali lumut gambut (sphagnum sp).
Lumut umumnya merupakan tumbuhan kecil, biasanya hanya beberapa mm sampai beberapa cm saja. keberadaan lumut seringkali luput dari perhatian karena selain ukuranya yang kecil, manfaat lumut bagi manusia secara langsung juga belum banyak diketahui . namun demikian, lumut mempunyai peranan cukup penting bagi lingkungan dan beberapa jenis-jenis hewan dan tumbuhan lainya. Lapisan lumut yang tebal dipermukaan batang dapat membantu menangkap dan menyimpan air serta menjaga kelembapan hutan. Lumut juga menyediakan tempat hidup bagi tumbuhan epifit seperti berbagai jenis anggrek dan paku-pakuan serta bagi hewan-hewan kecil seperti katak, kadal, siput, dan berbagai jenis serangga.

Pada lumut, akar yang sebenarnya tidak ada, tumbuhan ini melekat dengan perantaraan Rhizoid (akar semu), oleh karena itu tumbuhan lumut merupakan bentuk peralihan antara tumbuhan ber-Talus (Talofita) dengan tumbuhan ber-Kormus (Kormofita).Lumut mempunyai klorofil sehingga sifatnya autotrof.
Lumut tumbuh di berbagai tempat, yang hidup pada daun-daun disebut sebagai epifil. Jika pada hutan banyak pohon dijumpai epifil maka hutan demikian disebut hutan lumut.
Akar dan batang pada lumut tidak mempunyai pembuluh angkut (xilem dan floem). (Anonim A. 2010. Makalah Lumut)
Pada tumbuhan lumut terdapat Gametangia (alat-alat kelamin) yaitu:
a. Alat kelamin jantan disebut Anteridium yang
menghasilkan Spermtozoid
b. alat kelamin betina disebut Arkegonium yang
menghasilkan Ovum
Jika kedua gametangia terdapat dalam satu individu disebut berumah satu (Monoesius). Jika terpisah pada dua individu disebut berumah dua (Dioesius).
Gerakan spermatozoid ke arah ovum berupakan Gerak Kemotaksis, karena adanya rangsangan zat kimia berupa lendir yang dihasilkan oleh sel telur.
Sporogonium adalah badan penghasil spora, dengan bagian bagian :
- Vaginula (kaki)
- Seta (tangkai)
- Apofisis (ujung seta yang melebar)
- Kotak Spora : Kaliptra (tudung) dan Kolumela (jaringan dalam kotak
spora yang tidak ikut membentuk spora). Spora lumut bersifat haploid. (Anonim B. 2010. Lumut)
2.4.2. Karakteristik dan Ciri-ciri :
Fotosintesis, multiseluler dan eukariotik
Tak memiliki akar, batang dan daun sejati (talus)
Tak memiliki pembuluh angkut (xilem dan floem)
Mengalami pergiliran keturunan (dari gametofit – sporofit)
Reproduksi .

Seksual dan aseksual (spora) Akar dan batang pada lumut tidak mempunyai pembuluh angkut (xilem dan floem).
Lumut tumbuh di berbagai tempat, yang hidup pada daun-daun disebut sebagai epifil. Jika pada hutan banyak pohon dijumpai epifil maka hutan demikian disebut hutan lumut.

Tumbuhan lumut berwarna hijau karena mempunyai sel-sel dengan plastida yang menghasilkan klorofil a dan b. lumut bersifat autotrof. Lumut merupakan tumbuhan peralihan antara tumbuhan lumut berkormus dan bertalus. Lumut dapat beradaptasi untuk tumbuh di tanah, belum mempunyai jaringan pengangkut, sudah memiliki dinding sel yang terdiri dari selulosa.

Batang dan daun tegak memiliki susunan berbeda-beda. Batang apabila dilihat secara melintang akan tampak susunan sebagai berikut selapis sel kulit, lapisan kulit dalam (korteks), silinder pusat yang terdiri sel-sel parenkimatik yang memanjang untuk mengangkut air dan garam-garam mineral; belum terdapat floem dan xilem. Sel-sel daunnya kecil, sempit, panjang, dan mengandung kloroplas yang tersusun seperti jala. Lumut hanya dapat tumbuh memanjang tetapi tidak membesar, karena tidak ada sel berdinding sekunder yang berfungsi sebagai jaringan penyokong. Rizoid seperti benang sebagai akar untuk melekat pada tempat tumbuhnya dan menyerap garam-garam mineral.

Struktur sporofit (sporogonium) tubuh lumut terdiri dari: vaginula, seta, apofisis, kaliptra, kolumela. Sporofit tumbuh pada gametofit menyerupai daun. Gametofit berbentuk seperti daun dan di bagian bawahnya terdapat rizoid yang berfungsi seperti akar. Jika sporofit tidak memproduksi spora, gametofit akan membentuk anteridium dan arkegonium untuk melakukan reproduksi seksual.

2.4.3. Reproduksi Lumut
Reproduksi lumut bergantian antara fase seksual dan aseksual melalui pergiliran keturunan atau metagenesis. Reproduksi aseksual dengan spora haploid yang dibentuk dalam sporofit. Reproduksi seksualnya dengan membentuk gamet-gamet dalam gametofit. Ada dua macam gametangium yaitu arkegonium (gametangium betina) bentuknya seperti botol dengan bagian lebar yang disebut perut, yang sempit disebut leher dan anteridium (gametangium jantan) berbentuk bulat seperti gada. Jika anteridium dan arkegonium dalam satu individu tumbuhan lumut disebut berumah satu (monoesis). Jika dalam satu individu hanya terdapat anteridium atau arkegonium saja tumbuhan lumut disebut berumah dua (diesis).

Lumut yang sudah teridentifikasi mempunyai jumlah sekitar 16 ribu spesies dan telah dikelompokkan menjadi 3 kelas yaitu: lumut hati, lumut tanduk dan lumut daun.

Pada tumbuhan lumut terdapat Gametangia (alat-alat kelamin) yaitu:
a.Alat kelamin jantan disebut Anteridium yang menghasilkan Spermtozoid
b.Alat kelamin betina disebut Arkegonium yang menghasilkan Ovum

Jika kedua gametangia terdapat dalam satu individu disebut berumah satu (Monoesius). Jika terpisah pada dua individu disebut berumah dua (Dioesius).

Gerakan spermatozoid ke arah ovum berupakan Gerak Kemotaksis, karena adanya rangsangan zat kimia berupa lendir yang dihasilkn oleh sel telur.
Sporogonium adalah badan penghasil spora, dengan bagian bagian :

-Vaginula (kaki)
- Seta (tangkai)
-Apofisis (ujung seta yang melebar)
- Kotak Spora : Kaliptra (tudung) dan Kolumela (jaringan dalam kotak

Spora yang tidak ikut membentuk spora). Spora lumut bersifat haploid.Perkembang biakan secara seksual berlangsung dengan cara penyatuan antara sel kelamin jantan dengan sel kelamin betina.

Perkembang biakan secara aseksual dapat terjadi dengan banyak cara, antara lain :
1. Membentuk tunas pada pangkal batang dan selanjutnya tunas terlepas dan berkembang menjadi individu baru.
2. Membentuk stolon
3. Batang lumut yang bercabang-cabang mati, lalu cabangnya tumbuh dan berkembang menjadi individu baru .
4. Protonema primer membentuk individu baru.
5. Protonema putus-putus menjadi banyak protonema, dan
6. Membentuk kuncup
(Anonim A. 2010. Makalah Lumut)





BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Alat dan Bahan
a. Botol nescafe 2 buah
b. Air kolam 200 ml
c. Lumut
d. Kecebong yang belum berkaki
e. Mistar
f. Kamera

3.2. Prosedur Kerja
Adapun langkah-langkah pada penelitian ini yaitu :
a. Menyiapkan botol nesscafe,
b. Mengisi botol A dan B dengan air kolam sebanyak 100ml
c. Memasukkan Lumut kedalam kedalam botol A, sedangkan botol B sebagai kontrol
d. Mengukur panjang kecebong sebelum dimasukkan kedalam media
e. Memasukkan 3 ekor kecebong yang berukuran sama kedalam botol A dan B juga 3 ekor yang sama dengan ukuran kecebong pada botol A
f. Mengamati perkembangan panjang kecebong setiap hari selama 7 hari
g. Mengukur kembali mulai dari hari kedua dan seterusnya
h. Mencatat hasil pengamatan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
Adapun hasil yang dapat diperoleh dari pengamatan ini yaitu sebagai berikut :

No
Hari / Tanggal Panjang Kecebong Botol A Panjang Kecebong Botol B
Keterangan
1. Senin / 20 Desember 2010 0,8 cm 0,8 cm
2. Selasa/21 Desember 2010 1,0 cm 0,9 cm
3. Rabu/ 22 Desember 2010 1,3 cm 1,1 cm
4. Kamis/ 23 Desember 2010 1,5 cm 1,3 cm
5. Jumat/ 24 Desember 2010 1,7 cm 1,4 cm
6. Sabtu/25 Desember 2010 1,8 cm 1,6 cm
7. Minggu/26 Desember 2010 1,9 cm 1,7 cm

Tabel 4.1.1. Hasil pengamatan






4.2. Pembahasan Hasil Penelitian
Pertumbuhan dan perkembangan hewan dimulai sejak terbentuknya zigot. Satu sel zigot akan tumbuh dan berkembang hingga terbentuk embrio. Embrio akan berdiferensi sehingga terbentuk berbagai macam jaringan dan organ. Organ-organ akan menyatu dan bergabung menjadi janin. Janin akan dilahirkan sebagai bayi. Kemudian, bayi tumbuh dan berkembang menjadi anak-anak, remaja, dan dewasa.
Pada siklus hidup hewan tertentu, terjadi perubahan bentuk tubuh dari embrio sampai dewasa. Perubahan bentuk ini disebut metamorfosis. Metamorfosis dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu metamorfosis sempurna dan tidak sempurna.
Metamorfosis sempurna dicirikan dengan adanya bentuk tubuh yang berbeda di setiap fase metamorfosis. Contoh hewan yang mengalami metamorfosis sempurna adalah kupu-kupu dan katak. Tahapan metamorfosis kupu-kupu mulai dari telur larva (ulat) pupa (kepompong) imago (dewasa).
Jika diperhatikan ternyata dalam setiap fase metamorfosis kupu-kupu, terlihat adanya perbedaan bentuk tubuh. Begitu juga dengan katak. Katak mengalami metamorfosis sempurna mulai dari telur berudu (kecebong) katak dewasa. http://bhebeth89.files.wordpress.com/2008/06/19.pdf
Lumut umumnya merupakan tumbuhan kecil, biasanya hanya beberapa mm sampai beberapa cm saja. keberadaan lumut seringkali luput dari perhatian karena selain ukuranya yang kecil, manfaat lumut bagi manusia secara langsung juga belum banyak diketahui . namun demikian, lumut mempunyai peranan cukup penting bagi lingkungan dan beberapa jenis-jenis hewan dan tumbuhan lainnya. http://ugeex.blogspot.com/2009/03/makalah-lumut.html.
Pada pengamatan ini waktu nya dimulai hari Senin / 20 Desember 2010 Mulai mengukur panjang awal kecebong, dengan panjang yang sama antara 3 kecebong pada botol A (yang diberi lumut) dan B (Botol Kontrol), setelah diukur diperoleh panjang kecebong 0,8 cm. Pada hari kedua mulai terlihat perbedaan panjang yaitu pada botol A 1,0 cm sedangkan pada botol B 0,9 cm. Pada hari ketiga pada botol A panjang kecebongnya 1,3 cm sedangkan pada botol B diperoleh panjangnya 1,1 cm. Pada hari keempat kecebong pada botol A panjangnya 1,5 cm sedangkan pada botol B panjangnya 1,3 cm. pada hari ke lima panjang kecebong pada botol A 1,7 cm sedangkan pada botol B panjang kecebongnya yaitu 1,4 cm. Pada hari keenam panjang kecebong pada botol A yaitu: 1,8 cm sedangkan pada botol B 1,6 cm, selanjutnya pada hari ketujuh panjang kecebong pada botol A yaitu 1,9 sedangkan pada botol B yaitu 1,7 cm.
Dari data diatas terlihat perbedaan panjang kecebong pada kecebong yang diberi lumut dengan yang tidak, berdasarkan data yang diperoleh panjang kecebong yang diberi lumut lebih cepat perkembangan panjangnya dibandingkan dengan yang tidak diberikan lumut.


BAB V
PENUTUP
5.1. Simpulan
Adapun simpulan yang dapat di ambil dari pengamatan ini yaitu sebagai berikut :
1. Pertumbuhan dan perkembangan hewan dimulai sejak terbentuknya zigot.
2. Lumut merupakan tumbuhan darat sejati, walaupun masih menyukai tempat yang lembab dan basah
3. Berudu atau kecebong adalah tahap pra-dewasa (larva) dalam daur hidup amfibia
4. Lumut mempunyai klorofil sehingga sifatnya autotrof.
5. Kebanyakan berudu herbivora, memakan alga dan bagian-bagian tumbuhan. Beberapa spesies merupakan omnivora (pemakan segala).
6. Lumut merupakan tumbuhan darat sejati, walaupun masih menyukai tempat yang lembab dan basah. Lumut yang hidup di air jarang kita jumpai, kecuali lumut gambut (sphagnum sp.).
7. Fotosintesis, multiseluler dan eukariotik , Tak memiliki akar, batang dan daun sejati (talus), Tak memiliki pembuluh angkut (xilem dan floem)
Mengalami pergiliran keturunan (dari gametofit – sporofit)
Reproduksi .
8. Kecebong akan lebih cepat perkembangannya karena lumut mampu berfotosintesis sehingga kecebong memiliki oksigen yang cukup.

5.2. Saran
Adapun saran yang dapat penulis berikan pada karya ilmiah ini yaitu sebagai berikut :
1. Untuk penulisan karya ilmiah tentang kecebong dan lumut berikutnya penulis mengharapkan penulisannya lebih baik lagi.
2. Penulis mengharapkan kepada insan kreatif agar dapat memamfaat kan kecebong dan lumut sebaik-baiknya yang berguna bagi masyarakat.













DAFTAR RUJUKAN

Anonim A. 2010. Makalah Lumut. Diakses : 24 februari 2010. http :// kambing.ui.ac.id/bebas/v12/sponsor/SponsorPendamping/Praweda/Biologi /0013%20Bio%201-3b.html.
Anonim B. 2010. Lumut. Diakses 24 desember 2010. http://ugeex.blogspot.com/2009/03/makalah-lumut.html
Anonim C. 2010. Berudu. diakses 28 desember 2010. http://id.wikipedia.org/wiki/Berudu

Anonim D. 2010. Pertumbuhan dan Perkembangan Makhluk Hidup. Diakses 28 februari 2010. http://bhebeth89.files.wordpress.com/2008/06/19.pdf
Kimball. W, John. 1998. Biologi. Edisi kelima. Bogor: Ellangga

LAMPIRAN

















Gambar 7 : Hari keenam

Pengaruh warna tissu terhadap jumlah telur Drosophilla

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Lalat buah merupakan serangga yang populer merusak buah buahan serta sayuran, keadaan ini sangat merugikan petani besar dan juga kecil serta yang memiliki kebun kecil di rumah. Lalat buah akan menyerang tanaman berbuah dan sayuran berbuah seperti belimbing, mangga, jambu, cabai/ lombok, terong, tomat, nangka dan beberapa lagi buah buahan tropis yang kita tanam dengan cara menyuntikan telur kedalam buah buahan tersebut, ini akan menyebabkan buah buahan serta sayur tersebut rusak sebelum dapat dipetik. Siklus hidup lalat buah selama 20- 28 hari, selama hidupnya kawin dan bertelur dapat menghasilkan 1200 butir telur.
Adapun ciri umum lain dari Drosophila melanogaster diantaranya:
1. Warna tubuh kuning kecoklatan dengan cincin berwarna hitam di tubuh bagian belakang.
2. Berukuran kecil, antara 3-5 mm.
3. Urat tepi sayap (costal vein) mempunyai dua bagian yang terinteruptus dekat dengan tubuhnya.
4. Sungut (arista) umumnya berbentuk bulu, memiliki 7-12 percabangan.
5. Crossvein posterior umumnya lurus, tidak melengkung.
6. Mata majemuk berbentuk bulat agak ellips dan berwana merah.
7. Terdapat mata oceli pada bagian atas kepala dengan ukuran lebih kecil dibanding mata majemuk.
8. Thorax berbulu-bulu dengan warna dasar putih, sedangkan abdomen bersegmen lima dan bergaris hitam
9. Sayap panjang, berwarna transparan, dan posisi bermula dari thorax.
Pengendalian yang dilakukan pada umumnya adalah dengan pembungkusan buah-buahan ataupun pemberonjongan pohonnya dengan kasa, pengasapan untuk mengusir lalat buah, penyemprotan dengan insektisida, pemadatan tanah di bawah pohon untuk memutus siklus hidup serta penggunaan atraktan (zat pemikat) yang salah satunya berbahan methyl eugenol. Namun demikian, cara-cara pengendalian ini dirasa masih kurang efektif, karena tidak dilakukan secara serentak dan kontinyu, sehingga daerah yang tidak dikendalikan menjadi sumber infeksi di masa mendatang. Selain hal teknis, juga masalah mahalnya zat pengendali, khususnya atraktan lalat buah, sehingga petani/pengguna belum semuanya mampu memperoleh bahan ini.
Lalat buah (Dacus sp.) merupakan hama yang menyerang tanaman buah mulai stadia buah masih muda dengan menimbulkan tingkat kerusakan yang parah saat buah menjadi matang. Kerusakan yang timbul dimulai dari lalat buah betina yang siap bertelur menyuntikkan telurnya ke dalam buah muda. Perkembangan selanjutnya adalah menetasnya larva berupa ulat yang memakan daging buah dan bahkan terdapat lubang kecil sebagai tempat keluar dari ulat tersebut.
Telur dari lalat buah berbentuk benda kecil bulat panjang dan biasany di letakkan di permukaan makanan.Betina dewasa mulai bertelur pada hari ke dua setelah menjadi lalat dewasa dan meningkat hingga seminggu sampai betina meletakn 50-70 telur perhari.
Telur Dosophila di lapisi oleh 2 lapisan yaitu selaput viltelin yang mengelilingi sitoplasma dan suatu selaput tiopis tapi kuat (khorion) di bagian luar dan anteriornya terdapat dua tangkai tipis mempunyai kulit bagian luar yang keras dari telur tersebut.
Faktor dan dampak yang mempengaruhi siklus hiudup Drosophila adalah
1. Suhu lingkungan
Lalat buah mengalami kondisi siklus hidup dan pertumbuhan yang optimal sekiatar 8-11 hari apabila berada pada suhu 25-28 0C ,sedangkan pada suhu 30 0C ,lalat buah dewasa yang di hasilkan akan steril.
2. Nutrisi makanan
Kekurangan nutrisi atau makanan akan menyebabkanjumlah telur yang di hasilkan menurun dan pertumbuhannya menjadi lamban
3. Tingkat kepadatan
pengisisan botol medium sebaiknya dengan menggunakan buah yang cukup dan tidak terlalu banyak .Dengan kondisi yang ideal ,lalat buah dapat hidup hingga 40 hari.
4. Intensitas cahaya
Lalat buah menyukai daerah yang remang-remang intensitas cahaya yang tinggi akan menyebabkan fase bertelur yang terlambat.Intensitas cahaya yang gelap (rendah) akan menyebabkan pertumbuhannya menjadi lambat.
5. Medium
Kekentalan dan keenceran suatu medium akan mempengaruhi pertumbuhan Drosophila .Pengenceran medium akan mempengaruhi jumlah telur yang di hasilkan namun tidak berpengaruh pada siklus hidupnya.
Faktor yang mempengaruhi siklus hidup Drosophila sp salah satunya adalah intensitas cahaya yang kurang, karena itu penulis tertarik untuk meneliti tentang “Pengaruh Warna Media Peletakan Telur Terhadap Jumlah Pupa Drosophila sp”.

1.2 Rumusan Masalah
Apakah terdapat perbedaan jumlah pupa Drosophila sp yang diletakkan pada media yang berbeda warna

1.3 Hipotesis Penelitian
H0 : Jika tidak terdapat perbedaan jumlah pupa Drosophila sp dengan warna media peletakan telur yang berbeda.
H1 : Jika terdapat perbedaan jumlah pupa Drosophila sp dengan warna media peletakan telur yang berbeda.

1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengamati jumlah pupa pada Drosophila sp dengan warna media peletakan telur yang berbeda.
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah




II. KAJIAN PUSTAKA

2.1 Ciri-Ciri Drosophila sp
Drosophila sp merupakan jenis lalat buah yang mudah di temukan apalagi pada buah-buahan yang busuk. Lalat buah ini dapatdiklasifikasikan ke dalam sub ordo cyclophorpha atau di sebut juga pengelompokan lalat buah yang pupanya terdiri dari kulit instar3,dan termasuk kedalam seri Ac aliptrata yaitu imago menetas dengan keluar dari bagian anterior pupa
Klasifikasi dari lalat buah adalah :
Kingdom :Animalia
Phyllum :Arthopoda
Kelas :Insecta
Ordo :Diptera
Famili :Drosophilidae
Genus :Drosophila
Spesies :Drosophila melanogaster

Adapun ciri umum dari lalat buah atau Drosophila melanogaster di antaranya:
1.Ukuran kecil,antara 3-5 mm
2. Warna tubuh kuning kecoklatan dengan cicin berwarna hitam di tubuh bagian belakang .
3. Urat tepi sayap mempunyai 2 bagian yang terinteruptus dekat dengan tubuhnya.
4. Sungut umumnya berbentuk bulu ,memiliki 7-12 percabangan
5. Crossvein posterior umumnya lurus ,tidak melengkung
6.Matamajemuk berbentuk bulat agak elips dan berwarna merah.
7. Terdapat mata oceli pada bagian atas kepala dengan ukuran lebih kecil di bandingkan mata majemuk
8. Thorax berbulu-bulu dengan warna dasar putih ,sedangkan abdomen bersegmen lima dan bergaris hitam
9. Sayap panjang ,berwarna transparan ,dan posisi bermula dari thorax

Perbedaan Drosophila melanogaster jantan dan betina lalat buah jantan dan betina dapat di bedakan melalui beberapa cirri-ciri umum seperti besar ukuran tubuh, warna tubuh, panjang sayap,bentuk ujung kelamin ,dan ada atau tidaknya sisir kelamin.
Table perbedaan lalat buah jantan dan lalat buah betina
Cirri-ciri pembeda Jantan Betina
Ukuran tubuh Ukuran tubuh lebih kecil Ukuran tubuh lebih besar
Warna tubuh Bagian belakang lebih gelap Bagian belakang lebih terang
Panjang sayap Sayap lebih pendek Sayap lebih panjang
Sisir kelamin Ada sisir kelamin Tidak adasisir kelamin
Bentuk ujung abdonem Tumpul Lancip




2.2 Metamorfosis Drosophila sp
Metamorfosis yang terjadi pada Drosophila sp termasuk metamorfosis sempurna ,yaitu telur –l arva – instar I - larva instar I I- larva instar III – pupa - imago, fase perkembangan di mulai segera setelah terjadi fertilisasi yang terjadi dari 2 periode –pertama –periode embrionik di dalam telur pada saat fertilisasi sampai pada saat larva muda menetas dari telur dan ini terjadi dalam waktu kurang lebih 24 jam.Dan pada saat ini larva tidak berhenti-henti makan.
Periode kedua adalah periode setelah menetas dari telur dan di sebut postembrionik yang di bagi menjadi 3 tahap ,yaitu :larva, pupa dan imago (fase seksual dengan perkembangan pada sayap),formasi lainnya pada perkembangan secara seksual terjadi pada saat dewasa
Telur dari lalat buah berbentuk benda kecil bulat panjang dan biasany di letakkan di permukaan makanan.Betina dewasa mulai bertelur pada hari ke dua setelah menjadi lalat dewasa dan meningkat hingga seminggu sampai betina meletakn 50-70 telur perhari.
Telur Dosophila di lapisi oleh 2 lapisan yaitu selaput viltelin yang mengelilingi sitoplasma dan suatu selaput tiopis tapi kuat (khorion) di bagian luar dan anteriornya terdapat dua tangkai tipis mempunyai kulit bagian luar yang keras dari telur tersebut.




Gambar 1. siklus hidup Drosophila sp
2.3 Faktor Dan Dampak Yang Mempengaruhi Siklus Hidup Drosophila sp
1. Suhu lingkungan
Lalat buah mengalami kondisi siklus hidup dan pertumbuhan yang optimal sekiatar 8-11 hari apabila berada pada suhu 25-28 derajat C ,sedangkan pada suhu 30 derajat C ,lalat buah dewasa yang di hasilkan akan steril.
2. Nutrisi makanan
Kekurangan nutrisi atau makanan akan menyebabkanjumlah telur yang di hasilkan menurun dan pertumbuhannya menjadi lamban
3. Tingkat kepadatan
Pengisisan botol medium sebaiknya dengan menggunakan buah yang cukup dan tidak terlalu banyak .Dengan kondisi yang ideal ,lalat buah dapat hidup hingga 40 hari.
4. Intensitas cahaya
Lalat buah menyukai daerah yang remang-remang intensitas cahaya yang tinggi akan menyebabkan fase bertelur yang terlambat.Intensitas cahaya yang gelap (rendah) akan menyebabkan pertumbuhannya menjadi cepat.
5. Medium
Kekentalan dan keenceran suatu medium akan mempengaruhi pertumbuhan Drosophila .Pengenceran medium akan mempengaruhi jumlah telur yang di hasilkan namun tidak berpengaruh pada siklus hidupnya.
Mutasi Drosophila melanogester
Mutasi di didefinisikan sebagai pemutusan atau perubahan yang terjadi pada molekul DNA ,yang terdapat dalam inti sel mahluk hidup dan berisi semua informasi genetic.Efek langsung dari mutasi bersifatmembahayakan .Mutasi terjadi secara acak karena mutasi hamper selalu merusak hidup yang mengalaminya .
Mutasi tidak menambahkan informasi baru pada DNA suatu organisme .Partikel-partikel penyusun informasi genetika terenggut dari tempatnya,rusak atau terbawa ke tempat lain.Mutasi hanya menyebabkan ketidak normalan ,seperti kaki yang muncul,di punggung atau telinga tumbuh dari perut.
Berikut adalah jenis-jenis muatan Drosophila sp :
1. Dumpy
Sayap lebih pendek hingga 2 pertiga panjang sayap normal dengan ujung sayap tampak seperti terpotong. Bulu pada dada tanpak tidak sama rata .Clotmata berwarna marun yang semakin gelap seiring pertambahan usia.
2. Claret mata merah menyala .Tubulus malpighi larva tidak berwarna
3. Whitemata putihdengan oseli ,tabung malpighi dan tes-tes yang tidak berwarna
4. Corly sayap melengkung ke atas secara kuat mianatur sayap mengecil dan hanya mencapai ujung abdomen saja .Permukaan sayap tidak tambak lebih hitam karena sel dan rambut yang padat.Dan masih banyak lagi yang lain.
Lalat buah merupakan serangga yang populer merusak buah buahan serta sayuran, keadaan ini sangat merugikan petani besar dan juga kecil serta yang memiliki kebun kecil di rumah. Lalat buah akan menyerang tanaman berbuah dan sayuran berbuah seperti belimbing, mangga, jambu, cabai/ lombok, terong, tomat, nangka dan beberapa lagi buah buahan tropis yang kita tanam dengan cara menyuntikan telur kedalam buah buahan tersebut, ini akan menyebabkan buah buahan serta sayur tersebut rusak sebelum dapat dipetik.
Pengendalian yang dilakukan pada umumnya adalah dengan pembungkusan buah-buahan ataupun pemberonjongan pohonnya dengan kasa, pengasapan untuk mengusir lalat buah, penyemprotan dengan insektisida, pemadatan tanah di bawah pohon untuk memutus siklus hidup serta penggunaan atraktan (zat pemikat) yang salah satunya berbahan methyl eugenol. Namun demikian, cara-cara pengendalian ini dirasa masih kurang efektif, karena tidak dilakukan secara serentak dan kontinyu, sehingga daerah yang tidak dikendalikan menjadi sumber infeksi di masa mendatang. Selain hal teknis, juga masalah mahalnya zat pengendali, khususnya atraktan lalat buah, sehingga petani/pengguna belum semuanya mampu memperoleh bahan ini. Sebagai contoh, atraktan komersial yang ada di pasaran saat ini harganya sangat mahal per liternya. Dalam sistem pengendaliannya, lalat buah sebenarnya mempunyai musuh alami yang bisa didapatkan dalam kehidupan sehari – hari, pemanfaatan musuh secara alam ini sebenarnya sangat efektif dilihat dari segi biaya dan efek – efek negative penggunaanya di bandingkan secara kimiawi.
Tanaman aromatik yakni tanaman yang mampu mengeluarkan aroma, bisa juga digunakan untuk mengendalikan lalat buah. Di antaranya jenis selasih/ kemangi(Ocimum), yaitu O.minimum, O.tenuiflorum, O.sanctum dan lainnya. Selain tanaman selasih ada juga tanaman lain, yaitu Melaleuca bracteata / kayu putih dan tanaman yang bersifat sinergis (meningkatkan efektifitas atraktan), seperti pala (Myristica fragans). Semua tanaman ini mengandung bahan aktif yang disukai oleh lalat buah, yaitu Methyl eugenol, dengan kadar yang berbeda.


III. METODE PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan
1. Agar-agar swallow no.1 2 bungkus
2. pisang ambon 5 buah
3. Aquades 1000 ml
4. Asam Cuka 10 ml
5. Ragi kancing 3 butir
6. Gula Merah 300 gram
7. tisuue makan warna merah, hijau, putih
8.Air panas
9. Wadah
10. Plastik

3.2 Prosedur Kerja
1. Wadah disterilkan dengan cara diberi air panas, kemudian ditiriskan diatas kertas sampai kering, kemudian ditutup dengan plastik.
2. Menangkap lalat buah
Lalat buah dipancing datang dengan menggunakan atau buah-buahan lain yang sudah mulai membusuk (di masukkan kedalam gelas aqua). Setelah beberapa ekor lalat buah masuk ditutup dengan tisu atau dibiarkan dulu sampai lalat buahnya banyak karena semakin banyak lalat buah yang tertangkap meningkatkan kemungkinan terdapat lalat jantan dan betina semakin banyak.
2. Memelihara lalat buah
Lalat buah dipelihara didalam wadah yang berisi media, tisunya berjarak 3 cm dengan warna yang berbeda, adapun pembuatan medianya seperti
a. Direbus air aquades 1000 ml hingga hangat
b. Dimasukkan pisang yang sudah diblender
c. Diaduk rata ditambahkan gula merah (aduk rata)
d. Dimasukan asam cuka
e. Dimasukkan agar-agar 2 bungkus, diaduk rata
f. Diamkan selama 8 menit, kemudian dimasukkan ragi
g. Diaduk ratadan baru dimasukkan kedalam wadah
h. Dimasukkan tisu makan warna merah, hijau, putih yang dilipat segitiga biarkan sampai mengeras (benar-benar dingin)
i. Dimasukkan Drosophila sp yang sudah ditangkap, dengan cara : medium diletakkan dibagian atas dan terkena cahaya dan aqua gelas dibagian bawah sehingga Drosophila sp terbang ke wadah menuju cahaya
j. Dimasukkan ± 10 ekor Drosophila sp
k. Diamati perkembangannya.








IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian
Pengamatan Merah Hijau Putih
Hari 1 3 telur 5 telur -
Hari 2 7 telur 10 telur 4 telur
Hari 3 4 larva instar I 5 larva instar I 1 larva instar I
Hari 4 5 larva instar II 7 larva instar II 2 larva instar II
Hari 5 7 larva instar III 10 larva instar III 4 larva instar III
Hari 6 5 prepupa 8 prepupa 3 prepupa
Hari 7 7 pupa 10 pupa 4 pupa
Hari 9 1 pupa,6 Drosphila sp 1 pupa,9 Drosophila sp 2 pupa,2 Drosophila sp
Hari 10 Terdapat Drosophila sp Terdapat Drosophila sp Terdapat Drosophila sp


Pembahasan Hasil
Pada pengamatan pengaruh warna media peletakan telur terhadap jumlah Drosophila sp pada umur ±19 jam terdapat telur di atas tisu makan yang berbentuk segitiga. Telur tersebut berwarna putih dengan ukuran 0,4-0,5 mm dan terlihat seperti titik-titik namun telurnya ada juga yang menempel pada dinding wadah tersebut.
Dari warna tisu makan yang berbeda telur yang melekat pada warna tisu yang berwarna merah ada 3 dan hari ke dua mnjadi lebih benyak yaitu 7 telur.
Sedangkan pada tisu makan yang berwana putih pada hari pertama belum ada terdapat telur yang berada di tisu,pada hari ke dua baru telur nya sekitar 4 telur yang menempel di tisu berwarna putih tersebut.dan tisu yang berwarna hijau lebih banyak dari pada tisu yang berwarna merah maupun putih,pada tisu warna hijau terdapat 5 telur pada hari pertama dan hari keduanya terdapat 10 telur.
Terdapat larva instar I yang berbentuk lonjong dan panjang dengan ukuran ±0,5-1 mm,warnanya putih,bersegmen bergerak seperti cacing namun lambat ,umurnya 2 hari,setelah berumur 3 hari ia menjadi larva instar larva instar I,terlihat adanya warna kehitaman pada bagian mulut larva ,ia menggali dengan mulut tersebut .Pada larva instar ke III warna hitam pada mulut terlihat jelas dan berbentuk sungut (pada hari ke -5) bergerak lebih aktif.
Pada hari ke -6 larvanya tidakaktif bergerak tubuhnya memendek dan muncul selaput yang mengelilingi larva, berwarna gelap,larva ini di sebut prepupa
Pada hari ke -7 ,bentuknya lonjong bewarna kecoklatan gelap tidak aktif bergerak dan ukurannya lebih besar dari pada prepupa di sebut pupa.Pada hari ke -10,ukurannya relative kecil dan kurus berwarna pucat dan sayap belum terbentang (imago) .Selanjutnya bentuknya menyerupai lalat dewasa ,namun masih berukuran kecil,terus berkembang hingga menjadi lalat buah yang dewasa (umumnya).
Pada warna media yang berbeda antara warna ,merah,putih,hijau.Drosophila sp lebih cepat berkembang biak pada warna hijau,di bandingkan deangan warna yang lain di karenakan Intensitas cahaya ,Lalat buah menyukai daerah yang remang-remang, intensitas cahaya yang tinggi akan menyebabkan fase bertelur yang terlambat. Intensitas cahaya yang gelap (rendah) akan menyebabkan pertumbuhannya menjadi cepat.
Pada Drosophila sp terlihat bahwa sikluis yang di lewati Drosophila sp mengalami periode lama waktu yang berbeda.Tahap yang di lewati adalah
Telur- larva- pupa – imago- lalat dewasa. Dapat di ketahui bahwa dalam siklus hidup yang cukup pendek Drosophila sp ,jumlah anaknya cukup banyak .Setelah telur menetas akan mengalami 3 tahapan yaitu:
1. larva 1, muncul setelah telur menetas
2. larva II, muncul setelah larva I,2 hari kemudian akan muncul larva instar III
Larva akan terus makan sehingga ukurannya membesar .kecepatan makan dan gerakannya sering dengan perkembangan larva.
Setelah di perhatikan dengan baik ternyata dalam siklus Drosophila sp tida semua telur bisa bertahan untuk mencapai menjadi Drosophila dewasa ,mungkin itu semua di sebabkan oleh beberapa faktor diantaranya
1. Suhu yang tidak sesuai dengan kondisi telur saat akan menjadi larva
2. persaingan antar larva itu sendiri
Selain itu ,selama dalam mengembang biakkan Drosophila sp dalam botol tersebut terlihat adanya kontaminasi dengan jamur yang tumbuhnya di atas medium yang di buah dari buah pisang ambon dan beberapa bahan lain.Hal ini di sebabkan oleh kekurang sterilan dalam pembuatan media dan pensterilan wadah atau juga karena media semakin membusuk. Namun setelah beberapa hari,jamur yang tumbuh di atas media tersebut.hal ini memperlihatkan bahwa Drosophila sp termasuk jenis serangga biasa yang umumnya tidak berbahaya.

V. PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat di simpulkan bahwa Drosophila sp dapat berkembang biak dengan cepat pada tisue yang berwarna hijau, karena pada tisu yang berwarna hijau intensitas cahayanya rendah.
Drosophila sp termasuk hewan yang mengalami metamorfosis sempurna dengan tahapan-tahapan yang diawali oleh telur-larva instar I-larva instar II-larva instar III-prepupa-pupa-imago-lalat dewasa.

Saran
Berdasrkan penelitian yang telah dilakukan kita dapat melihat bahwa Drosophila sp dapat berkembang biak dengan sangat baik di kertas tisu yang berwarna gelap, untuk itu apabila akan melakukan praktikum selanjutnya lebih baik menggunakan warna media yang lebih gelap, agar perkembang biakan Drosophila sp lebih cepat.








DAFTAR PUSTAKA

Ashbumer. 1985. Drosophila A Laboratory Handbook. USA: Cold Spring Harbor Laboratory Press
Bornor. 1992. Pengenalan pemberian berbagai konsentrasi terhadap perkembangan larva Drosophila. Bandung: Jurusan Biologi Universitas Padjajaran
Cook dan Carpenter. 2002. Drosophila Genomics and speciation. Diakses tanggal 24 Desember 2010. http:www.gen.cam.ac.ok/research/carpenter.
Silvia, 2003. Pengenalan Pengajaran Serangga. Yogyakarta: Unuversitas Gadjah Mada
Wheeler. 1981. The Drosophilidae genetic and biology of Drosophila. New York: Academic Press.
Whitington. 2005. Our Model : The Fruitfly Drosophila melanogaster. Diakses tanggal 24 Desember 2010. http://www.anatomy.unimec.edu.au/research labs/whitington.
Zarzen. 2009. The Genome of Drosophila melanogaster. California: Academic Press Inc.






LAMPIRAN

Hari 1 dan 2 Hari 3


Hari 4 Hari 5


Hari 6 Hari 7



Hari 8 Hari 9

Hari 10